Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Dua Restu</font> dari Cisitu

Yudhoyono dan Jusuf Kalla besar kemungkinan berpisah jalan. Aktif menjalin komunikasi, Kalla menyiapkan calon pendamping—di antaranya bekas Panglima Tentara Nasional Indonesia Endriartono Sutarto dan bekas Gubernur Jakarta Sutiyoso. Partai Demokrat juga menyiapkan ancang-ancang.

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKAD itu disampaikan di ruang tengah rumah Solihin Gautama Poerwanegara di Kompleks Cisitu Indah, Bandung, awal Maret lalu. Bertandang ke rumah mantan Sekretaris Pengendalian Operasi Pembangunan itu, sang tamu, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, menegaskan niat: siap maju menjadi calon presiden.

”Dia minta restu saya,” kata Solihin, 83 tahun, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Kalla hari itu ditemani anggota staf ahli Wakil Presiden, Alwi Hamu, serta Ketua Partai Golkar yang juga Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Andi Mattalata.

Mendengar tekad tamunya, Solihin terkenang peristiwa hampir serupa awal Mei 2004. Ketika itu, Jusuf Kalla datang bersama Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka minta restu untuk maju menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Pertemuan ketika itu dihadiri mantan Gubernur Jawa Barat Mashudi.

Solihin pun mengingatkan tekad Jusuf Kalla dan Yudhoyono untuk ”bersama kita bisa” selama lima tahun. Ia juga menjelaskan pentingnya kepemimpinan yang berkelanjutan. Apalagi Solihin masih menganggap cocok duet ini. Tak paham alasan sang tamu, ia pun bertanya, ”Kunaon kudu pecah?”

Menurut Solihin, Kalla mengatakan telah mendapat amanat dari partainya. Secara kronologis, saudagar asal Makassar itu menjelaskan desakan dari pengurus daerah Golkar agar ia mencalonkan diri. Dorongan itu cukup besar meski keputusan resmi Partai Golkar baru akan diambil pada rapat pimpinan nasional khusus setelah pemilihan umum 9 April.

Solihin menyahut cepat: ”Jadi kau menempatkan kepentingan partai di atas kepentingan negara?” Kalla menggeleng. Politikus 67 tahun itu menyatakan bersama Golkar bisa ”berbuat lebih untuk negeri jika berada di pucuk pimpinan nasional.” Solihin menanggapinya dengan keras: ”Apalah artinya perubahan yang dilakukan sendirian dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi?” Menurut dia, kerusakan sistemik negeri ini harus diatasi dengan perubahan radikal yang membutuhkan kerja sama.

Hubungan keduanya memang dekat. Solihin menyebut Jusuf Kalla seperti anaknya. Sebaliknya, Kalla mengatakan sudah mengenal Solihin sejak 40 tahun silam. Waktu itu, Solihin menjadi Panglima Komando Daerah Militer Hasanuddin di Makassar dan Kalla memimpin Senat Mahasiswa Universitas Hasanuddin.

Ketika anak lelakinya lahir, Kalla memberikan nama Solihin. Dipanggilnya pun Iin, sama dengan Solihin Gautama. ”Kalau ke Bandung, selalu saya usahakan mampir ke rumahnya,” kata Kalla kepada para anggota Golkar Bandung setelah bertemu dengan ”ayahnya” itu.

Walau memiliki hubungan dekat, Solihin tak bisa menaklukkan tekad Kalla untuk maju. Ia lalu membelokkan pembicaraan: ”Sudahlah. Kita ngomong keluarga saja.” Setelah itu, obrolan beralih ke hal-hal pribadi. Tak sampai setengah jam, Jusuf Kalla pulang.

Sepekan kemudian, Solihin kedatangan tamu penting lain: Widodo Adi Sutjipto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Datang sekitar pukul lima sore dan baru pulang setelah magrib, menurut Solihin, Widodo menyampaikan ”hasil pertemuannya dengan Yudhoyono”. Di antaranya janji bantuan buat Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, organisasi yang dirintis Solihin.

Rupanya, Widodo tidak sekadar membawa misi lingkungan hidup. Di rumah Solihin, ia menelepon Yudhoyono dan mempersilakannya berbicara dengan tuan rumah. Menurut Solihin, melalui telepon, Yudhoyono juga meminta restu untuk maju lagi dalam pemilihan presiden.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, Solihin mempertanyakan komitmen Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk tetap bersama. Ia juga menyampaikan penjelasan Kalla sepekan sebelumnya. Menurut Solihin, Yudhoyono menyatakan ingin terus bersama Jusuf Kalla. ”Tapi saya menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, apa yang terbaik, kalau memang (perpisahan) itu terjadi,” kata Yudhoyono seperti ditirukan Solihin.

l l l

JUSUF Kalla terlihat semakin mantap dengan langkahnya. Sepekan setelah pertemuan itu, di depan kader muda Golkar di ruang utama Hotel Saphir, Yogyakarta, ia berorasi: ”Saya pernah menjadi menteri, kini menjadi wakil presiden. Jadi tangga saya tinggal selangkah lagi.”

Di tengah kepungan asap rokok, para anggota muda Beringin riuh menyambut tekad Kalla: ”Golkar menang!”

Kalla mengatakan yakin bisa menjadi presiden. Ia merasa memiliki kemampuan memimpin. Lalu ia menyambung: ”Pemerintahan SBY-JK sudah berjalan baik. Tapi, bila dipercaya, saya akan lebih baik dan lebih cepat lagi.” Slogan yang dipakai dalam pariwara di media massa ini seolah meledek Yudhoyono, yang selama ini dikritik lambat mengambil keputusan.

Sebelum melangkah ke perebutan kursi presiden, Kalla untuk sementara bisa mengatasi persaingan di Beringin. Di kota yang sama, para pengurus daerah tingkat provinsi mendukung pencalonannya. Kesepakatan itu diambil dalam pertemuan yang dihadiri 28 dari 35 pengurus Golkar provinsi se-Indonesia.

Menurut Uu Rukmana, Ketua Golkar Jawa Barat, kesepakatan ditandatangani semua pengurus provinsi. Sebanyak 28 pengurus hadir di Yogyakarta, satu memberikan kuasa, satu izin, dan sisanya mengikuti keputusan. Para peserta pertemuan mengunci keterangan ketika ditanyai soal para pengurus yang absen. Yang jelas, Fadel Muhammad, Ketua Golkar Gorontalo, tak terlihat hadir.

Dihubungi Selasa pekan lalu, Fadel enggan berkomentar banyak. ”Untuk sementara kami mendukung apa pun yang dibikin pengurus pusat,” ujarnya. ”Sementara ini saya sibuk ngurus Golkar Gorontalo, itu saja. Dulu kan saya minta jadi calon legislator enggak dikasih, mau bikin iklan diri pun enggak dikasih.”

Uu mengatakan para peserta pertemuan akan mengesahkan pencalonan Kalla pada rapat pimpinan nasional setelah pemilu 9 April. ”JK merupakan simbol partai,” katanya. Selain Kalla, beberapa politikus Beringin berminat menjadi calon presiden, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Akbar Tandjung.

Sultan tak hadir pada pertemuan itu. Anggota Dewan Penasihat Golkar itu berada di Sumatera Utara menghadiri undangan masyarakat adat. Gandung Pardiman, Ketua Golkar Yogyakarta, pun tak tampak saat konferensi pers. Pada awalnya, menurut sumber Tempo, konferensi pers itu akan dihadiri semua peserta, setelah menyerahkan kesepakatan kepada Kalla. Ternyata rencana itu batal karena hanya sebagian kecil yang hadir ke tempat Kalla.

Gandung ketika dimintai konfirmasi mengatakan, ”Saya kan tuan rumah, saya sibuk mengurusi acara. Lagi pula, ini baru peperangan (awal). Pertempuran belum dilakukan.”

Pendukung Kalla pun telah bergerak. Burhanuddin Napitupulu, Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai Golkar, mengatakan Indonesia perlu dipimpin seorang pebisnis. Menurut dia, latar belakang Kalla sangat bagus: berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama, beristri pengikut Muhammadiyah dari Sumatera Barat. ”JK juga komunikatif, tulus, cekatan, sederhana. Dia mudah dihubungi, telepon selulernya tidak berganti nomor.”

Sebuah buku juga sedang disiapkan. Judulnya: 99 Alasan Mengapa JK Pantas Menjadi Presiden. Buku ini akan diterbitkan segera setelah mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu resmi menjadi calon Golkar.

Calon pendamping juga telah dilirik. Menurut Burhanuddin, Kalla mempertimbangkan calon yang berlatar belakang tentara dengan etnis Jawa. Beberapa nama pun muncul, seperti mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Purnawirawan Endriartono Sutarto dan mantan Gubernur Jakarta Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso.

Burhanuddin kabarnya menyorongkan nama Sutiyoso. Keduanya telah beberapa kali bertemu, di antaranya di restoran Jepang di Hotel Crown, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, hadir juga mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Syarwan Hamid. Sutiyoso membenarkan informasi ini.

Jalur juga dibuka ke Sutarto. Menurut sumber Tempo, utusan Kalla telah dua kali menghubungi mantan Komisaris Utama Pertamina itu. Namun, menurut sumber itu, sang Jenderal belum memberikan jawaban tegas. Sutarto menolak berkomentar soal informasi ini.

Tentu saja ada yang berusaha memadamkan situasi. Alwi Hamu, misalnya. Menurut Ketua Institut Lembang Sembilan ini—lembaga yang didirikan pada 2004 untuk menyokong SBY-JK—Jusuf Kalla tidak pernah menyatakan mau jadi presiden. ”Yang JK katakan, ’Kalau Anda mengamanatkan, saya siap’,” ujarnya. ”Dia sadar sekarang menjadi wakil presiden, di mana-mana selalu menyampaikan salam dari Bapak Presiden.”

l l l

MELIHAT Jusuf Kalla lincah memainkan kartu, Partai Demokrat mulai meninggalkan sikap pasifnya. Selasa dan Kamis malam pekan lalu, Ketua Umum Hadi Oetomo melawat ke kantor Partai Amanat Nasional dan Partai Bulan Bintang. Ia ditemani Sekretaris Jenderal Marzuki Ali dan Ketua Anas Urbaningrum.

Hamdan Zoelva, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang, mengatakan lawatan tim Hadi Oetomo itu yang pertama kali dilakukan. ”Mereka selama ini jual mahal, enggak mau ke mana-mana,” ujarnya.

Partai Bulan Bintang merupakan pendukung awal Yudhoyono-Jusuf Kalla pada 2004, bersama Partai Demokrat serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Tapi para aktivis partai ini kecewa kepada Yudhoyono saat Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kursi Menteri-Sekretaris Negara pada 2007.

Menurut Hamdan, pertemuan Kamis malam hanya membuka komunikasi politik. Beberapa hal disepakati, di antaranya melanjutkan kerja sama hingga Oktober 2009 dan membuka kemungkinan bekerja sama kembali pada periode selanjutnya. ”Belum secara eksplisit, tapi mereka mengajak mendukung SBY lagi,” katanya.

Jika itu terjadi, Hamdan mengatakan partainya ingin dibuat kontrak yang lebih jelas. Tujuannya, partainya tak hanya sekadar menjadi tiket tambahan bagi Yudhoyono. Ia mengingatkan, ”kasus Yusril” tak boleh diulang.

Sejumlah skenario juga disiapkan jika Yudhoyono benar-benar berpisah dengan Jusuf Kalla. Beberapa sumber menyatakan Akbar Tandjung dipertimbangkan serius menjadi salah satu calon. Ia dianggap bisa memecah suara Golkar, seperti halnya Jusuf Kalla pada 2004. Hidayat Nur Wahid, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, juga dipertimbangkan. Tapi Hidayat kabarnya tak banyak didukung lingkaran dekat Yudhoyono.

Marzuki Ali mengatakan partainya belum membicarakan calon-calon wakil presiden. Pertemuan dengan partai-partai lain, menurut dia, baru membahas kemungkinan kerja sama. ”Pembagian kekuasaan, seperti presiden dan wakil presiden, baru akan dilakukan setelah pemilu legislatif,” katanya.

Toh, seperti di lingkaran Jusuf Kalla, beberapa orang masih ingin mempertahankan duet SBY-JK. Misi Widodo ke rumah Solihin di antaranya. Ditanyai apakah Yudhoyono memintanya membujuk Jusuf Kalla, Solihin tak menjawab. ”Semua belum pasti,” katanya. ”Termasuk soal pencalonan Jusuf Kalla.”

Budi Setyarso, Akbar T.K., Iqbal M., Budi Riza (Jakarta), Widiarsi Agustina (Bandung), Bernarda Rurit (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus