Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Staf Kepresidenan Moeldoko beberapa kali mengubah posisi duduknya sebelum menjelaskan perkembangan situasi menjelang hari penetapan hasil Pemilihan Umum 2019 pada 22 Mei. Belum tuntas mengutarakan maksudnya, ia minta permisi ke jamban, lalu kembali dan meneruskan ceritanya dengan hati-hati. “Saya ingin mengatakan ke publik, namun tak bisa vulgar,” ujar Moeldoko.
Kepada Tempo, yang menemuinya di rumah pribadinya di Menteng, Jakarta, pada Jumat, 17 Mei lalu, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu mengatakan pemerintah mendeteksi kemungkinan adanya suatu kelompok yang mengambil keuntungan pada 22 Mei. Menurut dia, pemerintah mencoba menggagalkan upaya kelompok tersebut. Ditanya siapa kelompok yang dimaksud, Moeldoko mengaku tak bisa membeberkannya karena alasan keamanan. “Kelompok tertentu yang terlatih,” ia memberikan petunjuk.
Moeldoko juga menerima informasi ada pihak yang menyebarkan isu bahwa pe-nembak jitu disebarkan pemerintah pada hari itu. Ia menengarai kabar itu sengaja diembuskan pihak tertentu untuk menciptakan situasi tak kondusif. “Kalau nanti ada tembakan, aparat yang akan dijadikan kambing hitam,” katanya. Moeldoko memastikan pemerintah tak mengerahkan sniper pada 22 Mei. “Kami sudah mengantisipasinya.”
Rapat koordinasi Wiranto bersama kementerian dan lembaga pemerintah membahas aksi yang meresahkan setelah pemilihan umum, di Jakarta, 6 Mei 2019. ANTARA/Humas Kemenko Polhukam
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mencium indikasi serupa. Mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu menyebutkan ada “penumpang gelap” yang mencoba mengambil keuntungan bila terjadi kekacauan. “Waspadai unsur penumpang gelap yang akan mendominasi langkah berikutnya dan kendalikan republik ini,” ujar Wiranto pada Jumat, 17 Mei lalu.
Wiranto juga melarang mobilisasi massa ke Jakarta. Ia mengatakan upaya membendung warga dari daerah masuk ke Ibu Kota dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik sosial akibat massa pendukung calon presiden menumpuk di Jakarta.
Salah satu kelompok yang ditengarai bakal membuat kekacauan adalah jaringan Jamaah Ansharud Daulah, yang berbaiat ke kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS/IS). Dalam beberapa hari terakhir, Detasemen Khusus 88 Antiteror menggulung 29 terduga teroris di sejumlah wilayah. Menurut polisi, mereka berencana melaksanakan “amaliyah” pada 22 Mei.
Mereka disebut sudah merakit lima bom panci berbahan triaseton triperoksida (TATP). Sebagian dari mereka pernah mengikuti latihan paramiliter di Suriah dan belajar membuat bom asap di Kota Aleppo.
Rencana tersebut diungkap Rafli alis Eky Yudistira Wijayanto, pemimpin dan penyandang dana kelompok Jamaah Ansharud Daulah Bekasi. Dalam video yang diputar polisi pada 17 Mei lalu, Rafli mengaku berencana menaruh bom di tengah kerumunan orang yang berkumpul di sekitar kantor Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Bom tersebut bakal diledakkan dari jauh menggunakan remote control.
Dede Yusuf alias Jundi alias Bondan, yang ditangkap di Jepara, Jawa Tengah, pada Selasa, 14 Mei, meracik bom lain. Ia mengatakan rekapitulasi suara tingkat nasional pada 22 Mei adalah bagian demokrasi yang tak sesuai dengan syariat Islam. “Pesta demokrasi menurut keyakinan saya adalah syirik akbar yang membatalkan keislaman,” ujarnya.
Karena itu, polisi mengimbau masyarakat tak ikut berdemonstrasi di sekitar kantor KPU dan Bawaslu. “Mereka akan menyerang massa, termasuk aparat,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menggelar konferensi pers pengungkapan jaringan Jamaah Ansharud Daulah yang mempunyai tujuan beraksi pada 22 Mei, di Markas Besar Polri, Jakarta, 17 Mei 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Di luar terorisme, polisi mendeteksi ada massa yang bakal bergerak pada 22 Mei. Salah satunya simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi yang telah dinyatakan terlarang. Salah seorang pejabat pemerintahan mengatakan kelompok ini telah menyiapkan logistik demonstrasi, seperti spanduk. Material itu dikirim melalui jasa pengiriman ke sejumlah alamat di pinggiran Ibu Kota.
Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, tak secara tegas membantah atau membenarkan info bahwa kelompoknya akan turun ke jalan pada 22 Mei. Ia menyebutkan, bila ada simpatisan HTI yang turut berunjuk rasa, hal itu merupakan “bagian dari umat yang melawan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif”. Maka, kata dia, “Kemungkaran harus dilawan.”
Kelompok lain yang berniat mengikuti aksi pada 22 Mei adalah Front Pembela Islam dan Persaudaraan Alumni 212. Mereka akan menyelenggarakan gerakan “Ifthor Akbar 212” di depan kantor KPU pada 21-22 Mei. Tujuan unjuk rasa yang dilanjutkan buka puasa bersama itu adalah menuntut KPU menghentikan penghitungan suara dan mendiskualifikasi pasangan nomor urut 01. “Bakal ada puluhan ribu orang dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Banten,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Daerah FPI Jakarta yang juga juru bicara PA 212, Novel Bamukmin.
Seruan “makar” dalam video yang menampakkan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, Soenarko, sempat viral di media sosial. Kepada lawan bicaranya di video, Soenarko mengatakan, jika Jokowi diumumkan sebagai pemenang pada 22 Mei, kantor KPU akan ditutup. “Mungkin ada yang tutup Istana dan Senayan, tapi dalam jumlah yang besar,” ujar Soenarko. “Kalau massanya dalam jumlah besar, polisi pasti bingung.”
Ketika dimintai konfirmasi mengenai video tersebut, Soenarko mengatakan rekaman diambil secara diam-diam oleh seseorang. “Masak, orang seperti saya mau makar?” ujarnya. Tapi, kata dia, unjuk rasa menyikapi hasil pemilu tak dilarang undang-undang. Soenarko berniat hadir dalam aksi 22 Mei apabila koleganya juga bergabung. “Kalau tak ada teman, ya, saya enggak berangkat,” ucapnya.
MENGANTISIPASI seruan “makar” pada 22 Mei, pemerintah dan polisi bergerak cepat. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum, yang berisi sejumlah pakar, yang diberi tugas memberikan masukan kepada Wiranto soal ujaran yang membahayakan keamanan negara, penghinaan terhadap Presiden, dan penyebaran disinformasi.
Menurut Wiranto, gagasan membentuk Tim Asistensi tercetus setelah ia mendapati banyak tokoh yang menyampaikan hasutan lewat media sosial dan memprovokasi masyarakat untuk turun ke jalan pada saat pengumuman hasil pemilihan umum. Sebagai menteri yang bertanggung jawab di bidang keamanan, ia merasa perlu mengantisipasi ancaman tersebut. “Ada indikasi yang perlu dinetralisir,” ujarnya.
Wiranto berhitung, apabila situasi dibiarkan, bisa terjadi konflik sosial di masyarakat. Apalagi, kata dia, ada tokoh yang menyebut hukum sudah bobrok sehingga negara tak bisa diselamatkan dengan “cara-cara konstitusional”. Menurut dia, Tim Asistensi membantu memperjelas langkah hukum yang perlu diambil pemerintah setelah pencoblosan 17 April lalu terhadap tokoh yang disangka demikian. ”Terbukti Eggi Sudjana diproses hukum, Kivlan Zen dan Permadi sedang menunggu, lalu siapa lagi?” tutur Wiranto.
Kivlan Zen tak lain mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Sedangkan Permadi Satrio Wiwoho adalah politikus Gerindra. Tim juga menelisik ucapan politikus Partai Amanat Nasional, Amien Rais, dan pemimpin FPI, Rizieq Syihab. Sejauh ini, ada sebelas orang yang dipantau Tim Asistensi Hukum.
Sekretaris Tim Asistensi Hukum yang juga Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Adi Warman, beberapa kali diajak berdiskusi oleh Wiranto sebelum pembentukan Tim. Wiranto, kata dia, ingin aparat penegak hukum tak ragu-ragu dalam mengambil keputusan, maka harus didukung analisis para pakar.
Adi Warman mencontohkan dugaan makar Eggi Sudjana. Saat berpidato di halaman rumah peninggalan orang tua Prabowo di Jalan Kertanegara 4, Jakarta Selatan, pada 17 April lalu, Eggi menyerukan gerakan people power. “Kalau people power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti tahapan-tahapan karena ini sudah kedaulatan rakyat,” kata Eggi di depan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno waktu itu.
Begitu video Eggi viral, tim internal Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan langsung mengkaji unsur pidana dalam pernyataan Eggi. Menurut Adi Warman, video yang sama juga dipertontonkan di hadapan Tim Asistensi Hukum pada rapat 13 Mei lalu. “Hampir semua pakar sepakat ada unsur makar dalam pernyataan Eggi,” ujar Adi. Hampir berbarengan dengan itu, polisi menetapkan Eggi sebagai tersangka.
Dalam kasus Kivlan Zen, videonya ketika menghadiri acara Gerakan “We Don’t Trust” di Rumah Rakyat, salah satu markas pendukung Prabowo-Sandiaga, di Jalan Tebet Timur Dalam Raya 133, Jakarta Selatan, pada 5 Mei 2019, dinilai menghasut orang melakukan makar. Waktu itu, Kivlan mengimbau orang berbondong-bondong bergabung dalam unjuk rasa di kantor KPU dan Bawaslu pada 9 Mei. “Kita akan merdeka di sana,” ujarnya. Menurut Kivlan, kata “merdeka” yang dia pekikkan dalam orasi itu maksudnya bebas mengemukakan pendapat, bukan membentuk negara baru.
Setelah pidato Kivlan tersiar luas di media sosial, seseorang bernama Jalaludin melaporkannya ke polisi dengan tuduhan penyebaran informasi sesat. Pada 10 Mei lalu, Kivlan dihampiri seorang polisi di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, ketika hendak pergi ke Batam. Polisi menyerahkan surat pemanggilan untuk diperiksa sebagai saksi pada 13 Mei 2019 di kantor Badan Reserse Kriminal Polri.
Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen setelah menjalani pemeriksaan di Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Jakarta, 13 Mei 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Pada hari yang sama, Imigrasi mencegah Kivlan berpesiar ke luar negeri. “Saya mau pulang ke rumah anak dan istri di Batam,” ujar Kivlan. “Tak ada niat kabur.” Sehari setelah pencekalan, status itu dicabut.
Tapi itu bukan berarti Kivlan lolos begitu saja. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan polisi tak menjadikan cuplikan pidato Kivlan di Rumah Rakyat sebagai satu-satunya bukti awal dugaan makar. Polisi telah mengumpulkan sejumlah video aktivitas politik purnawirawan jenderal bintang dua itu. Video itu kini sedang diteliti di Laboratorium Digital Forensik Polri untuk diuji kesahihan suara dan gambarnya. “Niat untuk makar itu harus kami buktikan lewat serangkaian peristiwa, tak sekadar peristiwa tunggal,” kata Dedi.
Menurut Dedi, ucapan sejumlah tokoh, termasuk Kivlan, bernada menghasut. Pernyataan mereka dianggap mengarahkan orang lain untuk melawan hukum. Dedi menyebutkan polisi memiliki berbagai video berisi ajakan sejumlah tokoh kepada masyarakat agar tak mengakui hasil pemilu. Karena itu, polisi menindak mereka sebelum terjadi kekacauan. “Proses hukum yang kami terapkan untuk mencegah terjadinya chaos,” tutur Dedi.
Dituduh menghasut rakyat, Kivlan tak terima. “Ucapan saya tak menimbulkan keonaran, kok,” ujarnya.
RAYMUNDUS RIKANG, STEFANUS PRAMONO, ANDITA RAHMA, DEWI NURITA, FIKRI ARIGI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo