TAK heran jika dengan getir Jajang sering meneliti kembali
keadaan dirinya. Karena itu, penderita cacat lumpuh yang selalu
berada di atas kursi roda ini, terkadang tak mungkin menampik
belas kasihan orang lain yang ingin menolong dengan mendorong
kursi rodanya. "Saya sudah lama ingin lepas dari belas kasihan
orang lain," gumamnya "tapi sering saya terima juga karena
fasilitas untuk penderita cacat seperti saya memang belum ada."
Barangkali karena itu, pekan lalu Gubernur DKI, Tjokropranolo,
menginstruksikan kepada ke-5 walikota di Jakarta agar melengkapi
tangga di kantor mereka masing-masing dengan tangga khusus bagi
para penderita cacat agar mereka mudah berkunjung untuk sesuatu
urusan. Dan minggu depan diharapkan sebuah SK Gubernur DKI akan
keluar berisi anjuran agar para pemilik bangunan di Jakarta
melengkapi bangunannya dengan fasilitas untuk orang-orang cacat
(para plegia).
Berdiri Sendiri
Sebab Jajang sendiri memang menyaksikan: sementara Jakarta
semakin lebar, orang-orang cacat seperti dia merasa kota ini
semakin sempit. "Bangunan-bangunan di Jakarta juga rasanya
semakin mewah, tapi makin sulit kami mencapainya," keluh pemuda
kelahiran Tasikmalaya (Ja-Bar) itu.
Jajang Lukman, 27 tahun, menggunakan kursi roda karena kedua
kakinya lumpuh sejak 1976. Bekas petinju dan bekas karyawan
Pertamina Jakarta itu suatu hari, pertengahan 1976, berlari pagi
seperti biasa dia lakukan. Sampai sekarang ia tak tahu pasti apa
yang telah menimpa dirinya, tapi hari itu ia ditemukan orang di
tepi sawah dalam keadaan hampir tewas. Kedua kakinya patah,
begitu juga punggungnya.
Selama 13 hari ia tak sadarkan diri di RS Cipto Mangunkusumo,
Jakarta Pusat, sebelum dipindahkan ke RS Fatmawati, Jakarta
Selatan. Sejak itulah ia harus selalu berada di atas kursi roda.
Ia kini bekerja sebagai kasir di bagian rontgen RS Fatmawati dan
tinggal di wisma para penderita cacat yang ada di RS itu.
Sebelumnya, ia pernah tinggal bersama orang tuanya di Tasik.
Tapi ia hanya betah enam bulan saja. "Tidak enak selalu diurusi
orang, saya ingin berdiri sendiri," tuturnya. Maka ia pun
bekerja di RS Fatmawati, tempat dia pernah dirawat.
Meskipun selalu di atas kursi roda, Jajang bebas bepergian.
Kalau hanya sekedar nonton bioskop di sekitar Kebayoran Baru
menurut dia, tak ada soal. Bahkan melewatkan kursinya di tangga
bertrap dua pun ia sanggup. "Tapi lebih dari itu, minta ampun,"
katanya. Lebih celaka lagi kalau ia harus pulang ke kampungnya,
Tasikmalaya. Sebab mulai dari RS Fatmawati, sampai di stasiun
bis Cililitan, ia harus memakai pengantar. "Naik turun bis,
itulah yang saya tetap belum mampu," tambahnya "lagi pula
kendaraan umum belum ada satu pun yang memiliki fasilitas untuk
orang cacat seperti saya."
Kapok Saya
Untuk bepergian di dalam kota, Jajang terpaksa memakai taksi.
Sampai di atas kendaraan, kursi rodanya dilipat dan dipasang
kembali jika sampai di tempat tujuan. Tapi ketika suatu kali ia
harus berurusan dengan kepala PLN Kebayoran, ia benar-benar
kecewa terhadap dirinya, sekaligus terhadap fasilitas yang belum
ada. Karena si kepala PLN berada di tingkat atas gedung, sedang
lift tak ada, Jajang terpaksa menyampaikan niatnya kepada
pejabat itu melalui telepon lokal yang ada di tingkat bawah.
"Kapok saya," ia menyesali.
Karena itu laki-laki yang memelihara jenggot itu terhibur juga
setelah mendengar 1 Mei lalu, Gubernur Jakarta meresmikan dua
buah tangga khusus untuk penderita cacat seperti Jajang di
Balaikota DKI. Sebuah di antara tangga itu dipasang khusus
menuju ruang kerja Gubernur Tjokropranolo. Tangga dari papan
jati yang dipelitur licin itu tak terlalu curam, tapi cukup
untuk menggantikan fungsi 3 trap tangga yang biasa dipakai umum.
Tangga yang sebuah lagi berada di kaki gedung Balaikota yang
bertingkat 24 itu. Orang biasa harus melalui tangga bertrap 8.
Sesudah berada di lantai pertama, perjalanan selanjutnya ke
tingkat-tingkat atas dilanjutkan dengan lift. "Itu artinya saya
tak perlu digendong-gendong lagi kalau ke balaikota," kata
Jajang lagi.
Jajang memang sering berurusan ke Balaikota DKI, maupun
kantor-kantor pemerintah lainnya. Sebab selain karyawan, di RS
Fatmawati dia juga salah seorang pengurus Koperasi Perpari
(Persatuan Paraplegia Indonesia) yang menyalurkan hasil kerja
anggota-anggotanya berupa lemari dan berbagai jenis kursi.
Perabotan rumah tangga ini banyak dipesan oleh berbagai instansi
pemerintah.
Tapi tak kalah menyibukkan pula, adalah kedudukan Jajang sebagai
salah seorang pemain band Rock'n Chair, sebuah perkumpulan musik
orang-orang cacat penghuni RS Fatmawati. Sudah berkali-kali band
ini mengadakan pertunjukan untuk umum. Bahkan setiap tanggal 17
main di President Hotel. (lihat juga Musik).
Irmatati
Irmatati, memang bukan penyanyi band Rock'n Chair. Tapi wanita
yang kedua kakinya tak berfungsi karena terserang penyakit polio
sejak kecil itu terkenal sebagai penyanyi. Bahkan pada 1977
pernah merekam suaranya dalam sebuah kaset berjudul Mawar Biru.
Tapi akhir-akhir ini, ibu dari tiga orang anak (semuanya
laki-laki) ini hanya sekali-sekali saja menyanyi, karena
kesibukannya mengurus rumah tangga.
Irma, 32 tahun, merasa beruntung karena mendapat seorang suami
normal, seorang pegawai pemerintah yang bertugas sebagai guru di
Yayasan Penderita Anak-anak Cacat (YPAC) di Jalan Hangtuah,
Kebayoran Baru. Di sinilah Irma, menemukan jodohnya, yaitu
ketika ia memasuki masa pendidikan khusus bagi penderita cacat.
Mereka menikah pada 1970 dan kini anaknya yang tertua telah
berusia 10 tahun. Anak inilah yang banyak membantu ibunya
mengurus rumah tangga mereka di Depok II, Bogor. "Rasa
tanggungjawabnya amat besar," komentar Irma tentang anak
tertuanya itu.
Suyono Hendromartono, suami Irma mengubah beberapa bagian rumah
buatan Perumnas yang ditinggali mereka sehingga ibu rumah tangga
di atas kursi roda itu leluasa bergerak. Misalnya kamar mandi
dan dapur, dibentuk, begitu rupa sehingga Irma mudah melakukan
tugasnya sebagai nyonya rumah. Bahkan tempat menjemur pakaian,
akan dibuatkan sang suami dengan sistem mengerek. Bagian teras
rumah dibuat khusus untuk lalu-lintas kursi roda Irma.
Tapi lepas dari halaman rumah, kesulitan yang dihadapi wanita
berdarah Minang itu, sama halnya dengan rekanrekannya sesama
paraplegia. "Praktis saja tak dapat ke mana-mana jika tanpa
suami saya," katanya. Kalau harus meyanyi untuk suatu
pertunjukan, misalnya, ia selalu minta disediakan kendaraan
penjemput. "Dan kalau harus pergi ke Jakarta, berarti membuang
uang paling tidak Rp 10.000 untuk ongkos taksi pulang pergi,"
kata Irma.
Karena itu ia jarang bepergian. Bahkan ia memilih tinggal di
rumah bila pada hari-hari libur suami dan anak-anaknya mengajak
piknik. 'Saya tak ingin merepotkan mereka dengan
menggendong-gendong saya naik turun kendaraan," tuturnya. Dan
anak-anaknya ternyata sudah memahami keadaan Irma. Sehingga
setiap hendak meninggalkan wanita itu sendirian di rumah,
anak-anaknya selalu berpesan "Hati-hati di rumah, mama. Kalau
ada orang datarg, jangan cepat-cepat membuka pintu - siapa tahu
orang jahat."
Sebenarnya Irma ingin sekali-sekali belanja di pasar. "Saya
ingin membeli sayur-sayuran segar," ungkapnya. Tapi pasar-pasar
di Jakarta umumnya belum dapat dimasuki para pemakai kursi roda,
lebih-lebih karena trotoarnya masih curam.
Meskipun demikian, di jalan-jalan tertentu di Jakarta,
trotoar-trotoar memang sudah disiapkan untuk penderita
paraplegia. Trotoar di wilayah Kebayoran Baru, misalnya, dinilai
Irma sudah cukup baik untuk kursi roda. Begitu juga jalur
lambatnya.
Marsin juga jarang pergi dari tempat tinggalnya di wisma
penderita cacat RS Fatmawati. Alasannya semata-mata karena
enggan jika harus ditolohg orang lain naik turun kendaraan atau
kantor-kantor bertangga. "Sebab kalau ditolong orang yang belum
berpengalaman, kursi roda saya bisa terjungkir," tuturnya. Untuk
membeli kebutuhan sehari-hari, ia cukup minta tolong pada
teman-temannya.
Pemuda kelahiran Karawang itu berada di atas kursi roda sejak
1977. Ia mengemudikan truk tanpa SIM waktu kecelakaan itu
terjadi karena menabrak truk yang lain. Pinggangnya patah. Kedua
kakinya mengecil. Dan setelah beberapa bulan dirawat di RS
Fatmawati, ia harus berjalan dengan kursi beroda.
Marsin dan kawan-kawannya pernah bekerja di sebuah pabrik
elektronik di Tambun, Bekasi. Untuk pulang-pergi kerja, mereka
harus diantar-jemput dengan kendaraan khusus yang sekali jalan
menelan waktu sedikitnya 1« jam. Dengan gaji Rp 500 sehari,
akhirnya mereka merasa penghasilan itu tak seimbang. Lalu
ramai-ramai berhenti dan sampai sekarang bekerja di Koperasi
Perpari.
Laki-laki berusia 28 tahun itu tak ingin pulang menetap di
Karawang. Ia ingin berumah tangga. "Sebab, kalau di Jakarta
orang seperti saya ini masih bisa laku. Di daerah susah, sebab
di sana seorang suami harus punya tenaga untuk bekerja kasar,"
kata Marsin. Ia mengaku, mampu melakukan fungsi sebagai suami,
jika suatu ketika menemukan jodoh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini