Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Safari Setelah Tragedi

Setelah peristiwa Tanjung Priok, ditemani Gus Dur, Benny bersafari ke pesantren-pesantren NU.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benny Moerdani bergerak cepat. Sebulan setelah peristiwa Tanjung Priok, awal November 1984, ditemani Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ia melakukan safari ke sejumlah pesantren. Ke Lirboyo, Kediri, yang dipimpin Kiai Machrus Ali, di hadapan sekitar 800 ulama-termasuk Kiai As'ad Syamsul Arifin, sesepuh yang paling berpengaruh di kalangan nahdliyin saat itu-Benny berkunjung. Kunjungan itu atas undangan Kiai Machrus.

Benny telah berjalan jauh. Sebelumnya, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia itu mengunjungi Pesantren Salafiyah, Sukorejo, Situbondo, asuhan Kiai As'ad. Sekarang, dari Lirboyo, ia bergerak ke Tebuireng, Jombang, kemudian ke Pesantren Futuhiyah pimpinan Kiai M. Sodik Lutfi di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Dalam pertemuan pada pagi hari itu, Benny disambut meriah. Umbul-umbul warna-warni menghiasi jalan masuk ke pesantren dan ratusan santri berjajar di sana.

Berseragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dengan empat bintang di pundak, lebih dari satu jam Benny berbicara di depan seribuan ulama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ia menyesalkan masih ada orang yang menganggap ABRI menyudutkan umat Islam. Pada prinsipnya, kata dia, ABRI tidak akan menangkap umat Islam yang menjalankan agamanya dengan baik. "Yang ditangkap adalah perusuh yang kebetulan beragama Islam, jadi bukan Islamnya yang ditangkap," ujarnya seperti dikutip Tempo edisi 17 November 1984.

Dalam sambutannya, Kiai Sahal Mahfudz, Rais Syuriah NU Jawa Tengah, mengajukan pertanyaan mengenai terhambatnya kegiatan dakwah di daerah setelah peristiwa Tanjung Priok. Buktinya, dulu berkhotbah tidak perlu izin ini dan itu, sekarang harus memiliki izin dari pamong dan komando rayon militer. "Paling tidak harus memiliki SIM alias surat izin mubalig," ujarnya menyindir Benny.

Hubungan pemerintah-Islam tidak begitu manis. Kekerasan yang terjadi di Tanjung Priok, 12 September 1984, menorehkan luka bagi sebagian besar umat Islam. Selebaran gelap bernada kebencian kepada pemerintah beredar di mana-mana. Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Benny merasa perlu berbicara, khususnya kepada kalangan alim ulama mayoritas. Selain ke basis NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah, lawatan serupa dilakukan Benny ke Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi Tengah.

Safari yang sama dilakukan sejumlah panglima komando daerah militer dan pejabat ABRI lain di daerah masing-masing. Panglima Kodam V/Jaya Mayor Jenderal Try Sutrisno, misalnya, rajin mengunjungi berbagai pengajian dan tempat ibadat. Jenderal asal Jawa Timur ini memang dikenal berlatar santri dan kerap menjadi imam salat Jumat. Tanpa canggung, Try naik ke mimbar memberikan ceramah dan pengajian. Isinya hampir sama bahwa, dalam negara Pancasila ini, tak ada niat memusuhi Islam.

Kepada Tempo, dua pekan lalu, Try mengatakan peristiwa Tanjung Priok merupakan tanggung jawabnya. Mereka yang bersalah telah diadili sampai Mahkamah Agung. Dan kebijakan Panglima ABRI setelah peristiwa itu adalah mengadakan pendekatan, lewat pengajian dan sebagainya. "Supaya mereka sadar. Mari kita satukan ideologi. Sudah jadi Pancasila," kata Try. Islah pertama dirintis bersama cendekiawan muda muslim, Nurcholish Madjid (Cak Nur).

Benny sendiri secara khusus memilih target safari ke sejumlah pesantren besar. Dalam setiap lawatannya, jenderal Katolik itu didampingi Abdurrahman Wahid, cucu pendiri NU, Kiai Hasyim Asy'ari. Gus Dur, yang saat itu Khatib Awwal NU, mengatur pertemuan dan mengenalkan Benny kepada para kiai. Pro-kontra kedatangan Benny Moerdani, yang dianggap anti-Islam, terjadi di kalangan umat Islam, yang masih panas pasca-kasus Priok, termasuk di lingkup internal NU. "Seingat saya, perasaan tidak senang umat Islam kepada Benny itu kuat," ujar Salahuddin Wahid (Gus Solah), adik Gus Dur, dua pekan lalu.

Hubungan Gus Dur-Benny sangat baik. Menurut Gus Solah, kakaknya mengagumi Benny meski berbeda pandangan. Keduanya sama-sama pluralis dan nasionalis, tapi saat berbicara kekuasaan tidak jadi satu. Mereka berteman sejak 1970-an. Gus Dur mudah dekat karena dia saat itu tokoh Islam yang pandangannya paling terbuka. Saat itu, tidak banyak orang seperti itu. Kiai Hasyim Muzadi dan Buya Syafii Maarif belum muncul. Di generasi mereka, mungkin baru Cak Nur di kalangan intelektual muslim yang lebih dulu punya pemikiran terbuka.

Gus Solah mengakui Gus Dur dan Benny Moerdani saling memanfaatkan. Benny butuh bantuan Gus Dur sebagai pembuka pintu. Sedangkan bagi Gus Dur, tur mendampingi Benny bagian dari permainannya memperkuat posisi di NU. Gus Dur memahami posisi politik Benny Moerdani (orang kuat rezim Orde Baru) dan mencoba memanfaatkannya. Puncak dari tur itu adalah terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah NU di Muktamar Situbondo pada Desember 1984. "Gus Dur, setahu saya, lihai sekali memainkan momen-momen seperti itu untuk kepentingan dia," ucapnya.

Ajaib, setelah NU menerima Pancasila, kelompok-kelompok yang sebelumnya ingin mendirikan negara Islam mulai mencair. Semua organisasi kemasyarakatan lalu ikut menerima, kecuali Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamatan Organisasi. Gus Dur sendiri melihat perlunya kesediaan berdialog. Sebab, setelah NU menerima Pancasila, pertentangan Islam dengan negara tidak positif untuk bangsa. Gus Dur memang berbeda pandangan dengan kelompok yang menganggap Kristen di pihak yang berseberangan. Dalam hal ini, kata Gus Solah, pemikiran Benny Moerdani dan Gus Dur bertemu.

A.M. Fatwa, mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga tahanan politik pada masa Orde Baru, memandang dengan kritis. Benny dibantu Gus Dur, menurut dia, berusaha mendekati ulama-ulama untuk mencari pembenaran tindakan "keras" Panglima Kopkamtib di Priok. Opini itu termakan dan akhirnya parlemen turut membenarkan tindakan Pangkopkamtib. "Hasilnya ternyata memang tidak dipersoalkan DPR. Isu itu muncul lagi setelah reformasi karena saya ikut mendorong pengusutan kembali," ujar Fatwa kepada Tempo, dua pekan lalu.

Namun Mayor Jenderal Purnawirawan Suryadi berbeda. "Pak Benny, seingat saya, memang dekat sekali dengan Gus Dur. Mungkin karena pandangan pluralismenya Gus Dur," kata Suryadi, Sekretaris Utama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI era Benny Moerdani. Suryadi, yang selalu mengikuti rombongan safari Benny ke pesantren, mengakui Benny memiliki hubungan emosional cukup kuat dengan Islam. Tak sedikit bantuan Benny ke pesantren-pesantren, termasuk untuk membangun masjid. Soal ini diceritakan pula oleh Setiawan Djody, salah satu sahabat Benny Moerdani. Benny, kata dia, ikut mewariskan sebuah perpustakaan di Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat. "Supaya pendidikan pesantren enggak kalah dari sekolah negeri," ucap Benny seperti ditirukan Djody.

Benny Moerdani sebenarnya berasal dari keluarga muslim. Ayahnya, Moerdani Sosrodirjo, beragama Islam, lalu menikahi istri kedua, ibu Benny, yang Katolik. Leluhur Benny yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, adalah keturunan Sultan Bima. Kakek buyut Benny, Kiai Sulaiman, memiliki hubungan darah dengan Sultan Bima kedua. Menurut Siti Maryam, 87 tahun, salah satu keturunan raja Bima, Benny beberapa kali mengunjungi makam leluhurnya, raja-raja Bima.

Fatwa mengakui Benny memiliki kedekatan dengan banyak ulama. Yang paling khas hubungannya adalah dengan Kiai As'ad Syamsul Arifin di Situbondo, yang sangat berpengaruh di NU. "Saya pernah diajak Benny berkunjung ke Kiai As'ad," kata Djody kepada Tempo. "Mereka dekat sejak Benny panglima. Kiai seperti guru spiritualnya," ujar Letnan Jenderal Marinir Purnawirawan Nono Sampono, bekas ajudan Benny, dua pekan lalu. Benny mulai berkunjung ke Pondok Pesantren Sukorejo setelah menjabat Panglima ABRI pada 1983. Sejak itu, dia seolah-olah menjadi jembatan antara Presiden Soeharto dan Kiai As'ad.

Pada 1982, kondisi NU terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu Idham Chalid (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) atau sebagai kubu Cipete dan kubu Situbondo, yang dimotori Kiai As'ad. Perpecahan dipicu oleh desakan para kiai senior di kubu Situbondo yang menginginkan NU tidak berpolitik atau kembali ke Khittah 1926. Sedangkan kubu Cipete ingin NU tetap berpolitik. Bersamaan dengan itu, pemerintah ingin menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal semua organisasi sosial dan politik.

Pendekatan ABRI kepada ulama NU memperoleh momentumnya dengan digelarnya Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Sukorejo pada 8-12 Desember 1984. Hasil muktamar yang monumental adalah NU kembali ke Khittah 1926 dan menerima asas tunggal Pancasila. Para kiai lalu menunjuk Gus Dur sebagai Ketua PB NU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus