Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT-saat terakhir hidup Agam Wispi diisi dengan kesunyian. Ia sakit-sakitan dan menjadi penghuni Verpleeghuis-sebutan untuk rumah jompo di Amsterdam, Belanda. Sahabatnya sesekali datang menjenguk. "Dia tak bisa keluar jauh-jauh dari kamar. Ingatannya pun sudah banyak yang hilang," kata Asahan Aidit, 78 tahun, sahabat Agam Wispi di Belanda, melalui sambungan telepon dengan Tempo.
Di kamar rumah jompo itu pula Agam meninggal sendirian, selang beberapa jam setelah ulang tahunnya yang ke-72. Penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat itu barangkali telah meramalkan bagaimana maut menjemputnya. Dalam salah satu sajak tiga baris berjudul "Terzina Maut", Agam menulis:
suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri
Ketika kabar kematian Agam pada malam tahun baru 2003 itu terdengar, Asahan tak lagi menganggap itu berita mengagetkan. Yang membuat Asahan terkejut justru saat upacara pelepasan jenazah Agam. Jenazah Agam dikremasi sepekan setelah kematiannya di Westgaarde, Amsterdam. Ratusan orang datang melayat dan turut mengantar penyair itu ke tempat istirahatnya yang terakhir. "Padahal, sewaktu masih hidup, Agam dikucilkan," ujar Asahan.
Asahan mengenal Agam semasa penyair itu berada di puncak ketenaran pada 1960. Kala itu, Asahan diajak abangnya, Sobron Aidit, mengunjungi sebuah pameran lukisan di Gedung Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Menteng, Jakarta. Sobron mengenalkan Asahan kepada Agam. "Yang saya tahu saat itu, dia sastrawan dan penyair terkenal," ucap Asahan.
Tiga orang ini kelak dihadapkan pada nasib yang sama: menjadi eksil di Eropa setelah Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) meletus. Baru di Belanda-lah, 28 tahun setelah pertemuan pertama mereka, Asahan berjumpa kembali dengan Agam.
LAHIR di Pangkalan Susu, Sumatera Utara, pada 31 Desember 1930, nama Agam Wispi mulai bergaung pada 1955 lewat sajak "Matinya Seorang Petani". Pemerintah melarang sajak kritis ini. "Matinya Seorang Petani" ditulis Agam ketika menjadi wartawan harian Pendorong di Medan. Ia menyaksikan peristiwa Tanjung Morawa kala tanah garapan petani digusur paksa dan seorang di antaranya tewas ditembak begitu memprotes. Agam pun menulis:
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya
Agam sejak lahir telah "dekat" dengan komunisme. Ia putra Agam Puteh, yang mendirikan partai komunis di Aceh pada 1920-an. Pernah menginap di rumah masa kecil Agam, dari Tan Malaka hingga Musso sebelum menjadi pemimpin Partai Komunis Indonesia. Agam sendiri kemudian menjadi anggota Partai walau di antaranya ia tetap menjalani profesi sebagai wartawan cum sastrawan.
Selama di Medan, Agam sudah banyak menulis sajak, cerpen, dan sebuah naskah sandiwara gerbong. Karya-karyanya dimuat di surat kabar Kerakyatan dan Pendorong. Redaktur budaya surat kabar tersebut, Bakri Siregar dan HR Bandaharo, menjadi mentor awal bagi Agam. Sejak di Medan pun, karya Agam telah dapat perhatian Njoto, pemimpin Partai yang juga seorang penulis cemerlang.
Pada 1957, Agam pindah ke Jakarta. Ia diminta bekerja di Harian Rakjat, koran resmi Partai. Bersama Njoto, Agam menjadi pengasuh rubrik budaya. Ia diberi tempat tinggal di kantor Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Jalan Cidurian 19, Jakarta Pusat. "Setiap kali saya datang ke Jakarta untuk urusan organisasi, selalu bertemu dengannya," kata Hersri Setiawan, yang pada masa itu menjadi pengurus Lekra Yogyakarta. "Orangnya sangat bersahabat dan hatinya tulus."
Agam sempat diutus untuk belajar jurnalistik di Berlin, Jerman Timur, pada 1958-1959. Sepulang Agam dari sana, 12 sajak yang ia buat semasa di Jerman diterbitkan dalam antologi Sahabat oleh bagian penerbitan Lekra.
Ketika Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) membuka perekrutan pada 1962, Agam mendaftar. Ia terpilih dan mendapat pangkat letnan. Lewat jabatan barunya, Agam berkesempatan berlayar dengan armada ALRI mengelilingi Nusantara yang menginspirasi banyak sajaknya. Beberapa sajak yang tercipta dalam periode ini antara lain "Berdebur Ombak Berdebur", "Keluarga Kelasi", "Menyusur Tondano", dan "Surabaya".
Saat tragedi 30 September 1965 terjadi, Agam sedang berada di Beijing, Cina. Sejak tiga bulan sebelum peristiwa itu, Agam ditugasi Kepala Staf ALRI Laksamana Martadinata untuk meliput Perang Vietnam. Di Hanoi, ia bertemu dengan Ho Chi Minh, yang berbuah sajak "In Memoriam Ho Chi Minh" saat pemimpin Vietnam itu mangkat:
di kaki gunung thai
kudekam berita sedih
ho chi minh mati
betapa cepat berlalu hari
dia bicara dalam puisi
penjara waktu jadi tak berarti
kenanganku melayang ke hari kami bertemu
datang bersandal banmobil, buku terbuka, dijabatnya tanganku
obrolannya menggelitik gelak: koran dari batu-kuburan!
Tatkala di Vietnam, Agam meminta izin kepada Ho Chi Minh untuk meliput kegiatan gerilya Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan. Ho membolehkan dengan syarat Agam harus ke Kamboja lebih dulu. Untuk dapat masuk Kamboja, ia harus ke Beijing agar mendapat izin dari wakil pemerintahan Sihanouk. Ketika di Beijing, Agam turut dalam perayaan Revolusi Oktober. Ratusan orang Indonesia diundang dalam perayaan itu.
Pada hari itu pula, para undangan, yang sebagian besar anggota PKI dan Lekra, dikabari tentang tragedi yang terjadi di Jakarta malam sebelumnya. Suasana politik di Indonesia berubah 180 derajat. PKI kehilangan kuasa di arena politik. Sekitar 250 orang yang sedang berada di Beijing, termasuk Agam Wispi, tak diperkenankan pulang. Mereka lalu ditempatkan di Nanking, di sebuah asrama bekas barak Tentara Nasionalis.
Selama lima tahun berikutnya, ia dan ribuan orang lain yang tinggal di kamp-kamp konsentrasi di Cina menjalani program turun ke bawah (turba) yang di Cina disebut re-edukasi. Pada saat yang sama, pemimpin Cina, Mao Zedong, meluncurkan sebuah eksperimen sosial yang disebut Revolusi Kebudayaan. "Saya saksi hidup revolusi kebudayaan di Cina," kata Agam dalam sebuah wawancara pada 1999 yang dimuat dalam majalah D&R.
Agam terkejut oleh pelaksanaan program itu. "Revolusi ini biadab. Patung-patung candi dikapak. Apa Bung bisa terima kalau stupa-stupa di Borobudur dikapak karena mencerminkan nilai-nilai lama yang dianggap feodal?" tuturnya.
Saat menjalani turba, Agam mengalami penderitaan yang tak kalah biadab. "Kami disuruh mengangkat tahi dengan tangan. Banyak yang diserang disentri dan lever. Bersama beberapa kelompok, saya berontak," ujar Agam.
Agam kemudian kabur ke Moskow, Soviet, menumpang kereta Trans Siberia. Ia tak tinggal lama di Soviet karena melihat indoktrinasi ternyata berlaku lebih parah di sana. Dari Soviet, Agam pindah ke Berlin Timur, Jerman.
Dengan demikian, Agam menjadi satu-satunya eksil yang pernah hidup di tiga rezim komunis: Cina, Rusia, dan Jerman Timur. Pengalaman ini mengubah pandangannya tentang komunisme. Ia gerah oleh birokrasi negara yang menindas pemikiran. "Di Berlin Timur, hidup begitu dikontrol. Intel banyak. Ada pula gejala anti-orang asing," tuturnya. Setelahnya, Agam memutuskan pindah ke Berlin Barat, lalu menjadi warga negara Belanda pada 1988.
SEMASA di Eropa, Agam tak meninggalkan kecintaannya pada puisi. Pada 1980-an, ia menginisiasi pertemuan yang mengundang semua sastrawan eksil Indonesia di Eropa, antara lain Sobron Aidit, Asahan Aidit, Emha, Mawie Anantan Jonie, dan Noor Djaman. Pertemuan itu berbuah perkumpulan bengkel sastra yang rutin meriung setiap bulan untuk berdiskusi tentang sastra Indonesia dan dunia. "Pertemuan diadakan bergantian di rumah tiap anggota," ujar Asahan.
Bila berbicara tentang sastra dan puisi, semangat Agam akan menggebu-gebu. Asahan menyebut Agam berdarah daging penyair karena selalu berbicara tentang sajak dan selalu menggubah sajak. Mereka berdua sempat berencana menerbitkan kumpulan sajak bersama berjudul Berdua Sejalan. "Ada 90 sajak. Agam 50, saya 40," kata Asahan.
Sajak-sajak Agam, menurut Asahan, konsisten mengambil tema politik, kritik, dan protes. Sedangkan Asahan cenderung membuat sajak romantis. Sayang, salinan naskah kumpulan sajak itu hilang sebelum diterbitkan.
Di lain waktu, saat tak berdiskusi atau menggubah puisi, Agam memasak. Ia gemar makan enak dan biasa memasak sendiri makanannya. Masakan andalan Agam adalah rendang dan gulai kepala ikan yang amat digemari teman-temannya di Belanda. "Kami bikin kelompok namanya Perkumpulan Kepala Ikan, disingkat PKI," kenang Asahan sambil tertawa di ujung telepon.
Suatu hari, Agam menghadiri festival budaya Belanda-Indonesia. Di sana, ia berjumpa dengan Goenawan Mohamad. Goenawan, yang mengagumi sajak-sajak Agam sejak antologi Sahabat, mengundangnya pulang ke Indonesia dan bersedia mencarikan ongkos. "Dia memang ingin pulang," ujar Goenawan.
Pada 1999, setahun setelah kekuasaan Soeharto runtuh, Agam pun pulang ke Indonesia. Ia menyempatkan diri bertemu dengan teman-teman lama. Kepulangan itu pun dituangkan Agam dalam sajak "Pulang" yang diterbitkan Lontar pada 2002.
puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
puisi generasi baru bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya laut menggelombang.
Tatkala pulang ke Indonesia pada 1999, ia meluncurkan terjemahannya atas lakon Faust karya pujangga besar Goethe. Beberapa tahun terakhir, Agam Wispi menerjemahkan Faust langsung dari bahasa Jerman. Buku itu kemudian diterbitkan Yayasan Kalam bekerja sama dengan Goethe Institut. Faust dikenal dalam kebudayaan Barat sebagai sosok yang mengagungkan ilmu di atas segalanya. Empat tahun setelah meluncurkan buku Faust, Agam wafat.
Moyang Kasih Dewimerdeka, Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo