Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Penyair Menguak Lekra

Agam Wispi, AS Dharta, dan HR Bandaharo adalah tiga penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terkemuka. Sajak-sajak mereka yang menyuarakan perjuangan rakyat mewarnai lintasan sejarah kesusastraan Indonesia. Namun, sejak geger politik 1965, karya-karya mereka seakan-akan tenggelam ditelan zaman.

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA pada 1960-an. Suasana aktivitas kepenyairan begitu dinamis di sini. Pada masa itu, puisi tumbuh subur. Yang produktif melahirkan puisi antara lain para sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lembaga yang berdiri pada 17 Agustus 1950 itu, dalam laporannya di Konferensi Nasional Lekra di Medan pada 1963, menyatakan selama 12 tahun berkiprah di lapangan kebudayaan, sastrawan Lekra paling produktif melahirkan puisi dibandingkan dengan prosa ataupun hasil karya kesenian lain.

Puisi mereka bertebaran di Harian Rakjat edisi Minggu. Koran milik Partai Komunis Indonesia itu secara rutin memuat beberapa puisi hasil seleksi kiriman para penyair kiri dan anggota Lekra. Dalam seminggu, rata-rata ada 40 pengirim puisi. Sejak 1957, koran itu juga memiliki tradisi setiap akhir tahun memilih puisi terbaik bersama cerita pendek, cerita bersambung, naskah lakon, esai, dan karya terjemahan.

Boleh dibilang, dalam tradisi kesusastraan Lekra, puisi mendapat tempat yang istimewa. Dalam rapat-rapat akbar, selalu ada pembacaan puisi. Agaknya, hal ini dilakukan karena waktu itu puisi merupakan alat paling ampuh untuk menyampaikan gagasan partai atau ideologi Lekra lantaran corak dan bentuknya paling sederhana serta mudah dicerna masyarakat bawah.

Tiga di antara deretan penyair Lekra yang saat itu menggelorakan gairah sastra adalah HR Bandaharo, Agam Wispi, dan AS Dharta. Mereka pelopor angkatan pertama sastrawan Lekra. Sebelum bergabung dengan Lekra, mereka sudah dikenal sebagai penyair. "Mereka penyair yang sudah jadi sebelum masuk Lekra," kata Putu Oka Sukanta, 78 tahun, sastrawan Lekra.

HR Bandaharo, yang lahir di Medan pada 1917, bergiat di jagat sastra sejak remaja. Karya penyair bernama lengkap Banda Harahap itu banyak dimuat di beberapa media di kota kelahirannya. Salah satu karyanya, "Sarinah dan Aku", puisi patriotik yang dia tulis pada 1939, mencuri perhatian peminat sastra waktu itu. Pada 1950-an, sajaknya, "Tak Seorang Berniat Pulang, Walau Mati Menanti", menggebrak dan kemudian mencuatkan namanya. Sajak itu sangat terkenal dan menjadi puisi wajib dalam lomba-lomba deklamasi pada 1960-an.

Setelah bekerja sebagai anggota redaksi harian Pendorong di Medan, pada 1962, Banda-sapaan akrabnya-diminta pindah ke Jakarta untuk memimpin ruang kebudayaan Harian Rakjat edisi Minggu. Di Jakarta, ia juga menjadi salah seorang Pengurus Pusat Lekra dan anggota Departemen Kebudayaan Central Comite PKI.

Agam Wispi pada 1950-an sudah terkenal dengan sajak "Matinya Seorang Petani". Puisi ini diciptakan setelah dia menyaksikan aksi anggota Barisan Tani Indonesia yang memprotes penggusuran tanah garapan petani miskin di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, melawan traktor pemilik perkebunan. Dalam aksi itu, Agam menyaksikan seorang petani mati ditembak.

Agam lahir di Pangkalan Susu, Sumatera Utara, pada 1930. Dia memulai kariernya sebagai wartawan di harian Pendorong dan Kerakjatan di Medan. Seperti halnya Bandaharo, Agam diminta pindah ke Jakarta pada 1962 untuk menjadi redaktur kebudayaan di Harian Rakjat edisi Minggu.

Ketika geger politik 1965 meletus, Agam sedang berada di Beijing untuk menghadiri perayaan ulang tahun Republik Tiongkok. Ia tak bisa kembali. Selama puluhan tahun ia kemudian mengembara sebagai tahanan politik. Pada 1988, ia menjadi warga negara Belanda.

AS Dharta lahir dengan nama Endang Rodji di Cianjur pada 1924. Sebelum ikut mendirikan Lekra dan menjabat sekretaris umum, dia malang-melintang dalam gerakan buruh. Dia pernah menjadi jurnalis di Harian Boeroeh di Yogyakarta. Dia memimpin Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, Serikat Buruh Pelabuhan, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia.

Dharta ikut mendirikan Masjarakat Seni Djakarta Raja. Dia penyair yang kerap menggunakan sejumlah nama pena saat menulis sajak. Klara Akustia salah satu nama yang populer. Nama lainnya Kelana Asmara, Jogaswara, Barmara Putra, dan Adi Sidharta. Puisi-puisinya yang terkenal antara lain "Rukmanda" dan "Nyi Marsih". Dharta sempat ditahan di penjara Kebonwaru, Bandung, dan baru dibebaskan pada 1978.

Bandaharo, Agam Wispi, dan Dharta kami tampilkan karena ketiganya merupakan penyair penting di antara deretan sastrawan Lekra. Puisi-puisinya menyuarakan perlawanan rakyat terhadap segala macam penindasan dan ketidakadilan. Sastrawan Lekra, Hersri Setiawan, 81 tahun, mengatakan puisi-puisi mereka melontarkan semangat zamannya. Hanya, dalam gaya pengungkapannya, mereka punya karakter masing-masing. "Bandaharo serba jelas, Dharta tegas dan keras, sedangkan Agam Wispi romantis," kata tokoh Lekra Jawa Tengah yang pernah terpilih sebagai anggota Komite Pengarang Asia-Afrika itu.

Boleh dibilang, puisi-puisi mereka juga sangat menggugah dan patriotik. Meski begitu, puisi-puisi mereka tetap sangat puitik. Bukan sajak pamflet politik yang langsung menggasak, seperti puisi-puisi karya para pentolan PKI: D.N. Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman. "Matinya Seorang Petani" karya Agam Wispi, misalnya, adalah puisi panjang mencekam tentang penembakan seorang petani yang mempertahankan hak atas tanahnya. Namun sajak itu begitu menyentuh dan puitis:

dia jatuh
rubuh

satu peluru
dalam kepala

ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya

Dalam sebuah kesempatan, Agam Wispi pernah menyatakan bahwa dia menyayangkan sajak-sajak aktivis Lekra yang penuh semboyan. "Menurut saya, bagaimanapun, puisi harus dipertanggungjawabkan secara puitik, bukan secara politik," ujarnya.

Ketika terjadi konflik dalam tubuh Lekra karena berbeda pandangan tentang hubungan Lekra dengan PKI, Agam, Bandaharo, dan Dharta berdiri bersama tokoh Lekra yang menolak organisasi mereka menginduk ke partai komunis itu. Njoto, pendiri Lekra sekaligus petinggi PKI, dikabarkan selalu melawan keinginan Ketua PKI D.N. Aidit menjadikan Lekra sebagai organisasi resmi PKI. Njoto menjaga "garis" Lekra agar tidak diubah menjadi "merah" oleh PKI.

Menurut sastrawan Lekra, Martin Aleida, 73 tahun, di antara ketiga penyair itu, Bandaharo-lah satu-satunya yang paling berani menentang D.N. Aidit ketika sang Ketua ingin menjadikan Lekra onderbouw PKI. Itu terjadi dalam sebuah pertemuan menjelang diselenggarakannya Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner pada 1964. Konferensi ini merupakan upaya untuk meresmikan Lekra sebagai organisasi PKI.

Saat itu Aidit mengatakan penyair Lekra itu revisionis, menyimpang dari garis revolusi. Aidit menentang revisionisme. Itu imbas dari perseteruan antara Cina dan Uni Soviet. "Waktu itu Bandaharo tunjuk tangan. Dia protes atas pernyataan Aidit tersebut," kata Martin, yang pernah mendapat cerita itu dari Bandaharo langsung ketika sudah pulang dari Pulau Buru.

Suasana penentangan itu, menurut Martin, terbawa hingga ke markas Lekra di Jalan Cidurian 19, Jakarta Pusat. "Jika Aidit datang ke Cidurian, mereka tetap duduk-duduk," ucap Martin. "Tapi ketika Njoto datang, mereka langsung berdiri memberi hormat."

Nurdin Kalim, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus