Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejahatan merajalela di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 1980-an. Menurut Muhamad Hasbi, mantan Komandan Garnisun Yogyakarta, pada masa itu terjadi persaingan antargali dalam memperebutkan daerah kekuasaan di Kota Gudeg, seperti kawasan Malioboro dan terminal. "Mirip persaingan gangster di Amerika," kata Hasbi, yang kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, Semarang, karena terlibat korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jawa Tengah Tahun Anggaran 2003.
Para penjahat itu adalah para gali-sebutan bagi preman, bromocorah, atau residivis yang melakukan berbagai jenis kejahatan. Mereka melakukan pemerasan, penodongan, dan pembunuhan di berbagai tempat. Kejadian paling menghebohkan menimpa Sri Mulyani alias Ninik. Mahasiswa Akademi Kesejahteraan Keluarga itu tewas dibunuh gali dalam sebuah peristiwa penjambretan pada 20 Maret 1983.
Hasbi, yang juga Komandan Komando Daerah Militer 0734 Yogyakarta, lalu mengumumkan "perang" terhadap para gali. Dia kemudian melapor kepada atasannya, Panglima Daerah Militer VII Diponegoro Letnan Jenderal Ismail. "Ya sudah, berantas saja," ujar Hasbi menirukan jawaban Ismail.
Hasbi segera mengumpulkan anak buahnya dan berkoordinasi dengan polisi. Pada April 1983, dia mengumpulkan 103 pengusaha di Markas Komando Distrik Militer 0734 Yogyakarta dan memberi mereka waktu satu minggu untuk melaporkan para penjahat yang selama ini sering memeras mereka.
Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) pun digelar. Kodim Yogyakarta menjadi penanggung jawab utama pelaksanaan operasi. Mandat operasi diberikan oleh Komando Resor Militer 072 Pamungkas pimpinan Siswandi dengan sepengetahuan Komando Daerah Militer IV Diponegoro.
Menurut Hasbi, ide operasi itu datang dari Badan Koordinasi Intelijen Yogyakarta, yang terdiri atas intelijen Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Intelijen mengumpulkan informasi dari masyarakat untuk menyaring nama-nama gali yang dianggap meresahkan masyarakat. "Jadi daftar gali yang muncul adalah dari masyarakat," katanya.
Daftar itu kemudian diumumkan oleh komando distrik militer sampai ke tingkat komando rayon militer. Para gali yang masuk daftar diminta melapor ke koramil atau kodim. Alasannya, jika terjadi sesuatu pada mereka, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan memberi perlindungan. Para gali yang datang akan diberi kartu tanda lapor (KTL). Pada Januari 1984, Komandan Korem 072 Pamungkas Kolonel Roni Sikap Sinuraya menyatakan ada sekitar 2.000 pemegang KTL. "Bila ada operasi, preman yang bisa menunjukkan KTL akan aman," ucap Hasbi. Jika saat penangkapan terjadi perlawanan atau ada preman melarikan diri, mereka akan ditembak.
Menurut Hasbi, beberapa gali telah ditembak dan mayatnya dibiarkan tergeletak di pinggir jalan, tepi rel kereta api, atau tempat sampah. Munculnya mayat-mayat di tempat umum ini melahirkan sebutan mayat misterius (matius) dan penembak misterius (petrus) di kalangan masyarakat. Hal itu dimaksudkan Hasbi untuk memberi efek takut kepada para gali. "Karena tujuan OPK adalah sebagai shock therapy," katanya.
Dalam menjalankan operasi, menurut Hasbi, perintah yang ia terima datang dari Siswandi, tidak langsung dari Leonardus Benjamin Moerdani. Namun, beberapa pekan setelah OPK digelar, Benny Moerdani datang ke Yogyakarta untuk melakukan evaluasi di Markas Komando Wilayah Pertahanan II Yogyakarta. Hasbi melaporkan hasil OPK kepada Benny. Atas laporan tersebut, menurut Hasbi, Benny hanya memberi komentar singkat, "Bagus. Lanjutkan!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo