Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAJAK "Matinya Seorang Petani" yang ditulis Agam Wispi membuat Joebaar Ajoeb dan Sitor Situmorang cukup kerepotan. Pada 1963, dua perwakilan seniman di Dewan Perwakilan Daerah Jakarta itu harus menemui petinggi militer. Militer sebelumnya melarang peredaran sajak Agam yang berisi tentang tewasnya seorang petani saat protes penggusuran tanah di Tanjung Morawa itu.
Bukan itu saja puisi Agam Wispi yang bikin pemerintah meradang. Dua tahun sebelumnya, sajak Agam berjudul "Demokrasi" juga dilarang dideklamasikan di depan publik. Sajak yang dibuat pada 1959 itu pertama kali dipublikasikan di majalah Zaman Baru. Sajak ini menohok. "Apa yang dituliskan Agam pada 1960-an bahkan masih bisa bergema hari ini bila kata ’jenderal’ diganti dengan ’pejabat’ atau ’politikus’," kata Goenawan Mohamad, sastrawan.
Jenderal!
telah kami pasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!
jenderal, telah kami pasang
bintang-bintang di dada kalian
dari keringat tujuh sepuluh jam
kami tuntut bintangmu: mana upah?
Goenawan menyebut Agam sebagai seorang penyair tulen. Meski memiliki keterbatasan karena terikat pada Partai Komunis Indonesia, Agam dinilai mampu melampaui batasan itu dengan kreatif. "Agam itu orang yang tidak bisa diperintah partai karena ingin bebas," ujar Goenawan. Dia muncul dengan sajak yang segar, bahasa sederhana, transparan, dan tidak berpatron pada formula biasa penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). "Puisi Lekra jarang bagus karena biasanya gampang ditebak, Agam berbeda," ujar Goenawan.
Salah satu puisi Agam yang paling diingat Goenawan termaktub dalam antologi Sahabat yang diterbitkan pada 1959. Antologi ini terdiri atas 12 sajak yang ditulis Agam semasa belajar jurnalistik di Leipzig, Jerman, pada 1958-1959. Di dalamnya terdapat sebuah kuatren berjudul "Pameran Leipzig" yang berbunyi:
Nikita
Nikita
Datang membawa damai
Nikita yang dimaksudkan Agam adalah Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet yang menyerukan ide "koeksistensi damai" antara negara sosialis dan kapitalis. Ide perdamaian itu ternyata menggugah Agam. Belakangan, Khrushchev malah dituduh sebagai revisionis oleh pemimpin komunis di Cina dan Indonesia. "Saya tidak tahu bagaimana nasib sajak itu setelah Lekra mengecam Khrushchev," kata Goenawan.
Agam sendiri pernah menyinggung tentang dilema akibat perbedaan pandangan Uni Soviet dan Cina perihal revolusi. Menurut Agam, Lekra menjadi korban konflik perang dingin antara Moskow dan Beijing. Ini membuat Agam resah. "Menurut saya, bagaimanapun, puisi harus dapat dipertanggungjawabkan secara puitik, bukan secara politik," kata Agam dalam sebuah wawancara yang dimuat majalah D&R pada 1999.
Keith Foulcher, sarjana Australia yang menelaah karya-karya seniman Lekra dalam Social Commitment in Literature and the Arts (1986), menyebut Agam sebagai salah satu penyair Lekra paling produktif dan tahan lama. Agam juga berani menggunakan bentuk-bentuk sajak yang tak umum dipakai penyair Lekra. Ia bermain dengan bunyi kata dan rima. Gaya ini, menurut Foulcher, mengingatkan pada gaya modern Chairil Anwar seperti dalam sajak "Dera dan Deru" yang ditulis pada 1957:
jika dera menderu
tak apa, inilah pahitnya tak menyerah
jika dera menderu
bangkit berlawan sampai kalah
kami tegak menantang dera
bersama lagu yang menderu
Bentuk lain yang juga digemari Agam adalah puisi naratif. Muhidin M. Dahlan, penyunting buku Gugur Merah Sehimpunan Puisi Lekra-Harian Rakjat (1950-1965) yang terbit pada 2008, mengatakan Agam mahir menulis puisi panjang yang mencapai 4-5 halaman.
Di koran, puisi panjang Agam bisa mengisi satu halaman penuh. Muhidin berpandangan Agam paling matang di antara penyair Lekra lainnya. Yang paling mewakili gambaran puisi naratif dan monumental itu adalah "Surabaya". Puisi itu menjelaskan Surabaya dengan sangat indah, puitis, dan realis. "Di sajak itu, Agam mampu menangkap denyut kota dan manusianya secara utuh," kata Muhidin.
Moyang Kasih, Shinta Maharani (yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo