Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panglima Lalu Tersingkir
Hubungan Benny Moerdani dan Soeharto retak. Rumor kudeta hingga kritik bisnis anak presiden memicunya.
SUARA Soeharto nyaris tak terdengar. Di hadapannya, Benny Moerdani terbaring di kasur perawatan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, tak bisa lagi berbicara. Pelan-pelan, mata dua jenderal renta itu pun berkaca-kaca. "Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu, ora koyo ngene (Kamu memang yang benar, Ben. Seandainya aku menuruti nasihatmu, tak akan seperti ini)," kata Soeharto seperti ditirukan oleh seorang asisten Benny yang berada di ruang perawatan. Dua hari setelah kunjungan tersebut, Ahad dinihari pada pengujung Agustus 2004, Benny meninggal.
Tak jelas apa nasihat Benny yang membuat penguasa Orde Baru itu menyesal luar biasa karena tak menurutinya. Namun, sejak Soeharto menurunkan Benny secara tiba-tiba dari kursi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada akhir Februari 1988, publik melihat ada yang ganjil dari keputusan tersebut. Pasalnya, Benny dicopot persis sepekan sebelum Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat digelar. Selain kondisi politik dan keamanan sedang rawan, peralihan tongkat komando tertinggi militer sebelum-sebelumnya selalu dilakukan berbarengan dengan pembentukan kabinet baru.
Muncullah rumor tentang tersingkirnya Benny dari lingkaran Cendana, yang menguat tujuh bulan kemudian. Soeharto membubarkan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang juga dipimpin Benny. Sebagai gantinya, Soeharto membentuk Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas).
Soeharto memang memberi Benny jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan V. Tapi nama besar Benny di belakang kekuatan militer dan intelijen Orde Baru semakin tergerus. Urusan menteri tak jauh-jauh dari kegiatan seremonial, yang menurut mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Poniman dalam pidato serah-terima jabatan kepada Benny, "Bertanggung jawab masalah politis administratif."
Sejak saat itu, pemikiran dan pernyataan Benny Moerdani berubah. Benny yang sebelumnya dikenal sebagai sosok angker kini menjadi Benny yang negarawan. Lihat saja pidato dan tulisan Benny dalam buku Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Pandangan dan Ucapan Jenderal (Purn) L.B. Moerdani (1988-1991), yang terbit pada 1992. Pada masa itu, Benny mulai berpidato tentang gerakan Pramuka, gelombang ketiga revolusi dunia, hingga globalisasi.
Christianto Wibisono, mantan jurnalis dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia, satu dekade lalu menggambarkan Benny sebagai anak emas sekaligus korban Soeharto. "Diangkat naik seperti roket menjadi jenderal bintang empat, tapi dicampakkan."
Bekas Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen yakin penggantian Panglima ABRI berhubungan dengan kabar yang telah sampai ke Soeharto: Benny berambisi menjadi wakil presiden. Bahkan pada masa-masa itu juga beredar informasi tentang rencana Benny melakukan kudeta.
Menurut Kivlan, dalam penuturannya kepada Tempo (Juni 2004), sumber kabar miring tersebut adalah menantu Soeharto, Mayor Prabowo Subianto. Selain itu, muncul dokumen hasil pertemuan sejumlah jenderal, dimotori oleh Benny, yang menghendaki penggantian Soeharto. Itulah sebabnya, kata Kivlan, pada pertengahan 1989, Soeharto sempat marah di atas pesawat kepresidenan sepulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia. "Biar jenderal atau menteri yang bertindak inkonstitusional, akan saya gebuk!"
Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno, yang kala itu ditunjuk menggantikan Benny sebagai Panglima ABRI, menampik ada persoalan di balik pencopotan Benny. Dia mengatakan Benny memang waktunya diganti karena sudah lima tahun menjabat sejak diangkat pada Maret 1983. "Semuanya normal-normal saja," ucap Try kepada Tempo, pertengahan bulan lalu.
Tapi dia tak membantah soal beredarnya kabar rencana kudeta Benny. Try masih ingat, ketika dia menjabat Panglima Kodam V/Jaya, Prabowo pernah datang menemuinya sekitar pukul 5 pagi. Ketika itu Prabowo, yang masih berpangkat kapten, kata Try, seraya berbisik mengabarkan ambisi Benny menggantikan Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf, lalu melakukan kudeta.
Try mengaku langsung memerintahkan Prabowo berhenti menyebarkan kabar tersebut. Menurut dia, informasi Prabowo jelas-jelas salah karena sebelumnya Jenderal M. Jusuf mengatakan tak akan menjabat Panglima ABRI dua kali. "Dan, dari awal, yang akan ditunjuk Pak Harto memang hanya Pak Benny."
Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Purnawirawan Haryoto P.S. mengatakan penyebab renggangnya hubungan Benny dan Soeharto bukan persoalan kursi presiden, melainkan dipicu oleh sikap Benny yang mengkritik Soeharto. "Bapake nesu banget mergo anake dipermasalahke (Bapak marah sekali karena anak-anaknya dipermasalahkan)," kata Haryoto kepada Tempo sesaat setelah Benny wafat.
Kepada mantan dokter tentara dalam Operasi Mandala, Brigadir Jenderal Purnawirawan Ben Mboi, Benny pernah bercerita tentang kejadian tersebut. Ketika menemani Soeharto bermain biliar di Cendana, Benny--yang masih menjadi Panglima ABRI--mengutarakan pendapatnya agar si bos "menjauhkan" anak-anaknya dari kekuasaan. "Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur, dan meninggalkan saya di kamar biliar," ujar Benny kepada Ben.
Menurut Jusuf Wanandi, kolega Benny dari Centre for Strategic and International Studies, pada 1980-an bisnis anak-anak Soeharto makin menggurita ke semua sektor. "Semua-semuanya ingin ditataniagakan," kata Jusuf, awal bulan lalu. Seorang mantan asisten Benny yang enggan disebut namanya bercerita bagaimana anak Soeharto berusaha ikut campur dalam urusan pengadaan alat utama sistem senjata ABRI. "Pak Benny beberapa kali menolaknya."
Menurut Jusuf, keresahan Benny sebenarnya juga dirasakan Ali Moertopo. Dia ingat betul kejadian tiga dekade lalu, tepat dua pekan sebelum Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan III itu meninggal pada 15 Mei 1984. Ali berpesan kepada Jusuf agar berbicara kepada Benny tentang anak-anak Soeharto. "Minta dia bicara ke Pak Harto, tertibkan anak-anaknya," kata Ali seperti ditirukan Jusuf.
Ali menilai bisnis anak-anak presiden mulai merisaukan. Jusuf meneruskan pesan terakhir Ali itu kepada Benny, yang menyambutnya dengan antusias. Benny mengatakan Soeharto memang sudah memintanya mengawasi putra-putrinya yang beranjak dewasa.
Itulah sebabnya Benny pernah menahan paspor Sigit Harjojudanto, putra Soeharto, supaya tak lagi ke luar negeri untuk berjudi. "Paspor saya juga ikut ditahan," ucap pengusaha dan musikus Setiawan Djody, kawan dekat Sigit, kepada Tempo, akhir bulan lalu.
Djody, yang lama mengenal Benny sejak di Solo, membenarkan kabar bahwa Benny sejak dulu gelisah terhadap perilaku anak-anak Soeharto. Suatu ketika, kata Djody, Benny memintanya tak ikut cawe-cawe dengan bisnis Cendana. "Kamu boleh berkawan, tapi kalau bekerja di luar negeri saja," ujar Benny.
Benny tak hanya bisa memerintah. Menurut Djody, lewat jasa Benny pula dia memulai hubungan bisnisnya dengan beberapa mitra dari Malaysia, Hong Kong, dan Korea Selatan. Salah satunya, kata Djody, adalah Tung Chee-hwa, yang kelak menjadi Gubernur Hong Kong pertama setelah koloni Inggris itu kembali ke pemerintah Cina pada 1997. "Tapi Pak Benny menolak ketika saya ingin memberinya BMW," ujar Djody.
Jenderal Purnawirawan A.M. Hendropriyono dalam buku L.B. Moerdani: Langkah dan Perjuangan mengenang pesan Benny ketika berkunjung ke markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 1986. Sebagai tanda kesetiaan, Benny meminta prajurit berani menjadi tameng melindungi dan mengamankan Soeharto beserta keluarganya. Tapi, kata Benny, "Kesetiaan bukan berarti harus menjilat, melainkan juga mencegah beliau dari kesesatan yang justru dilakukan kaum penjilat itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo