Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sandra Hamid*
BELUM tuntas keriuhan pendukung partai dan kandidat pasca-Pemilihan Umum 2014, berbagai daerah sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah sejak akhir 2015. Tahun depan, DKI Jakarta dan seratus daerah lain akan menggelar pemilihan kepala daerah. Kegaduhan politik sudah dimulai jauh sebelum pemungutan suara dilakukan.
Kasak-kusuk politik memang wajar. Namun yang mencemaskan adalah perilaku politik para calon serta pendukung dan pembencinya—mereka yang dengan emosional kerap dikenal sebagai "lovers" dan "haters".
Dalam demokrasi elektoral, yang penting memang mendapatkan suara terbanyak. Namun hal itu kerap membuat percakapan tentang gagasan berdemokrasi—diskusi kritis tentang program dan arah yang hendak dituju bersama—menjadi langka.
Para "pendukung" dan "pembenci" fanatik tidak menyediakan ruang untuk mempertanyakan kebenaran. Sebaliknya, yang marak terdengar adalah suara yang mengusik rasa primordial: tempat, warna kulit, kelompok, agama, dan suku. Demokrasi sebagai nilai, proses, dan tujuan tereduksi menjadi sekadar demokrasi elektoral. Pada titik ini, primordialisme memang paling mudah dan "siap pakai" untuk dieksploitasi.
Iklim yang tumbuh dalam demokrasi elektoral telah mengikis etika berpolitik. Pusaran kebencian dan kecintaan yang fanatik terhadap kandidat telah menenggelamkan akal sehat, kesantunan, dan nilai berpolitik—diskursus yang mengikis demokrasi itu sendiri.
Sebetulnya ini bukan persoalan Indonesia saja. Di Amerika Serikat, fenomena ini telah membawa politik ke dalam titik mutu yang paling rendah. Politik telah menjadi dangkal dan keji. Kenyataan ini merupakan hasil kampanye kelompok ultrakanan selama bertahun-tahun yang, di antaranya, gerah memiliki presiden berkulit hitam.
Kampanye anti-Barack Obama terjadi dalam beberapa tahun. Salah satunya ketika Donald Trump berusaha mendelegitimasi Obama dengan mempertanyakan akta kelahirannya. Beberapa waktu lalu, Trump menyebut Obama sebagai pendiri Negara Islam (IS). Namun, sekitar seminggu lalu, dengan enteng Trump mengakui Obama sebetulnya lahir di Amerika. Lalu beragam tuduhan itu hilang begitu saja dari ingatan kolektif orang Amerika. Di mana etika dan kebenaran diletakkan dalam perdebatan seperti ini?
Inggris tak jauh berbeda. Tak sampai sehari setelah rakyat Inggris memilih meninggalkan Uni Eropa (Brexit), politikus pendukung opsi "leave" menyangkal apa yang sebelumnya mereka kampanyekan—bahwa Uni Eropa telah membuat Inggris kehilangan banyak uang sebagai "ongkos" keanggotaan Uni Eropa. Padahal ini adalah salah satu pesan kampanye mereka sebelum pemungutan suara. Majalah Economist menggambarkan fenomena kampanye Trump dan Brexit sebagai "post-truth politics" atau "politik pasca-kebenaran".
Di Indonesia, fenomena ini bukan hal baru. Keliru pula jika kita menganggap gejala ini muncul hanya karena kita sedang belajar berdemokrasi. Pengalaman dari Amerika dan Inggris, dua negara yang punya sejarah demokrasi lebih panjang, mesti direnungkan. Di Indonesia, persoalan diperparah oleh kurangnya jangkauan media nonpartisan dan independen sebagaimana dimiliki Amerika dan Inggris. Meski tak selamanya efektif, pers yang kritis dan independen adalah penyeimbang kampanye "post-truth politics" itu.
Kerja memperkuat demokrasi tidak bisa berhenti hanya lewat pemungutan suara. Yang lebih penting adalah bagaimana agar politik jalan pintas—kampanye primordial menggunakan sentimen identitas "kita" dan "mereka"—bisa dieliminasi. Jika itu tidak dilakukan, bukan tidak mungkin demokrasi berubah menjadi kegiatan meramaikan intoleransi.
Sebagaimana diskursus politik ala Trump, diskursus tentang primordialisme tidak hadir mendadak. Kondisi ini menyuburkan intoleransi, memonopoli kebenaran, dan menebalkan kecurigaan kepada orang yang berbeda.
Fundamentalisme primordial hanya bisa dikikis lewat ketersediaan informasi yang kritis dan independen. Inilah pekerjaan besar kita: mencegah demokrasi dibajak kepentingan sesaat dengan daya rusaknya yang luar biasa.
*) Antropolog
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo