SEBUAH gejala baru berkembang di Amerika. Yaitu kegandrungan
mempersenjatai diri dan mengikuti latihan para-komando.
Akhir Maret lalu, petugas keamanan menangkap 12 orang sipil di
suatu daerah terpencil, di Florida bagian tengah. Mereka dituduh
melintasi daerah terlarang, berhampiran dengan sebuah proyek
nuklir. Keduabelas orang itu lengkap bersenjata, dan mengenakan
busana tempur berikut penyamaran. Persis bagai di medan perang.
"Belasan grup di Amerika sekarang ini terlibat dalam latihan
para-komando, pengumpulan dan penggunaan sen'jata api," tulis
wartawan Robert M. Press dari The Christin Science Monitor.
Mereka terdiri dari kelompok masyarakat yang rupanya memilih
kekerasan sebagai bagian kehidupan di penghujung abad ini.
Dengan satu dan lain variasi, alasan yang diberikan para
pemimpin kelompok itu dalam membela programnya ialah: mengajak
rakyat Amerika berjaga-jaga. Berjaga-jaga terhadap apa, sih?
Tiap kelompok punya skenario masing-masing. Tapi umumnya dua hal
selalu dipajang sebagai bahan kecemasan. Pertama, kebangkrutan
ekonomi yang akan "mengobarkan perang tanding" antara si lapar
dan kaum berpunya. Kedua, "ancaman keamanan dari luar," misalnya
Uni Soviet. Dengan dalih ini agaknya, sebagian para-komando
sipil itu menamakan diri mereka soldiers of fortune.
Suatu kenyataan menarik ialah dilibatkannya kelompok agama dan
gereja ke dalam kegiatan latiha militer ini. Beberapa simbol
Nasrani kelihatan dipakai dalam "operasi" tertentu.
Misalnya Liga Pertahanan Patriot Kristen (CPDL). Dibentuk
beberapa tahun silam oleh Gereja Konservatif Kristen Amerika,
sebuah gerakan sempalan dengan cabang terutama di wilayah barat
bagian tengah AS.
Di Wisconsin, dalam pada itu dikenal sebuah kelompok siaga
dengan nama Posse Comitatus. Awalnya mereka bergerak dalam
mendirikan gereja-gereja. Tapi "itu bukan gereja sejati," --
ujar Mike Saleski dari Departemen Hukum Kriminal, Wisconsin.
Anggota Posse Comitatus belakangan diketahui dipersenjatai
dengan pistol dan senapan. "Mereka melakukan kegiatan
gerilya."kata Saleski. Kelompok ini terkenal sangat anti-Jahudi
(sebagai ras).
Organisasi rasialis Ku Klux Klan (KlK) yang juga menudungi
tujuan mereka dengan dalih membela "kaum Kristen Putih," dan
terkenal keras dan biadab, tentunya ikut pula membangun pasukan
komando. Dan sementara itu para pengikut aliran kepercayaan
rupanya sama saja. Gerakan Hare Krishna umpamanya.
Tahun ialu polisi menyergap sebuah peternakan milik seorang
tokoh Krishna di California Utara. Para petugas hukum itu
sebetulnya sedang melacak barang curian. Tapi apa yang mereka
temukan, menurut Letnan Jeff Marham dari kantor sheriff Lake
County, tak lain "ratusan renceng peluru dan mesiu."
Sialnya undang-undang pengawasan senjata api di Amerika kurang
membantu para petugas hukum. David M. Schiller Jr., seorang
pemuka Gerakan Krishna mengaku, "semua anggota Krishna boleh
mempersenjatai diri, sekalipun hal itu tidak dianjurkan."
Kecuali para rahib. "Menaati hukum negeri ini sudah merupakan
kebijaksanaan kami," ujar Schiller bagai menyindir.
Undang-undangnya memang masih jadi soal.
Kelompok lain yang "mengangkat senjata" dan sering merepotkan
petugas hukum ialah The Way International. Menurut seorang
jurubicaranya, Kenneth Suddeth, latihan militer yang mereka
laksanakan justru untuk "mengatasi ketakutan akan senjata api."
Gerakan ini menjamin anggota-anggotanya akan selalu berlatih di
ruangan tertutup. Tapi seorang reporter Emporia Gazette mengaku
pernah menyaksikan sekitar 300 orang 'serdadu' The Way main
perang-perangan di sebuah daerah terbuka dekat pedesaan. Lengkap
dengan pistol dan senapan.
Mulanya, kecenderungan angkat senjata ini bisa dibedakan
berdasar dua motif. Pertama dalih membela diri, yang umumnya
dinyatakan oleh kaum 'survivalist'. Mereka ini hampir tak
putus-putusnya bicara tentang suatu "perang di masa depan" dan
"masyarakat yang bakal ambruk." Jenis kedua ialah kaum yang
memang mempersiapkan diri menjadi serdadu sewaan.
Tapi lama-kelamaan kedua motif tampak bercampur baur. Umumnya
peserta latihan ialah golongan yang kurang sukses dalam karir.
Yaitu mereka yang hanya berhasil meraih sekeping kecil dari
'impian Amerika': hidup dengan segala kemudahan.
Latar belakang ini kemudian diimbuhi pelbagai kecenderungan.
Misalnya patriotisme, rasialisme, semangat agama yang berkobar,
dan memang kekhawatiran masa depan. Ketika Robert Lee Lisenby
tertangkap, persoalannya menjadi lebih jelas.
Robert adalah salah seorang instruktur CPDL. Juga wakil Joseph
Franklin Camper, 'komandan pasukan' yang kepergok di Florida
itu. Terlibatnya orang-orang seperti Camper-lah yang membuat
pemerintah AS tak bisa menenggang main militer-militeran yang di
negeri kita agaknya jelas akan di nilai 'subversif' ini.
Camper, 34 tahun, dari Dolomite, Negara Bagian Alabama, adalah
veteran Pasukan Khusus AS yang pernah beroperasi sampai ke
pedalaman Vietnam. Sebuah prestasi yang tidak bisa dipandang
enteng.
Ia memasang iklan di majalah Sol dier of Fortune: menjanjikan
'kursus perang rimba' dengan bayaran US$ 350 selama dua minggu.
"Sambutan datang dari hampir seluruh dunia," tutur Ny. Betty,
ibu Camper.
Ketika pasukan yang dipimpinnya tertangkap di Florida, 11 pucuk
senjata otomatis dan semi-otomatis disita -- bikinan Israel,
Jepang, Amerika, Soviet. Tapi ternyata hanya 5 pucuk yang bisa
dipakai menembak.
Kepada wartawan Camper mengaku memberikan latihan "sangat
profesional." Anggotanya yang lulus mampu mengikuti perang di
gunung, rimba, bahkan gurun sahara.
Di mana? Entahlah. Tapi sebuah sumber menyebutkan Camper ikut
pelbagai kegiatan militer di sekitar Arab Saudi, Mesir, Meksiko,
Jamaica, Yunani dan beberapa negeri lain.
Selain pasukan Camper masih terdapat beberapa kelompok
para-komando swasta. Misalnya Tim Operasi Combat Khusus dan
Baret Cokelat, keduanya di Texas. Yang pertama dipimpin Ricardo
C. Lopez, terkenal sebagai penyalur senapan mesin. Sebagian
anggotanya pernah berperang di Vietnam.
Tuduh-menuduh di antara kelompok ini tak kurang memusingkan para
penguasa pula. Pemimpin Baret Cokelat, Gilbert Herrea,
mengatakan ia angkat senjata karena merasa diancam KKK.
Sementara tokoh KKK cabang Texas, Louis Beam, membela kegiatan
kelompoknya dengan menuding dua grup radikal kiri di California
dan Alabama. Padahal menurut petugas hukum di kedua daerah itu,
grup radikal kiri itu sudah lama melempem.
Yang jelas korban sudah berjatuhan. Di Greensboro, Carolina
Utara, lima orang terbunuh dalam suatu huru-hara anti-KKK. Dan
pada gilirannya tak terhitung pula orang Negro yang dilukai dan
dibinasakan hartanya oleh mereka.
Masyarakat Yahudi pun tak bisa tenang. Perkembangan Partai
Nasional Sosialis Amerika (NSPA), sebuah gerakan neo-Nazi,
mereka awasi penuh syak. Bukan rahasia lagi kalau NSPA terlibat
kerjasama dengan KKK dalam menggalakkan latihan para-komando.
Lalu bagaimana Amerika melindungi rakyatnya dari berbagai
pasukan para-komando nonpemerintah itu? Inilah barangkali yang
masih dirisaukan. Sebab hukuman bagi pelaku tindak kekerasan pun
masih dianggap enteng oleh sementara golongan masyarakat.
Beberapa petugas hukum memang menganjurkan pengawasan yang lebih
ketat terhadap kawanan-kawanan radikal. Termasuk dengan
pengerahan tenaga FBI dan CIA. Tapi pihak lain menunjuk "hak
membela diri sendiri" bagi setiap warganegara AS dalam hal
memiliki senjata. Lagi pula, bukankah sebagian besar kelompok
para-komando itu menyebut kegiatan mereka sebagai persiapan
memerangi "musuh-musuh AS?"
Susahnya, di beberapa negara bagian, latihan para-komando swasta
dilakukan Secara resmi. "Selama penggunaan senjata api di luar
hukum tidak bisa dibuktikan, latihan seperti itu sulit dikatakan
melanggar undang-undang," ujar seorang petugas.
Persoalannya memang bisa mbulet tak kunjung putus. Setiap orang
mulanya cenderung mempertahankan diri. Buntutnya: dengan jalan
menyerang orang lain. Homo homini lupus -- sambil bergagah-gagah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini