Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kegemaran berjogging di berbagai negara. dibeberapa negara, dalam berjogging harus melihat faktor politik, adat-istiadat, bahkan sekuriti tingkat tinggi. (sel)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOGGING, lari-lari kecil, tampaknya mulai membudaya di Indonesia. Bahkan di sebagian kalangan hampir "manunggal" dengan gaya hidup. Piranti lari pun bisa dibeli di mana-mana -- tinggal meraba tipis-tebalnya kocek. Ada celana kaus produksi lokal, yang bisa molor sampai sekitar 10 senti -- di samping jenis impor yang mengintip sombong dari balik etalase toko olahraga. Ada sepatu jogging -- di kampung sering keliru dengan "sepatu ajojing" -- dua ribu perakan, di samping yang berharga belasan ribu buatan pabrik mancanegara. Di Jakarta misalnya, anda boleh lari dari Pasar Senen sampai Depok tanpa khawatir dicurigai sebagai maling. Tak perlu takut dilempari batu lantaran mengganggu. Aman. Tapi di beberapa negeri tertentu, kegemaran yang satu ini rupanya belum bisa dinikmati semena-mena. Siapa tahu sekali tempo anda berada di negeri orang dan ingin melampiaskan kebiasaan jogging. Ada baiknya mengintip "sikon". Sebab hambatan tidak mesti hanya berasal dari iklim dan suhu udara. Bisa lebih serius -- umpamanya: faktor politik, adat-istiadat, bahkan sekuriti tingkat tinggi. Payah. Beberapa bulan lalu, wartawan Christopher S. Wren menuliskan pengalamannya. Dalam menjalankan tugas di berbagai negeri, koresponden The New York Times ini tak lalai melaksanakan kebiasaannya. Wren seorang umat jogging yang sangat salih. Selama empat tahun bertugas di Moskow, tiap hari ia lari sekitar tiga mil. Nah. Belakangan Wren baru tahu penuasa Soviet menilai kebiasaan ini sebagai "kegemaran yang mencurigakan". Tiap hari rupanya ia dipotret diam-diam. Kemudian dalam sebuah film tv -- yang memperingatkan warga Soviet untuk tidak membantu wartawan Barat -- tampak Wren sedang berlari. "Seraya berlindung di balik alasan pembinaan fisik," ulas komentator film itu, Wren "membawa pesan-pesan rahasia dari kedutaan besar AS untuk para pengkhianat Soviet yang nista." Tentu saja ia pusing berkunang-kunang. Memang, ihwal dicurigai sudah biasa bagi para wartawan asing yang bekerja di home-bose KGB itu. Ada yang didakwa sebagai pengedar obat bius. Ada pula yang dicurigai memperdagangkan valuta asing. Tak kurang yang dituding sebagai anggota serikat mata-mata Zionis. Tuduhan paling ringan ialah sekedar Anti-Soviet. Namun tak pernah terpikir oleh Wren, bahwa lari santai dengan celana biru dan sepatu jingga bisa mengundang curiga penguasa. Itu di Soviet. Di Eropa Barat, hampir tak ada soal. Malah konon setiap hal 'baru' dari Amerika -- termasuk jogging -- langsung bisa diserap di sana. Tapi akibatuya tak selalu menyenangkan. Seorang yang kebetulan berada di Paris jangan berharap bisa lari dengan santai -- menyeberangi Seine misalnya. Setiap pagi cerah, hampir sepanjang jalan penuh pribumi Prancis yang berlari berdesak-desakan. Di sana jogging nyaris mencapai tingkat keranjingan. Jadi tak nyaman lagi. Di Inggris, sampai ke kampung kampung orang tak tertarik menonton penampilan seorangjogger. "Biasa," ujar seorang tukang kebun yang mengurus Blenheim Palace, tempat kelahiran Sir Winston Churchill. Paling-paling seorang dua wisatawan yang kebetulan berpapasan, memberi anggukan santun. Tapi di Kairo, masya Allah. Seorang pelari tak pernah luput jadi tontonan. Cobalah berjogging di sepanjang tepi Sungai Nil. Anda akan berpapasan dengan wanita-wanita cekikikan, orang tua yang berteriak-teriak, atau sopir taksi yang mengerem mobilnya tepat di depan hidung anda, menawarkan jasa. Ada pula yang meluangkan waktu untuk melempari anda dengan kaleng-kaleng bekas, sekedar menggoda. Dalam mengisahkan pengalamannya jogging di mana-mana, Wren sulit melupakan Kairo ini. Di sanalah pada suatu senja, sementara berlari ia tiba-tiba mendapatkan dirinya dikepung sekawanan anjing geladak. Ingat akan bahaya rabies, Wren memungut sekeping kayu. Sambil mengibaskannya ke kiri, kanan, muka dan belakang, wartawan yang malang itu terus maju. Setengah berlari setengah melompat-lompat. Di Sudan, hampir tak ada gangguan makhluk. Tapi suhu udaranya, terutama musim panas, minta ampun.Keluar dari hotel internasional di Khartoum, seorang seperti mendapatkan dirinya berada di depan tungku dapur umum. Libya tampaknya memberi harapan. Bukankah Khaddafi menghimbau rakyatnya menggandrungi olahraga? Namun jogging mungkin belum masuk agenda. Daripada berlari sepanjang pelabuhan Tripoli sembari dipelototi, lebih amanlah hanya sekedar berjalan-jalan . Sebaliknya di Iran, yang penuh umat berjubah yang memanggul senjata itu. Jogging di sini malah tak jadi perkara, halal 100%. Cobalah lari pagi di sekitar Teheran. Paling-paling hanya beberapa anak kecil menunjukkan perhatian. Pengetahuan akan kebudayaan yang kebiasaan setempat kiranya patut dimiliki seorang jogger di rantau orang. Belajarlah dari pengalaman Hal Piper, wartawan The Baltimore Sun, ketika berada di Ashkhabad, ibukota Republik Sosialis Soviet Turkmenia. Hal Piper adalah veteran Boston Marathon. Pulang berlari suatu pagi, ia digiring ke kantor hotel. "Kami tidak biasa melakukan hal itu di sini," ujar manajer hotel memarahi Hal-yang hanya bercelana pendek. Konon, "para wanita kami terguncang melihat kaki anda yang telanjang." Hal diminta menandatangani surat pengakuan bersalah, dan berjanji tak akan mengulangi. Ia berhasil menolak, waktu itu. Di Afrika Timur, ancaman bisa lebih gawat. Jack Sepherd, salah seorang penulis The Runner's Handbook, memberi nasihat berdasar pengalamannya. "Lari di sana sangat menyenangkan," katanya, "selama anda berjagajaga akan kemungkinan diterkam singa!" Di samping itu, ada baiknya membawa KTP -- atau tanda pengenal lain -- selagi berjogging di luar negeri. Seorang wartawan yang sedang bertugas meliput perundingan Mesir-lsrael merasa betul-betul diselamatkan kartu pengenal ketika ia lari pagi di sekitar Herzilya. Ceritanya, tiba-tiba sang wartawan dihadang oleh jip militer Israel, lengkap dengan senapan mesin kaliber 30, penuh peluru. Baru setelah menunjukkan paspor dan kartunya, perwira-perwira Jahudi itu tersenyum dan membiarkan sang wartawan terus berlari. Dengan segala suka dukanya, jogging di luar negeri mungkin tetap menarik. Anda bisa melihat apa yang tidak tergapai oleh pemandangan dari jendela bis turis maupun taksi. Jadi bukan sekedar latihan fisik terhyata. Daerah pertanian Denmark, dan hutan pinus Finlandia, konon merupakan 'jalur idaman' para pelari santai dari Amerika. Juga Pulau Skopelos di Laut Aegea, Yunani. Di Jakarta pun tak kurang tempat. Datanglah ke Senayan, Monas, atau halaman gedung MPR. Selama anda hanya ingin melampiaskan hasrat berjogging di situ, tak ada perkara. Ingat: jangan berjogging di pekarangan masjid, rumah ibadat lain atau pun pasar .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus