Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jegar-jeger Petrus

Sebagai kepercayaan Soeharto, Benny dilibatkan dalam penyelesaian berbagai kasus hukum. Dari urusan preman sampai kasus korupsi Pertamina.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perintah Dor Sang Jenderal

Di masa Ali Moertopo, para gali dibina. Di masa L.B. Moerdani, mereka diburu dan dibunuh. Ada prakondisi sebelum petrus meledak.

Mereka sudah keterlaluan," kata Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Laksamana Soedomo dalam pertemuannya dengan pengusaha bus pada akhir Maret 1982. Mereka yang dia maksud adalah para "bajing loncat" yang membajak bus di Sumatera pada awal 1980-an. Mereka menyerbu bus, mengambil barang yang dibutuhkan, melemparkannya ke luar, lalu kabur. Pembajakan bus juga terjadi di Jawa pada masa yang sama. Tidak kurang dari 21 bus dibajak di Pulau Jawa selama Februari-Maret 1982.

Yang paling kaget dengan meningkatnya pembajakan itu sebenarnya justru para gali-gabungan anak liar, sebutan bagi preman atau residivis yang melakukan berbagai kejahatan. Bahkan, menurut Bathi Mulyono, mantan gali Semarang, maraknya perampokan itu membuat jeri para pencopet di bus malam. "Mendadak terjadi perampokan bus hampir setiap malam. Anak-anak sampai bingung dan enggak berani bekerja. Siapa pelakunya, mereka enggak ngerti," ujarnya pada pertengahan September lalu di Jakarta.

Karena itu, mantan Ketua Yayasan Fajar Menyingsing-salah satu organisasi preman terkuat di Jawa Tengah-ini yakin meningkatnya pembajakan di atas bus justru dilakukan orang suruhan pemerintah. Tujuannya untuk menciptakan pembenaran operasi pembersihan gali pada 1980-an. "Bajing loncat itu karangannya Soedomo saja. Enggak ada itu," kata Bathi, yang selamat dari penembak misterius (petrus).

Lahirnya operasi pembersihan para penjahat ini memang bukan tanpa prolog. Pada 1 Januari 1982, Presiden Soeharto secara khusus memberikan ucapan selamat kepada Kepala Daerah Kepolisian VII Metro Jaya Mayor Jenderal Anton Soedjarwo. Anton dianggap berjasa karena polisi berhasil membongkar kasus perampokan uang Rp 32 juta di Jalan Suryopranoto, Jakarta, pada 30 Desember 1981 hanya dalam tempo 16 jam.

Komplotan itu ternyata pernah melakukan sedikitnya enam kali perampokan dan menyikat uang Rp 95 juta. "Ini menimbulkan wacana bahwa polisi, dengan dukungan tentara, juga bisa menangani kejahatan. Karena itu, Soeharto mendorong adanya operasi untuk memberi shock therapy," kata Yosep Adi Prasetyo, Ketua Tim Ad Hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus petrus, pada pertengahan September lalu.

Permintaan Presiden Soeharto agar aparat keamanan menindak para penjahat yang merajalela ini disambut Soedomo dengan mengadakan pertemuan dengan polisi dan tentara. Berbagai operasi keamanan kemudian digelar di Indonesia. Saat itu Kepala Kepolisian RI Awaloedin Djamin menyatakan, hingga September 1982, Operasi Sikat, Linggis, Pukat, Rajawali, Cerah, dan Parkit di wilayah Indonesia berhasil menangkap 1.946 penjahat. Beberapa di antaranya mati tertembak dan mengalami luka berat.

Polisi juga mulai memandang tindakan para bandit semakin sadistis. "Dewasa ini timbul kecenderungan pergeseran sifat kejahatan ke arah yang lebih sadis. Sadisisme tersebut di lakukan penjahat, di samping untuk menghilangkan jejak, juga untuk mempengaruhi psikologi dan moral masyarakat," kata Kepala Daerah Kepolisian Metro Jaya Mayor Jenderal Anton Soedjarwo dalam sambutan pembukaan Rapat Koordinasi Kepala Daerah Kepolisian VI-XI di Ambarawa, Jawa Tengah, 9 September 1982.

Di tengah situasi ini, Komandan Garnisun Yogyakarta Muhamad Hasbi mengumumkan perang terbuka terhadap para gali dengan menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan. Hasbi menyatakan bekerja sama dengan Badan Koordinasi Intelijen Yogyakarta menyaring nama-nama gali. Para gali dalam daftar itu dipanggil dan mendapat kartu tanda lapor serta wajib apel setiap Senin di markas komando distrik militer atau komando rayon militer setempat. Dalam operasi penangkapan, bila ada gali yang melawan akan langsung ditembak dan mayatnya dibuang di tempat umum, seperti jalan raya, "dengan tujuan untuk shock therapy".

Abu Santoso, kini 60 tahun, target operasi yang selamat, mengaku mendapat surat berwarna jambon dan wajib apel setiap Senin di kantor Koramil Mantrijeron, Yogyakarta. Selama hampir satu tahun ia ikut apel. Dia sempat empat kali digerebek oleh sekelompok orang, tapi berhasil lolos dengan bersembunyi di atas pohon.

Abu tak tahu mengapa dia diburu. "Memang saya suka berkelahi saat itu, tapi tidak melakukan tindak kejahatan," kata petinju di sasana tinju Chandra Boxing Club yang tubuhnya penuh tato ini. Lelaki yang kini menjadi komandan satuan tugas Partai Gerindra Yogyakarta itu bisa selamat karena ia mendapat perlindungan dari sejumlah tokoh Islam.

L.B. Moerdani, yang baru diangkat sebagai Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib pada Maret 1983, meneruskan Operasi Clurit, yang diawali oleh Soedomo. "Operasi itu dilanjutkan dan lebih sadis lagi. (Metode) yang di Yogyakarta diadopsi oleh Benny," kata Stanley-sapaan Yosep Adi Prasetyo.

Menurut Stanley, hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan bahwa pelaksana petrus adalah tim dari pusat, yang melibatkan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). "Mereka memakai topeng dan berpakaian hitam-hitam. Mereka menjemput sasarannya pada tengah malam dengan menggedor rumahnya. Kalau orangnya keluar, dia dieksekusi di depan keluarganya," ucapnya.

Pola lain, kata dia, adalah menghilangkan orang tersebut. Tim eksekutor membawa orang tersebut ke suatu tempat, kemudian membunuh dan membuangnya di daerah lain atau di dalam kluweng. Itu sebabnya jumlah korban petrus tak pasti. Menteri Luar Negeri Belanda Hans van den Broek menyebutkan jumlah korban mencapai 3.000 orang dan kriminolog Mulyana W. Kusumah menyebutkan angka 2.000 orang. David Bourchier, peneliti Monash University, menyebutkan angka yang lebih besar lagi: 10 ribu orang (baik yang mati karena mayatnya ditemukan maupun yang hilang).

Menurut Teddy Rusdy, mantan perwira Badan Intelijen Strategis, para gali tak dibunuh begitu saja. "Sebelum preman dibunuh, harus ada persetujuan sepuluh orang di lingkungan yang ada premannya," ujarnya pada pertengahan September lalu.

Ketika operasi pembersihan para gali merebak di Jawa Tengah, rumah Bathi Mulyono di Kebonharjo, Semarang, digerebek sekelompok orang pada awal 1983. Istrinya, Siti Noerhayati, yang sedang mengandung putri bungsunya, Lita Handayani, kaget dan berteriak karena mengira dirampok. Orang-orang itu bersenjata laras panjang dan bertopeng. Siti ditodong dan rumah itu digeledah, tapi mereka tak menemukan Bathi. "Sejak itu, selama empat tahun, setiap malam istri saya sering teriak-teriak saking depresinya," kata Bathi.

Bathi menyingkir ke Jakarta dan menghadap Ali Moertopo, bekas Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara. Menurut Bathi, di masa Ali berkuasa, para preman dibina dalam berbagai organisasi. Selain Fajar Menyingsing yang dipimpin Bathi, ada The Prems di Jakarta dan Massa 33 di Jawa Timur. Dia menganggap kepemimpinannya di Fajar Menyingsing sebagai tugas politik. "Tugas saya adalah menghancurkan organisasi massa para buruh yang menjadi onderbouw partai agar buruh hanya setia kepada Golongan Karya," ujar mantan narapidana yang hanya tamat sekolah menengah pertama ini.

Namun pengaruh Ali Moertopo meredup. Benny Moerdani muncul dengan sikap yang berbeda. "Mungkin, bagi Benny, tugas saya sudah selesai. Karena tak punya alasan untuk membubarkan organisasi kami, muncullah pola pembunuhan yang sistematis, terencana, dan berlaku di seluruh Indonesia itu," kata Bathi.

Bathi mendapat selembar "surat jaminan" dari Ali Moertopo agar tidak dibunuh, tapi tetap merasa belum aman. Dia sempat pindah-pindah tempat, termasuk ke Malaysia, Singapura, dan Brunei. "Saya punya paspor lima dengan nama yang berbeda-beda," ucapnya. Teman-temannya juga kabur ke berbagai tempat, termasuk jadi sopir di Dubai.

Selama satu setengah tahun sejak 1984, Bathi bersembunyi di Gunung Lawu. Pada suatu hari dia turun gunung ke Blora, lalu ke Rembang. Sewaktu hendak balik ke Blora, hari sudah malam, sekitar pukul sembilan. Bathi lantas mencegat apa saja kendaraan yang lewat. Sebuah pikap pengangkut sayur berhenti dan dia naik. Di dalamnya ada karung-karung serta beberapa orang bersenjata laras panjang dan pistol FN. "Jangan diduduki karung itu, Mas, itu kepala manusia," kata salah seorang dari mereka ketika Bathi hendak menduduki karung itu.

Ternyata karung itu berisi para gali yang akan dieksekusi. Sepanjang perjalanan dari Rembang ke Blora, yang melewati hutan jati, karung itu diturunkan bergantian, lalu ditembak dan digelundungkan ke hutan. "Setelah sepuluh kilometer dari Rembang, jegar-jeger, dua kilometer jegar-jeger lagi. Seingat saya, ada tujuh orang yang dieksekusi," ujarnya. Karena mobil itu tak menuju Blora, Bathi kemudian turun di dekat sebuah warung di tengah jalan.

Pada mulanya pemerintah menyanggah keterlibatan mereka dalam petrus. Pada Mei 1983, Benny Moerdani menyatakan kepada pers bahwa banyaknya penembakan gelap terjadi akibat perkelahian antargeng. "Sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi penjahat yang ditangkap," katanya.

Namun, belakangan, Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, menyatakan petrus ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada penjahat. "Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak," ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu.

Selama penyelidikan Komnas HAM pada 2008-2012, Soedomo diperiksa, tapi Benny tidak bisa diperiksa karena sedang sakit dan akhirnya meninggal. Komisi menyimpulkan bahwa peristiwa petrus adalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang harus disidik oleh Kejaksaan Agung. Pelakunya adalah para tentara dan polisi di bahwa koordinasi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia dan Presiden Soeharto. Tapi dokumen Komisi itu mandek di meja Kejaksaan Agung. Jadi siapa yang paling bertanggung jawab? "Ya, Benny Moerdani," kata Stanley.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus