Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG 22 Mei, kubu pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno menyerukan menolak penetapan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum. Politikus Partai Berkarya yang juga mantan istri Prabowo, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, misalnya, mengatakan massa pro-Prabowo akan berunjuk rasa sejak sebelum hari penetapan. Menurut Titiek, kubunya tak akan membawa hasil penetapan tersebut ke Mahkamah Konstitusi, tapi menyuarakannya di jalanan.
Pemerintah memerintahkan polisi dan Tentara Nasional Indonesia bersiaga menjaga Ibu Kota. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan ada sejumlah potensi gangguan keamanan yang diantisipasi pemerintah dan aparat keamanan. Jumat malam, 17 Mei lalu, di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mantan Panglima TNI itu menjelaskan soal potensi ancaman tersebut kepada wartawan Tempo, Raymundus Rikang dan Stefanus Pramono.
Bagaimana pemerintah menyikapi unjuk rasa 22 Mei?
Pada prinsipnya, kami tidak keberatan. Kita sudah sangat dewasa menyikapi unjuk rasa. Betapa besar aksi 212 (unjuk rasa 2 Desember 2016, yang menuntut Gubernur DKI saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjarakan karena menjadi tersangka kasus penistaan agama) dan semua berlangsung aman.
Seperti apa potensi ancaman keamanan dalam unjuk rasa itu?
Ada kekhawatiran, sekelompok tero-ris akan meledakkan bom. Ada keinginan dari mereka untuk menyempurnakan jihadnya, apalagi di bulan Ramadan. Memang banyak terduga teroris yang diringkus polisi meskipun belum bisa dipastikan semua sudah terjaring. Yang jelas, polisi sudah berusaha mengamputasi kelompok itu.
Ancaman itu meluas?
Unjuk rasa ada kemungkinan juga terjadi di kota-kota lain di luar Jawa. Tapi kami sudah mengantisipasinya. Kami memantau terus perkembangan dari waktu ke waktu. Kami meninjau berbagai skenario yang mungkin terjadi. Kami memberikan masukan kepada Presiden. Beliau menyadari ada embrio perpecahan bangsa. Presiden meminta semua itu dicegah, jangan sampai ada gejolak. Masyarakat juga perlu paham situasi ini.
Anda melihat demonstrasi itu tidak hanya untuk menolak hasil pemilu?
Kami menilai pengunjuk rasa belum memiliki niat buruk. Tapi sudah ada indikasi ada kelompok tertentu yang terlatih yang ingin mengambil kesempatan pada 22 Mei. Mereka membonceng aksi unjuk rasa. Kami sudah mencoba menggagalkan upaya kelompok ini.
Siapa kelompok lain itu?
Saya tidak bisa menyebutkan. Nanti pada waktunya kami akan menjelaskan. Yang jelas, kami mengantisipasi berbagai kemungkinan.
Langkah pemerintah seperti apa?
Yang menjadi prioritas teratas adalah membangun komunikasi dengan Pak Prabowo. Sejak awal, inisiasi menjalin komunikasi itu berasal dari Pak Jokowi. Kalau sudah ada kesamaan, konflik tentu bisa dihindari. Kami percaya bahwa beliau itu patriot sejati yang akan bersikap layaknya kesatria. Yang mengkhawatirkan itu kalau ada kelompok lain yang bergerak tanpa setahu Pak Prabowo, seperti saya sebutkan tadi.
Kami tidak ingin ada korban. Kita perlu belajar dari masa lalu. Jangan sampai tragedi Trisakti (penembakan terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa pada 12 Mei 1998 menentang pemerintahan Soeharto, yang berujung pada tewasnya empat mahasiswa, selain ratusan yang luka-luka) berulang. Kalau itu yang terjadi, ongkos demokrasi kita terlalu mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo