Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDAI dulu menyerah karena proposal penelitiannya ditolak berkali-kali, Korri Elvanita El Khobar tak akan membuat penemuan penting di dunia medis. Pada 2014, ketika sejawatnya di kampus University of Sydney, Australia, sudah sibuk melakukan penelitian di laboratorium, ia masih mencari-cari topik riset untuk disertasinya. Proposal penelitian yang ia bawa dari Tanah Air mental setiba di sana.
Beban Korri bertambah karena masa studinya di University of Sydney tinggal tiga tahun. Jika studinya lebih dari empat tahun, beasiswanya bakal dicabut. Sempat patah semangat, Korri memutuskan tidak menyerah karena tak mau mengecewakan orang tua serta para profesornya. Menenggelamkan diri dalam buku dan rutin berdiskusi dengan profesornya, Korri akhirnya mendapat usul penelitian baru.
Berbulan-bulan kemudian, gagasan tersebutlah yang membawanya pada momen “eureka!”. “Saya jadi punya ide, mungkin kita bisa menggunakan gen untuk mendeteksi dini kanker hati, bukan hanya untuk penderita hepatitis C, tapi juga hepatitis B,” kata perempuan 34 tahun ini.
Momen “eureka!” Athanasia Amanda Septevani, 35 tahun, malah diawali hal sepele. Terpikir olehnya upaya membuat penemuan setelah mendapati banyak telepon seluler kawannya tak dipakai lagi akibat layar yang rusak. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini ingin menciptakan layar perangkat elektronik murah yang tak gampang retak.
Herawati Sudoyo di kantor Tempo, Jakarta, Rabu, 24 April lalu. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Amanda kemudian teringat pada nanoselulosa, yang bila diproses lebih lanjut bisa menjadi lembaran tipis transparan atau biasa disebut nanopaper. Nanopaper inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai layar berbagai perangkat elektronik, baik yang berjenis liquid-crystal display (LCD) maupun light-emitting diode (LED). Tidak hanya buat telepon, bahan itu bisa digunakan untuk layar televisi dan laptop.
Karena sejak awal ingin memakai bahan yang ramah lingkungan, Amanda hanya melirik limbah organik atau biomassa untuk nanoselulosanya. Material ini bisa diolah dari rumput liar, sisa cairan tahu, tongkol jagung, atau tandan kelapa sawit. Amanda memilih tandan kelapa sawit setelah menemukan banyak tandan kosong terhampar begitu saja setelah dikeruk dagingnya.
Perempuan, berumur di bawah 40 tahun, dan inventor. Korri dan Amanda mewakili sosok tersebut. Kami juga mencatat empat orang lagi, yakni Ratih Damayanti, pencetus AIKO, aplikasi untuk mengidentifikasi kayu tanpa perlu menunggu hasil laboratorium; Indri Badria Adilina, penemu katalis untuk mengubah minyak cengkih menjadi vanilin; Dewi Nur Aisyah, yang menghasilkan alat deteksi tuberkulosis bernama Tuberculosis Detect and Care atau TB DeCare; dan Sastia Prama Putri, yang menemukan formula untuk mendeteksi keaslian kopi luak. Temuan mereka adalah terobosan penting di bidang masing-masing.
Menurut Ratih, para perempuan peneliti baru di lembaganya cenderung lebih teliti dan tekun ketimbang laki-laki. “Biasanya perempuan yang baru masuk sebagai peneliti di sini nilai indeks prestasi kumulatifnya jauh lebih tinggi ketimbang laki-laki,” tuturnya.
Inovasi mereka juga mencipratkan optimisme: perempuan peneliti memiliki posisi penting di bidang sains, teknologi, dan inovasi. Selama ini, dunia penelitian ketiga bidang tersebut di Indonesia didominasi laki-laki. Menurut riset Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dan Korean Women’s Development Institute pada 2015, jumlah perempuan yang menjadi peneliti di bidang itu mencapai 10.874 atau 31 persen. Sedangkan jumlah laki-laki 35.564 atau 69 persen dari total peneliti.
Meski jumlah perempuan peneliti ribuan, tak mudah mencari figur yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan pada awal liputan khusus ini. Selain berusia muda, syarat yang kami pasang adalah temuannya belum banyak dikenal. Artinya, sejumlah temuan bisa jadi belum diaplikasikan. Namun temuan tersebut sudah masuk jurnal termasyhur internasional atau mendapat paten. Ini membuat kami memangkas daftar panjang kandidat yang telah dikantongi dari diskusi dengan sejumlah lembaga.
Bermula pada awal April lalu, berturut-turut kami berdiskusi dengan Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Eniya Listiani; Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Agus Haryono; Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia Berry Juliandi; serta Herawati Supolo Sudoyo, ilmuwan bidang biologi molekuler yang juga Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Dari diskusi dengan mereka, kami mendapatkan 15 nama. Setelah melewati proses penelusuran, kami memutuskan memilih enam nama. Tak tertutup kemungkinan ada nama lain yang sesuai dengan kriteria tapi luput dari radar kami.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Agus Haryono. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Sekalipun jumlah perempuan peneliti masih terhitung rendah, tren belakangan cukup menggembirakan. Menurut pelaksana tugas Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan LIPI, Ratih Retno Wulandari, jumlah perempuan peneliti baik di bidang eksak maupun humaniora terus meningkat. Di LIPI, misalnya, persentase pertambahan perempuan peneliti lebih besar daripada laki-laki. Pada 2015, perempuan peneliti berjumlah 3.776, sementara laki-laki 5.523. Tiga tahun kemudian, jumlah perempuan peneliti menjadi 3.930 atau naik 4 persen. Adapun jumlah laki-laki menjadi 5.644 atau bertambah 2 persen.
Menurut Ratih, para perempuan peneliti baru di lembaganya cenderung lebih teliti dan tekun ketimbang laki-laki. “Biasanya perempuan yang baru masuk sebagai peneliti di sini nilai indeks prestasi kumulatifnya jauh lebih tinggi ketimbang laki-laki,” tuturnya.
Jika yang terjadi di LIPI adalah fenomena yang juga berlangsung di mana-mana, penting bagi lembaga penelitian, pendidikan, serta wadah pemikir (think tank) untuk memberikan kesempatan berkarya yang luas bagi perempuan. Jangan heran bila suatu saat merekalah yang akan memekikkan “eureka!”—seperti Archimedes di bak mandi saat menemukan hukum fisika yang kelak dinamai dengan namanya.
Yang istimewa, dalam liputan khusus ini, kami menjadikan para perempuan sebagai tulang punggung. Pemimpin proyek dan penulis adalah perempuan. Dalam momen Kebangkitan Nasional ini, kami sekalian ingin menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi penting dalam segala bidang.
Tim Liputan Khusus Perempuan Penemu
Penanggung jawab: Anton Aprianto, Anton Septian
Pemimpin proyek: Devy Ernis
Penulis: Angelina Anjar, Devy Ernis, Dini Pramita, Isma Savitri, Linda Trianita, Putri Adityowati
Penyunting: Anton Aprianto, Anton Septian, Bagja Hidayat, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Yandhrie Arvian
Penyumbang bahan: Aisha Shaidra, Ninis Chairunnisa, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Periset foto: Gunawan Wicaksono
Penyunting bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi
Desainer: Djunaedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo