PENAMBANGAN bauksit di Pulau Bintan belum mengubah kemiskinan
penduduk sekitarnya. Malahan limbah buangan pabrik itu mengancam
mata pencaharian penduduk yang sebagian besar terdiri dari
nelayan.
Itu terjadi di desa nelayan tradisional, Tembeling, di Kecamatan
Bintan Selatan (Kepulauan Riau). Di perairan sekitar desa ini
beberapa tahun lalu sekali melaut seorang nelayan bisa membawa
pulang 3 - 4 kilogram ikan. "Tetapi sekarang paling-paling hanya
dapat satu-dua ons saja," keluh Dullah, 52 tahun, seorang
nelayan miskin dari desa tersebut. Karenanya Dullah dan
kawan-kawan sekampungnya sekarang terpaksa mengayuh perahu
tiga-empat jam untuk mencapai daerah penangkapan baru - misalnya
di Pulau Penghujan.
Semua itu gara-gara pencemaran oleh air sisa pencuci tanah
bauksit, yang berasal dari Unit Penambangan Bauksit Kijang
(UPBK) yang juga terletak di Kecamatan Bintan Selatan. Air
buangan pabrik itu bercampur lumpur kuning yang mengandung racun
aluminium, mengalir dari pabrik lewat parit-parit dan sungai ke
laut. Akibatnya pohon-pohon bakau yang tadinya subur menghitam,
menjadi kuning, meranggas dan mati. Dan tentu saja semua jenis
biota laut enggan pula berbiak di sana.
Sudah hampir 10 tahun bijih bauksit ditambang di Bintan Selatan,
berpusat di Desa Kelong, Pulau Angkut. Dan Desa Tembeling
merupakan satu di antara empat daerah kerja penambangan.
Sebelumnya, penambangan itu dipusatkan di Pulau Bintan bagian
timur.
Dam
Setiap hari traktor-traktor penggaruk tanah meraung-raung di
Tembeling. Tanah itu mengandung bijih bauksit. Sebelum diolah di
pabrik untuk mendapatkan bijih bauksit, tanah tadi dibersihkan
lebih dulu. Air bercampur lumpur bekas pencucian itu, dialirkan
untuk dibuang ke laut.
Karena itu perairan sekitar Bintan sudah lama berwarna kuning.
Begitu pula tanah pantainya. "Kalau air surut, pantai tampak
menjadi kuning. Dan lihat itu, tonggak-tonggak rumah panggung
nelayan dekat laut bagian bawahnya juga menjadi kuning," kata
Kepala Desa Tembeling, Mun Karim, kepada Rida K. Liamsi dari
TEMPO.
Dari satu ton tanah yang dikeruk, separuhnya berupa lumpur yang
harus dibuang ketika dalam proses pencuclan. Produksi bauksit
Bintan per tahun ratarata satu juta meter kubik. Itu berarti
sekitar satu juta meter kubik pula endapan lumpur yang mencemari
pantai dan laut.
UPBK bukannya tak menyadari pencemaran itu. Sejak lama
perusahaan ini membangun beberapa dam penyaring. Lumpur
ditampung dalam dam-dam itu, hingga hanya airnya saja -- yang
diharapkan berkadar aluminium rendah - yang mengalir ke laut.
Tapi sampai sekarang setiap saat dapat disaksikan air kuning
limbahan itu masih tetap bercampur lumpur kental.
Penduduk Tembeling yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa itu bukan
hanya dihadang pencemaran di laut. Juga terancam oleh semakin
gundulnya tanah-tanah daratan. Hampir seperempat dari luas tanah
desa itu terkelupas, digaruk traktor UPBK. Di sela-sela kebun
karet, nampak pula daratan yang botak, menguning dan berdebu.
Melihat daratan yang gundul itu, pihak UPBK memang pernah
berusaha menghijaukannya dengan tanaman akar wangi. Tapi karena
tanah sudah terkelupas antara 20 sampai 100 sentimeter, usaha
penghijauan itu belum juga membuahkan hasil. Mungkin karena
tanah itu sudah tak berhumus lagi. Sekarang sedang dicoba
pembibitan ribuan batang pohon jambu mete.
Perairan di sekitar Tembeling sudah amat tercemar. Hal ini
diakui Kepala Kantor Lembaga Penelitian Perikanan Laut Kabupaten
Kepulauan Riau, Harmoko B.Sc. Dulu, katanya perairan desa itu
pernah akan dijadikan proyek tambak budidaya ikan. "Tapi setelah
disurvei, dan ternyata sudah sangat tercemar rencana itu
dibatalkan," ujar Harmoko. Survei itu dibantu FAO, badan pangan
dan pertanian PBB.
Pencemaran itu telah lama juga diketahui pejabat-pejabat
pemerintah setempat, termasuk beberapa anggota DPRD Kepulauan
Riau. Tapi sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda perbaikan.
Camat Bintan Selatan, Suparman Bakry BA, mengaku tak dapat
berbuat apa-apa. "Biarlah Pak Bupati yang berbicara dengan
UPBK," itu saja katanya.
Desa Tembeling sendiri punya andil sekitar 30% dari seluruh
produksi penambangan bauksit. Sebagai imbalannya, Tembeling
--seperti halnya desadesa lain yang tanah bauksitnya digaruk
--memang sempat berubah, meskipun tak banyak artinya bagi
nelayan miskin, penduduk terbanyak desa itu.
Tiga-Empat Tahun
Misalnya, dulu satu-satunya jalan untuk mencapai Tembeling hanya
laut. Sekarang, sebuah jalan darat sepanjang 37 km sudah
terentang dari desa itu sampai di bibir jalan aspal menuju
Tanjungpinang, ibukota Kabupaten Kepulauan Riau. Kendaraan
bermotor memang bisa melewati jalan itu, asal bukan di musim
hujan. "Sebab kalau hujan, lumpur kuning itu bukan main daya
lengketnya. Kendaraan bisa terperangkap," kata Mun Karim.
Listrik dan air bersih pun sudah lama masuk di Tembeling. Cuma
harap diketahui, fasilitas tersebut sebenarnya hanya untuk
kebutuhan perusahaan bauksit dan sekitar 200 perumahan
karyawannya.
Poliklinik UPBK memang dibuka untuk umum dan penduduk pun dapat
memanfaatkannya. "Dengan begitu agak tertolong juga pemeliharaan
kesehatan penduduk di sini," ujar Abduljalil, satu-satunya
mantri kesehatan di poliklinik itu.
Usaha penambangan bauksit di Tembeling akan berakhir tiga-empat
tahun mendatang. Dan setelah UPBK angkat kaki dari sana, apa
yang akan tersisa bagi desa itu? Orang Tembeling, Kelong dan
desa-desa lain yang permukaan tanah daratannya telah dikelupas,
tampaknya hanya akan mewarisi laut yang menguning. Dan daratan
yang gundul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini