Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dharta, Klara, dan Lekra

AS Dharta dikenal sebagai penyair yang punya banyak nama samaran. Pernah dipecat PKI dan berseteru dengan H.B. Jassin.

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU orang tapi banyak nama. Itulah AS Dharta. Sepanjang hidupnya, penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)-sebuah organisasi di bawah naungan Partai Komunis Indonesia-itu kerap menggunakan nama yang berbeda untuk dirinya.

Lahir pada 7 Maret 1924, ia diberi nama Endang Rodji. Nama itu adalah pemberian kakeknya. Tapi, ketika beranjak dewasa, Dharta merasa kurang sreg. Dia tak mau menggunakan nama Endang dan memilih nama belakangnya saja: Rodji. "Bapak enggan memakai nama Endang karena terkesan menak atau bangsawan," kata putri Dharta, Ira Tasty, 57 tahun, pada akhir September lalu.

Meski tak mau dicap bangsawan, Dharta sesungguhnya memang berasal dari keluarga berada. Di Kampung Hanjawar, Desa Cikondang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, keluarga Dharta dikenal punya banyak sawah. Bahkan keluarganya mempekerjakan banyak orang untuk mengelola sawah-sawah itu. "Dia anak orang kaya. Mungkin anak tuan tanah," ujar rekan Dharta di Lekra, Amarzan Ismail Hamid, 76 tahun, awal Agustus lalu.

Nyatanya, Dharta juga tak betah berlama-lama dengan nama Rodji. Ketika merantau dari kampung halamannya, dia memilih AS Dharta untuk nama sehari-hari-bahkan untuk nama kartu tanda penduduk. Di Yogyakarta, Dharta menjadi wartawan Harian Boeroeh. Dia juga memimpin sejumlah organisasi buruh, seperti Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Di Jakarta, Dharta ikut pergerakan pada masa revolusi. Dia bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang bermarkas di Menteng 31. Di situlah dia mengenal sejumlah tokoh, termasuk Sukarno. Meski aktif di sana-sini, Dharta sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan. Dia memang sering menulis puisi, prosa, esai, naskah drama, dan cerita pendek. Di situ dia kerap meninggalkan AS Dharta dan memakai sejumlah nama pena, seperti Klara Akustia, Kelana Asmara, Jogaswara, Barmara Poetra, Rodji, Adi Sidharta, dan masih banyak lagi.

Puisi pertama Dharta disebut-sebut dimuat di surat kabar Tjahaja, Bandung, pada masa menjelang kemerdekaan. Dia juga pernah menulis naskah drama Saidjah dan Adinda yang merupakan adaptasi novel karya Multatuli. Selain itu, cerita-cerita pendeknya pernah dimuat di majalah Gelombang Zaman pada akhir 1946. Puisi-puisinya juga diterbitkan sejumlah surat kabar pada masa itu.

Yang paling fenomenal tentu esainya berjudul "Angkatan 45 Sudah Mampus" yang terbit di majalah Spektra pada 27 Oktober 1949. Menggunakan nama Jogaswara, Dharta dengan tegas dan berapi-api mengkritik minimnya peran sastrawan Angkatan ’45 terhadap kehidupan masyarakat. "Di Madiunlah dikuburnya Angkatan 45," tulis Dharta, merujuk pada Peristiwa Madiun 1948. "Dan matilah ia, pemikul Hari Esok." Ketika itu, tulisan bernada keras ini menjadi polemik dan ramai diperbincangkan.

Dalam membuat puisi, Dharta lebih sering memakai nama Klara Akustia. Nama ini juga dipakai ketika buku kumpulan puisinya, Rangsang Detik, terbit pada 1957. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain, Sejumlah Obituari, mengatakan nama Klara Akustia dipakai Dharta setelah ditinggal lari istrinya yang sehari-hari dia panggil Klara. Istrinya-yang bernama asli Aini-kabur bersama seorang serdadu Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) ke Belanda. "Untuk membuktikan dia tetap setia, digunakanlah nama Klara Akus(e)tia," tulis Ajip.

Belakangan, Dharta tak cuma "bermain-main dengan nama" untuk dirinya dan istrinya yang lari. Dia melakukan hal serupa untuk Ira Tasty, anak dari perkawinannya dengan Komariah. Menurut Ira, namanya merupakan kepanjangan dari Indonesia Raya Tanda Setya atau Irian Barat Tanda Setya. "Begitu kata Bapak," ucap perempuan kelahiran 29 September 1960 itu. Barangkali Dharta terpengaruh oleh rencana pemerintah Indonesia, yang kala itu ingin merebut Irian Barat dari Belanda.

l l l

BERSAMA Njoto dan M.S. Ashar, AS Dharta mendirikan Lekra pada 17 Agustus 1950. Dia menjabat sekretaris jenderal yang pertama sekaligus redaktur Zaman Baru, sebuah surat kabar terbitan Lekra. Selain itu, Dharta menjadi pengurus pusat PKI. Bahkan, pada Pemilihan Umum 1955, dia terpilih menjadi anggota Konstituante dari calon tak berpartai lewat PKI. Di sana, Dharta bertugas menyusun undang-undang dasar baru.

Meski sibuk di Lekra dan PKI, Dharta tetap tak lupa menulis. Pada 1951, lewat tulisan, dia pernah berseteru dengan kritikus sastra H.B. Jassin. Dharta menganggap Jassin "berpihak" kepada sastrawan Angkatan ’45. Padahal Dharta menilai kebanyakan karya mereka tak searah dengan garis besar revolusi dan semangat perubahan di masyarakat. Menurut Dharta, karya mereka lebih banyak bersifat individualisme-eksklusivisme.

Jassin berpendapat lain. Dia menganggap sastra tak boleh dibawa ke ranah politik karena bisa mengganggu nilai estetikanya. Lantaran perseteruan itu, Dharta membuat puisi untuk Jassin berjudul "Antara Bumi dan Langit". "Kita berdua sama-sama tidak bebas/Kau terikat pada dirimu/Aku pada Manusia dan zaman kini!" begitu isi salah satu lariknya.

Pada November 1958, Dharta dipecat dari Lekra dan PKI karena ketahuan berselingkuh. Keanggotaannya di Konstituante juga dicabut. Adapun jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal Lekra diisi Djoebar Ajoeb. Di Lekra-juga PKI-selingkuh dan poligami diharamkan. Pemecatan itu bahkan diumumkan di Harian Rakjat, media resmi PKI. "Pengumuman pemecatan itu, menurut saya, agak kelewatan," ucap sastrawan Lekra, Hersri Setiawan, 81 tahun.

Tapi Dharta tak ingin keluar dari PKI. Dia memilih bertobat dan kembali menjadi anggota Partai, meski harus memulai dari bawah lagi. "Dengan jantan dan tegas, dia menyatakan terjebak dalam ’konsumerisme borjuis’," ujar Hersri. Seusai peristiwa itu, Dharta seperti mati kutu. Pada 1963, dalam sebuah sidang pleno Lekra di Palembang, Sumatera Selatan, misalnya, dia cuma bisa menjadi pendengar lantaran tak punya hak suara. Tapi Dharta tak terlalu ambil pusing. Dia juga tak marah ketika Amarzan Ismail Hamid meledeknya karena tak punya hak suara.

Padahal Amarzan-yang waktu itu masih anggota muda-sudah punya hak suara. "Gue kan orang buangan," ucap Dharta, seperti ditirukan Amarzan. Menurut Amarzan, ucapan ledekan darinya-yang merupakan junior di partai-tak ditanggapi serius karena Dharta selalu bersikap egaliter. "Semuda apa pun kamu, kalau bergaul dengan dia, pasti dibikin setara."

Dharta dikenal tak bisa diam. Ketika gerakannya terbatas setelah pemecatan di Lekra dan PKI, dia mengalihkan perhatian pada hal lain. Pada 1960-an, dia membentuk Masjarakat Seni Djakarta Raja. Lalu pada 1962, bersama pelukis Hendra Gunawan dan sejumlah rekannya, Dharta mendirikan Universitas Kesenian Rakyat di Bandung. Dalam sambutan saat peresmiannya, Presiden Sukarno mengatakan kampus tersebut adalah universitas pertama di Indonesia dalam bidang humaniora. "Universitas itu didirikan untuk mendidik dan memajukan kesenian rakyat," kata Hersri. Menurut Hersri, Dharta sempat menjadi rektor di sana.

Segala kelincahan Dharta berakhir ketika terjadi peristiwa 30 September 1965. Tak lama setelah itu, dia dibawa ke penjara Kebonwaru, Bandung, dan menjadi tahanan politik di sana. Dharta bebas pada 1978, tapi tak banyak yang bisa dia lakukan karena berbagai larangan rezim Orde Baru. Di rumahnya di Cianjur, Dharta cuma bisa menghabiskan waktu dengan membaca atau berbincang bersama kawannya yang datang berkunjung. Salah satunya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Pada 7 Februari 2007, Dharta meninggal akibat penyakit paru-paru. Dia mengembuskan napas terakhir di rumahnya setelah sempat menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Timur. Ketika dirawat, Dharta sudah memberikan tanda kepergiannya. "Aku mau menyusul Pram saja," kata Dharta, seperti ditirukan Ira Tasty. Kini jasad Dharta telah menyatu bersama tanah di permakaman keluarga tak jauh dari rumahnya.

Prihandoko, Deden Abdul Aziz (cianjur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus