Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Muslim cina, setelah air mata

Setelah pemerintah deng xiaoping berkuasa, kaum beragama di cina mendapat kelonggaran. imam mesjid muhammad yunus diizinkan kembali memangku jabatannya setelah diberangus selama 16 th .(sel)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MA Liangbi -- alias Muhammad Yunus -- menitikkan air mata. la terharu. Setelah masa pemberangusan 16 tahun, ia diizinkan kembali memanggku jabatannya yang lama. Yunus adalah Imam Masjid Xian, Cina bagian tengah. Dengan Deng Xiaoping di belakang kendali, tampaknya penguasa Cina ingin berbaikan dengan kaum beriman. Agaknya agama tak lagi dianggap "ancaman subversif." Tambahan pula kelonggaran beragama terasa membantu citra Cina di mata dunia. Tahun lalu, 16 orang muslim Cina naik haji. Ma Liangbi salah satu. Di Masjid Xian ia merangkap guide yang ramah, menuntun para tamu menengok-nengok rumah ibadat yang tua itu. Dikelilingi tembok, dengan paviliun dan taman terpelihara, arsitektur masjid ini tak mengesankan gaya Timur Tengah. Ciri Mandarin-nya lebih kuat. Menaranya berbentuk pagoda susun. Imam Ma sendiri tak kentara sebagai pemuka agama. Hanya kopiah putihnya menandakan Ma anggota kelompok minoritas Hui. Sejak Islam masuk ke Cina lebih 1000 tahun lalu, kelompok Hui bersentuhan dengan mazhab Sunni yang dianut 90% muslimin di dunia. Ma mengepalai sekitar 30 ribu muslim ini. Bukan sedikit. Ketika Revolusi Kebudayaan merajalela, 1966-1976, tak sedikit azab yang ditanggung kaum beriman. Masjid, seperti juga kelenteng, vihara, gereja dan katedral, menjadi sasaran hancur-hancuran. Entah mengapa Masjid Xian tak mengalami kerusakan berarti. Mungkin 'Pengawal Merah' khawatir akan amarah kaum muslim, yang di daerah itu memang terkenal teguh . Meski begitu sempat juga masjid itu ditutup setahun. Imam Ma sendiri dipaksa - bekerja di sebuah pabrik. Sedang kelenteng dan gereja lebih malang nasibnya: banyak yang digunakan sebagai gudang. Masjid Agung Beijing tidak terkecuali. Pada 1966, rumah ibadat yang terletak di Jalan Lembu itu ditutup. Revolusi Kebudayaan tak membutuhkan komat-kamit doa! Maka ketika 'Kelompok Empat' diobrak-abrik, kaum beragama Cina merasa doa mereka dikabulkan. Tak habis-habisnya mereka membicarakan 'bala' yang menimpa Jiangqing, janda mendiang Mao Zhedong yang bijak bestari itu. Syahdan, Idul Adha tahun lalu terjadilah 'mujizat'. Masjid Agung Beijing dibuka kembali. Tidak main-main. Peristiwa itu diawali dengan penyembelihan seekor domba! Inilah upacara korban pertama - Kiao Kai Zhai, menurut lafal sana - setelah 15 tahun. Banyak orang meberkati domba yang akan disembelih itu tampak berlinang air mata. Pemerintah bahkan mengirimkan seorang juru potret untuk mengabadikan 'peristiwa besar' itu. Islam datang ke negeri Cina melalui jalur lalu lintas perdagangan sutra. Menyeberangi Asia Tengah. Atau lewat Asia Tenggara. Tetapi jumlah pemeluknya yang pasti dipertentangkan -- apalagi karena pemerintah komunis yang kemudian berkuasa tak ada urusan untuk melakukan sensus rakyatnya berdasar aama. Dalam buku misionaris Marshall Broomhall, Jslam in China, dicantumkan hasil perhitungan Konsul Jenderal Prancis di Tiongkok 1878-ia menyebut jumlah 20 juta. Broomhall sendiri melaporkan di tahun 1910: 5-10 juta. Encyclopaedia Brittannica, menyebut angka 10 juta. Tapi The Encyclopaedia of Mission -- menurut 'The Fourth Religion of China' tulisan S.M. Livemer, Muslim World, 1934, memilih angka 30 juta. Badruddin Chini dalam tulisan Livemer tersebut, menyebut lebih banyak: 39.918000. Buku Islam in China dari M. Rafiq Khan, New Delhi, malah menukil karangan wartawan Indonesia Asa Bafagih (almarhum) dalam majalah Green Flag, Tokyo -- yang menyebut jumlah muslimin Tiongkok sedikit lebih dari 50 juta, waktu komunis mulai berkuasa. Entah dari mana sumbernya. J umlah penduduk Cina sendiri diperkirakan lebih sedikit dari 600 juta. Yang jelas, muslimin Cina tersebar terutama di daerah-daerah Sinkiang, Szechwan, Kansu dan Tsinghai. Kemudian Yunnan, Shensi, Chihli dan Honan. Di tempat-tempat lain jumlah mereka kecil, tetapi ada kota-kota lain yang banyak berpenduduk muslim: Beijing, Nanking, Tientsin, Tsinan, Kaifung, Xian, Chengtu, Yunnanfu, Kweilin, Hankow dan Kanton. Hanya saja riwayat eksistensi mereka di 'negeri naga dan burung hong' itu, penuh lekuk liku. Hingga kini pun, misalnya muslim Cina belum diizinkan berlibur pada hari Jumat. Apalagi berlibur sekolah di bulan puasa. Maklum komunis. Sembahyang jamaah pada hari Jumat disesuaikan dengan jam istirahat kantor dan pabrik. Syukurlah itu sudah diizinkan di sana. Tanda-tanda toleransi lainnya, ya bolehlah. Sebuah tafsir Al Quran dalam bahasa Cina segera dicetak musim panas tahun ini. Tafsir pertama setelah Revolusi Kebudayaan. Pada zaman dulu, masjid mendapat dananya dari menyewakan tanah dan rumah milik yayasan atau lembaganya, yang biasanya berstatus wakaf. Setelah pemerintahan 'demokrasi rakyat' berkuasa, hanya negara yang boleh memiliki kekayaan. Masjid menerima 'subsidi' secara tetap Sebagian dananya diambilkan dari pengeluaran untuk "gedung-gedung bersejarah." Seperti halnya Ma Liangbi, kebanyakan muslim Cina memakai nama depan Ma. Artinya: kuda. Lho! mengapa bukan unta, kalau perlu? Dalam aksara Cina, ma adalah 'karakter' pertama di dalam menyalin nama Muhammad. Ma adalah bunyi fat-hah untuk huruf Arab min. Di Xian, Imam Ma Liangbi, makin berbesar hati. Jamaahnya bertambah secara mantap. Sambil mensyukuri pertambahan penduduk secara alami, ia juga berterima kasih kepada 'ekspansi industrialisasi' yang menjamah daerah itu. Sebab keluarga-keluarga pekerja baru berdatangan di Xian. Dan di antara mereka ternyata tak sedikit kaum muslim. Dari sekitar 10 saf peserta sembahyang jamaah yang datang secara tetap ke masjid (dan 10 saf itu banyak sekali, untuk ukuran sembahyang harian -- bukan Jumat -- di masjid-masjid kita), lebih 6 saf terdiri dari orang tua. Inilah kelompok yang paling banyak menanggung caci maki selama hampir 30 tahun terakhir. Sebaliknya, mereka pula agaknya yang paling teguh, dan tahan uji. KELOMPOK tua ini kerap diremehkan. Padahal jangan lupa: pertimbangan, terakhir Beijing memberikan kelonggaran beragama bukan tak mungkin dipengaruhi keteguhan mereka. Tadinya, dengan memberikan tekanan-tekanan drastis kepada kaum beriman, Beijing mengharapkan rakyatnya 'alergi' terhadap agama. Ternyata tidak. Ketika masjid-masjid ditutup, para muslimin dan muslimat menjalankan salat sendiri-sendiri, di balik dinding dan pintu terkunci. Sesudah lama menyelidik, rezim Deng Xiaoping rupanya lebih realistis ketimbang pendahulunya. Agama kebetulan belum pernah menularkan pengaruh sosial dan kebudayaan di Cina dengan cara seperti misalnya di Eropa dan Timur Tengah. Jadi, buat apa khawatir? Namun demikian, Ma Liangbi dan para Ma lainnya di sana tidak lantas berjumpalitan lantaran senang. Mereka tetap berjaga-jaga. Di antara anggota jamaah yang datang terbungkuk-bungkuk bersembahyang subuh ke masjid itu, bukan mustahil menyelinap seorang 'agen Beijing'. Maklum .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus