Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mereka Ingin Tanpa Belas Kasihan

Th 1981 ini dinyatakan sebagai tahun bagi penderita cacat. belum ada fasilitas yang disediakan untuk para penderita cacat. berbagai usaha dan kegiatan para penderita cacat.(sd)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK heran jika dengan getir Jajang sering meneliti kembali keadaan dirinya. Karena itu, penderita cacat lumpuh yang selalu berada di atas kursi roda ini, terkadang tak mungkin menampik belas kasihan orang lain yang ingin menolong dengan mendorong kursi rodanya. "Saya sudah lama ingin lepas dari belas kasihan orang lain," gumamnya "tapi sering saya terima juga karena fasilitas untuk penderita cacat seperti saya memang belum ada." Barangkali karena itu, pekan lalu Gubernur DKI, Tjokropranolo, menginstruksikan kepada ke-5 walikota di Jakarta agar melengkapi tangga di kantor mereka masing-masing dengan tangga khusus bagi para penderita cacat agar mereka mudah berkunjung untuk sesuatu urusan. Dan minggu depan diharapkan sebuah SK Gubernur DKI akan keluar berisi anjuran agar para pemilik bangunan di Jakarta melengkapi bangunannya dengan fasilitas untuk orang-orang cacat (para plegia). Berdiri Sendiri Sebab Jajang sendiri memang menyaksikan: sementara Jakarta semakin lebar, orang-orang cacat seperti dia merasa kota ini semakin sempit. "Bangunan-bangunan di Jakarta juga rasanya semakin mewah, tapi makin sulit kami mencapainya," keluh pemuda kelahiran Tasikmalaya (Ja-Bar) itu. Jajang Lukman, 27 tahun, menggunakan kursi roda karena kedua kakinya lumpuh sejak 1976. Bekas petinju dan bekas karyawan Pertamina Jakarta itu suatu hari, pertengahan 1976, berlari pagi seperti biasa dia lakukan. Sampai sekarang ia tak tahu pasti apa yang telah menimpa dirinya, tapi hari itu ia ditemukan orang di tepi sawah dalam keadaan hampir tewas. Kedua kakinya patah, begitu juga punggungnya. Selama 13 hari ia tak sadarkan diri di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, sebelum dipindahkan ke RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Sejak itulah ia harus selalu berada di atas kursi roda. Ia kini bekerja sebagai kasir di bagian rontgen RS Fatmawati dan tinggal di wisma para penderita cacat yang ada di RS itu. Sebelumnya, ia pernah tinggal bersama orang tuanya di Tasik. Tapi ia hanya betah enam bulan saja. "Tidak enak selalu diurusi orang, saya ingin berdiri sendiri," tuturnya. Maka ia pun bekerja di RS Fatmawati, tempat dia pernah dirawat. Meskipun selalu di atas kursi roda, Jajang bebas bepergian. Kalau hanya sekedar nonton bioskop di sekitar Kebayoran Baru menurut dia, tak ada soal. Bahkan melewatkan kursinya di tangga bertrap dua pun ia sanggup. "Tapi lebih dari itu, minta ampun," katanya. Lebih celaka lagi kalau ia harus pulang ke kampungnya, Tasikmalaya. Sebab mulai dari RS Fatmawati, sampai di stasiun bis Cililitan, ia harus memakai pengantar. "Naik turun bis, itulah yang saya tetap belum mampu," tambahnya "lagi pula kendaraan umum belum ada satu pun yang memiliki fasilitas untuk orang cacat seperti saya." Kapok Saya Untuk bepergian di dalam kota, Jajang terpaksa memakai taksi. Sampai di atas kendaraan, kursi rodanya dilipat dan dipasang kembali jika sampai di tempat tujuan. Tapi ketika suatu kali ia harus berurusan dengan kepala PLN Kebayoran, ia benar-benar kecewa terhadap dirinya, sekaligus terhadap fasilitas yang belum ada. Karena si kepala PLN berada di tingkat atas gedung, sedang lift tak ada, Jajang terpaksa menyampaikan niatnya kepada pejabat itu melalui telepon lokal yang ada di tingkat bawah. "Kapok saya," ia menyesali. Karena itu laki-laki yang memelihara jenggot itu terhibur juga setelah mendengar 1 Mei lalu, Gubernur Jakarta meresmikan dua buah tangga khusus untuk penderita cacat seperti Jajang di Balaikota DKI. Sebuah di antara tangga itu dipasang khusus menuju ruang kerja Gubernur Tjokropranolo. Tangga dari papan jati yang dipelitur licin itu tak terlalu curam, tapi cukup untuk menggantikan fungsi 3 trap tangga yang biasa dipakai umum. Tangga yang sebuah lagi berada di kaki gedung Balaikota yang bertingkat 24 itu. Orang biasa harus melalui tangga bertrap 8. Sesudah berada di lantai pertama, perjalanan selanjutnya ke tingkat-tingkat atas dilanjutkan dengan lift. "Itu artinya saya tak perlu digendong-gendong lagi kalau ke balaikota," kata Jajang lagi. Jajang memang sering berurusan ke Balaikota DKI, maupun kantor-kantor pemerintah lainnya. Sebab selain karyawan, di RS Fatmawati dia juga salah seorang pengurus Koperasi Perpari (Persatuan Paraplegia Indonesia) yang menyalurkan hasil kerja anggota-anggotanya berupa lemari dan berbagai jenis kursi. Perabotan rumah tangga ini banyak dipesan oleh berbagai instansi pemerintah. Tapi tak kalah menyibukkan pula, adalah kedudukan Jajang sebagai salah seorang pemain band Rock'n Chair, sebuah perkumpulan musik orang-orang cacat penghuni RS Fatmawati. Sudah berkali-kali band ini mengadakan pertunjukan untuk umum. Bahkan setiap tanggal 17 main di President Hotel. (lihat juga Musik). Irmatati Irmatati, memang bukan penyanyi band Rock'n Chair. Tapi wanita yang kedua kakinya tak berfungsi karena terserang penyakit polio sejak kecil itu terkenal sebagai penyanyi. Bahkan pada 1977 pernah merekam suaranya dalam sebuah kaset berjudul Mawar Biru. Tapi akhir-akhir ini, ibu dari tiga orang anak (semuanya laki-laki) ini hanya sekali-sekali saja menyanyi, karena kesibukannya mengurus rumah tangga. Irma, 32 tahun, merasa beruntung karena mendapat seorang suami normal, seorang pegawai pemerintah yang bertugas sebagai guru di Yayasan Penderita Anak-anak Cacat (YPAC) di Jalan Hangtuah, Kebayoran Baru. Di sinilah Irma, menemukan jodohnya, yaitu ketika ia memasuki masa pendidikan khusus bagi penderita cacat. Mereka menikah pada 1970 dan kini anaknya yang tertua telah berusia 10 tahun. Anak inilah yang banyak membantu ibunya mengurus rumah tangga mereka di Depok II, Bogor. "Rasa tanggungjawabnya amat besar," komentar Irma tentang anak tertuanya itu. Suyono Hendromartono, suami Irma mengubah beberapa bagian rumah buatan Perumnas yang ditinggali mereka sehingga ibu rumah tangga di atas kursi roda itu leluasa bergerak. Misalnya kamar mandi dan dapur, dibentuk, begitu rupa sehingga Irma mudah melakukan tugasnya sebagai nyonya rumah. Bahkan tempat menjemur pakaian, akan dibuatkan sang suami dengan sistem mengerek. Bagian teras rumah dibuat khusus untuk lalu-lintas kursi roda Irma. Tapi lepas dari halaman rumah, kesulitan yang dihadapi wanita berdarah Minang itu, sama halnya dengan rekanrekannya sesama paraplegia. "Praktis saja tak dapat ke mana-mana jika tanpa suami saya," katanya. Kalau harus meyanyi untuk suatu pertunjukan, misalnya, ia selalu minta disediakan kendaraan penjemput. "Dan kalau harus pergi ke Jakarta, berarti membuang uang paling tidak Rp 10.000 untuk ongkos taksi pulang pergi," kata Irma. Karena itu ia jarang bepergian. Bahkan ia memilih tinggal di rumah bila pada hari-hari libur suami dan anak-anaknya mengajak piknik. 'Saya tak ingin merepotkan mereka dengan menggendong-gendong saya naik turun kendaraan," tuturnya. Dan anak-anaknya ternyata sudah memahami keadaan Irma. Sehingga setiap hendak meninggalkan wanita itu sendirian di rumah, anak-anaknya selalu berpesan "Hati-hati di rumah, mama. Kalau ada orang datarg, jangan cepat-cepat membuka pintu - siapa tahu orang jahat." Sebenarnya Irma ingin sekali-sekali belanja di pasar. "Saya ingin membeli sayur-sayuran segar," ungkapnya. Tapi pasar-pasar di Jakarta umumnya belum dapat dimasuki para pemakai kursi roda, lebih-lebih karena trotoarnya masih curam. Meskipun demikian, di jalan-jalan tertentu di Jakarta, trotoar-trotoar memang sudah disiapkan untuk penderita paraplegia. Trotoar di wilayah Kebayoran Baru, misalnya, dinilai Irma sudah cukup baik untuk kursi roda. Begitu juga jalur lambatnya. Marsin juga jarang pergi dari tempat tinggalnya di wisma penderita cacat RS Fatmawati. Alasannya semata-mata karena enggan jika harus ditolohg orang lain naik turun kendaraan atau kantor-kantor bertangga. "Sebab kalau ditolong orang yang belum berpengalaman, kursi roda saya bisa terjungkir," tuturnya. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari, ia cukup minta tolong pada teman-temannya. Pemuda kelahiran Karawang itu berada di atas kursi roda sejak 1977. Ia mengemudikan truk tanpa SIM waktu kecelakaan itu terjadi karena menabrak truk yang lain. Pinggangnya patah. Kedua kakinya mengecil. Dan setelah beberapa bulan dirawat di RS Fatmawati, ia harus berjalan dengan kursi beroda. Marsin dan kawan-kawannya pernah bekerja di sebuah pabrik elektronik di Tambun, Bekasi. Untuk pulang-pergi kerja, mereka harus diantar-jemput dengan kendaraan khusus yang sekali jalan menelan waktu sedikitnya 1« jam. Dengan gaji Rp 500 sehari, akhirnya mereka merasa penghasilan itu tak seimbang. Lalu ramai-ramai berhenti dan sampai sekarang bekerja di Koperasi Perpari. Laki-laki berusia 28 tahun itu tak ingin pulang menetap di Karawang. Ia ingin berumah tangga. "Sebab, kalau di Jakarta orang seperti saya ini masih bisa laku. Di daerah susah, sebab di sana seorang suami harus punya tenaga untuk bekerja kasar," kata Marsin. Ia mengaku, mampu melakukan fungsi sebagai suami, jika suatu ketika menemukan jodoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus