Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

’Big Foot’ dari Hutan Jambi

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA rantai yang hilang di sebuah masa. Teori evolusi Charles Darwin—kera menjadi manusia—membuat begitu banyak antropolog penasaran hingga berlomba mencari bukti. Sementara di Tibet disebut-sebut adanya yeti dan di Amerika dikenal big foot, suku Kubu (sebutan populer untuk orang rimba) pun sempat menjadi bukti rantai yang hilang. Laporan sensasional pertama lahir sekitar satu setengah abad lalu. Dalam laporan itu disebutkan ciri orang rimba sebagai makhluk setengah kera dan separuh manusia. Kabar itu sempat mengundang beberapa antropolog datang ke Jambi dan membuktikannya sendiri. Sejumlah artikel terakhir menyebut orang rimba merupakan kelompok Melayu Tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok Melayu Tua lainnya di Indonesia, seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak Pedalaman. Kelompok Melayu Tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban lebih tinggi antara tahun 2000 dan 300 sebelum Masehi. Jumlah orang rimba sendiri masih simpang-siur. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menyebut sensus yang dilakukan 100 tahun lalu mencatat jumlah mereka 7.950 jiwa. Kini jumlahnya diperkirakan 12 ribu jiwa. Sementara itu, survei Warung Informasi dan Konservasi (Warsi)—sebuah lembaga swadaya yang mendampingi orang rimba—empat tahun lalu mencatat jumlah orang rimba yang bermukim di Bukit 12 dan sekitarnya hanya 2.700 jiwa. ”Mungkin mereka (Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia) memasukkan suku Batin Sembilan, suku Talang Mamak, dan suku lain di sekitar Jambi ke dalam jumlah orang rimba,” kata Erdi Taufik dari Warsi. Berikut ini beberapa laporan mengenai orang rimba yang sempat menjadi perdebatan di dunia antropologi. 1855: Walter M. Gibson Walter M. Gibson, petualang dari Amerika Serikat, merupakan orang pertama yang melaporkan keberadaan orang rimba—saat berlayar ke Palembang. Dia menulis perjalanan eksplorasinya di Pasifik Selatan dalam bukunya yang berjudul The Prison of Weltevreden and a Glance at the East Indian Archipelago. Menurut laporan Gibson, tubuh orang rimba seukuran manusia dan dipenuhi bulu kecuali bagian wajahnya, mulutnya lebar, posisi giginya agak ke depan, dan ekspresi wajahnya seperti manusia. Mereka juga tak berbudaya karena tak mampu berbicara, makan makanan mentah, dan tinggal di gua-gua beratap hutan Sumatera. Dari wawancaranya dengan penduduk setempat, Gibson menyebutkan bahwa orang rimba tak beragama, brutal, telanjang, tidak kawin, dan tak punya hukum. Ahli maritim dan pengelana samudera itu menyimpulkan bahwa orang rimba merupakan hewan separuh manusia. Tingkatan mereka lebih rendah ketimbang manusia, tapi lebih manusiawi ketimbang orang utan dan simpanse. 1906: Van Dongen Hampir senada dengan laporan Gibson, Van Dongen, seorang pegawai pemerintah Belanda, melaporkan data fisik orang rimba untuk mendukung teori evolusi. Dia menyebut orang rimba sebagai missing link (rantai evolusi primata yang hilang) yang selama ini dicari. Dongen mengasumsikan orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam berhubungan dengan dunia luar, kata Dongen, orang rimba mempraktekkan silent trade. Karena takut kepada manusia, mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan. Dalam melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan. Kemudian orang Melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar. Laporan Dongen ini sempat menggegerkan dunia antropologi. 1908: Bernard Hagen Laporan Dongen itu menarik perhatian Bernard Hagen. Antropolog Jerman ini dua tahun kemudian datang sendiri ke Sumatera untuk membuktikannya. Hasilnya, seperti ditulis dalam bukunya, Die Orang Kubu auf Sumatera, menjadi referensi standar monografi tentang orang rimba. Hagen memang cenderung mendukung tulisan Van Dongen. Ia melakukan revisi dengan menyatakan orang rimba sebagai orang pra-Melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. 1925: Paul Schebesta Paul Schebesta, ahli etnologi dari Austria, memberikan perspektif lebih baik tentang orang rimba. Menurut dia, orang rimba sama dengan proto-Melayu (Melayu Tua) yang ada di Semenanjung Melayu. Mereka hanyalah masyarakat peladang tradisional dan cenderung berpindah karena ter-desak oleh kedatangan Melayu Muda. Agr (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus