Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kali di negeri ini terjadi peledakan bom bunuh diri, di media massa (dan media sosial) muncul kata mengebom, pengebom, dan pengeboman, yang bersaing dengan membom, pembom, dan pemboman. Orang yang biasa tertib dalam berbahasa akan memilih mengebom dan "kawan-kawannya" karena menaati kaidah pembentukan kata bahwa awalan "meng-" yang diikuti kata bersuku tunggal menjadi "menge-". Contoh lain adalah mengerem, mengepak, mengecat, mengelas, mengepaskan, mengesahkan, dan mengeposkan.
Namun cobalah tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia terbaru (edisi V). Ada di situ misalnya menghadkan (membatasi, mengkhususkan) dan menghakkan (memberi hak), yang menyimpang dari pola atau kaidah. "Had" (batas) dan "hak" (wewenang) sama-sama bersuku tunggal, jadi semestinya menghasilkan turunan mengehadkan dan mengehakkan.
Masalah juga muncul ketika prefiks "meng-" diikuti kata bersuku tunggal yang diawali konsonan ganda, seperti "klik", "blok", dan "plot". Di Kamus Besar, kata turunannya adalah mengeplot, mengeklik, dan mengeblok. Namun, di kamus yang sama, ada perlakuan yang berbeda atas kata "klaim", "skor", "skors", dan "khas". Bentuk turunan keempat kata itu adalah mengklaim, menskor, menskors, dan mengkhaskan.
Ya, di sini Kamus Besar kembali "mendua". Berdasarkan pelafalan yang lazim, memplot, mengklik, dan memblok lebih mendekati pola yang umum. Jadi alangkah baiknya jika kamus yang menjadi referensi utama pengguna bahasa Indonesia itu mengikuti pola ini: awalan "meng-" yang diikuti kata bersuku tunggal yang diawali konsonan ganda tetap "meng-", tidak menjadi "menge-".
Bukan hanya dalam soal itu Kamus Besar edisi terbaru "mendua". Carilah lema "subyek" dan "obyek". Anda akan diarahkan ke "subjek" dan "objek" karena "subyek" dan "obyek" dianggap tidak baku. Menurut Kamus Besar, kata bakunya "subjek" dan "objek". Banyak pengguna bahasa, termasuk saya, menjatuhkan pilihan pada "subyek" dan "obyek", seperti halnya pada "proyek" dan "trayek". Tak ada "projek" dan "trajek" di Kamus Besar. Kata-kata itu serapan dari bahasa Belanda, masing-masing dari subject, object, project, dan traject. Jadi ada polanya: "-ject" menjadi "-yek". Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko (Tesamoko) konsisten dengan "yek" ini.
Berselancar ke halaman-halaman Kamus Besar memang mengasyikkan, tapi kita juga mesti siap terperangah. Di kamus itu, kita akan menemukan berbagai akhiran yang diawali "-i", misalnya "-isasi" dan "-is". Akhiran "-isasi" menurut Kamus Besar adalah "sufiks pembentuk nomina proses, cara, perbuatan: aktualisasi, legalisasi, lokalisasi". Jadi aktualisasi, legalisasi, dan lokalisasi dianggap sebagai bentukan dari "aktual + -isasi", "legal + -isasi", dan "lokal + -isasi". Entah mengapa, Kamus Besar tidak mengakui bahwa ketiga kata itu adalah serapan langsung dari actualisatie, legalisatie, dan localisatie dalam bahasa Belanda, yang semakna dengan actualization, legalization, dan localization dalam bahasa Inggris. Pengakuan terhadap keberadaan akhiran "-isasi" jadinya mengesahkan bentuk norak dan aco-acoan seperti kuningisasi, listrikisasi, dan turinisasi.
Bagaimana dengan "-is"? Sesungguhnya dalam bahasa Indonesia tidak ada pula akhiran "-is". Nasionalis, misalnya, bukanlah bentukan dari "nasional + is", melainkan serapan langsung dari nationalist (bahasa Belanda/Inggris). Jurnalis dan novelis adalah contoh lain. Keduanya serapan dari journalist dan novellist/novelist. Maka cerpenis, misalnya, merupakan kata bentukan yang "dibikin-bikin" atawa menyimpang dari kaidah. "Cerpen" akronim dari "cerita pendek". Maka, jika kita mengikuti Kamus Besar bahwa "-is" adalah "sufiks pembentuk nomina orang yang bergerak atau ahli dalam...: jurnalis, kartunis, linguis", bentuk cerita pendekis mau tak mau mesti diterima, padahal sungguh aneh dan gecul. Apa masalahnya kalau kita sebut saja "penulis cerita pendek" atau "penulis cerpen"?
Pancasilais serupa dengan cerpenis. Pancasilais menjadi lema tersendiri, padahal kata itu bentukan yang "dibikin-bikin" sebagai akibat dari pengakuan terhadap akhiran "-is". Definisinya pun bisa dibilang lewah (berlebihan) karena ada embel-embel "baik dan setia". Menurut Kamus Besar, Pancasilais adalah "penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia", dengan contoh kalimat "anggota DPR Republik Indonesia haruslah seorang Pancasilais". l
Uu Suhardi
Redaktur Bahasa Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo