Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jika Badai Memisahkan

Jusuf Kalla melirik sejumlah calon wakil presiden. Sutiyoso dan Endriartono Sutarto masuk bursa.

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEMBAR kartu nama bergambar Sutiyoso menyembul dari saku baju Alwi Hamu. Orang dekat Wakil Presiden Jusuf Kalla ini memperlihatkan nama yang tertera: Syarwan Hamid. ”Ini yang tadi siang minta waktu bertemu Pak Jusuf Kalla,” kata Alwi, Kamis pekan lalu, di kantor Institut Lembang Sembilan, Kebayoran Lama, Jakarta. Lembaga ini didirikan untuk memenangkan pasangan Yudhoyono-Kalla lima tahun lalu.

Alwi mengatakan Syarwan datang sebagai anggota tim sukses Sutiyoso. Syarwan meminta Alwi mengagendakan pertemuan Jusuf Kalla dan Sutiyoso dalam pekan ini. Bekas Gubernur Jakarta itu telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden sejak satu setengah tahun lalu. Sutiyoso, kata sumber Tempo, ingin berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Kata Alwi, kalaupun dilakukan, pertemuan Jusuf Kalla-Sutiyoso adalah silaturahmi politik biasa menjelang pemilihan presiden. ”Semua serba saling menjajaki,” katanya. Kepada Tempo, Sutiyoso membenarkan akan bertemu dengan Jusuf Kalla dalam waktu dekat.

Niat Sutiyoso merapat kepada Jusuf Kalla mengemuka setelah Ketua Umum Golkar itu melempar sinyal ”bercerai” dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Dukungan untuk duet Kalla-Sutiyoso pun digulirkan di tubuh Golkar. Kamis malam pekan lalu, lima ketua Golkar provinsi melakukan pertemuan tertutup dengan Sutiyoso di kantor Sutiyoso Center, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta.

Sutiyoso mengatakan pertemuan itu dihadiri Gandung Pardiman (Ketua Golkar Yogyakarta), Bambang Sabdono (Jawa Tengah), Uu Rukmana (Jawa Barat), Alzier Dianis Tabrani (Lampung), dan Zulfadhli (Kalimantan Barat). ”Belum ada komitmen, masih saling menjajaki,” kata Sutiyoso. Bambang Sabdono mengaku telah beberapa kali berbicara dengan Sutiyoso. Katanya, ”Pendamping Kalla harus Jawa. Sutiyoso adalah orang paling tepat.”

Saat ini ada tiga kelompok yang bertarung di Golkar. Pertama, mereka yang menghendaki Jusuf Kalla maju sebagai calon presiden. Ketua Badan Pemenangan Pemilu Burhanuddin Napitupulu dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Zainal Bintang adalah aktivis faksi ini. Kelompok kedua merupakan pendukung Sultan Hamengku Buwono X. Faksi lain adalah mereka yang berusaha mempertahankan duet Yudhoyono-Kalla. Yang terakhir ini disokong kelompok Lembang Sembilan.

Pendamping Kalla, kata Burhanuddin, harus berlatar belakang tentara dan beretnis Jawa. Ini karena Kalla berlatar belakang bukan Jawa, sedangkan suara paling besar berada di Jawa. Selain itu, presiden butuh dukungan wakil presiden yang tegas dalam melaksanakan keputusan.

Burhanuddin, menurut sumber Tempo, telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Sutiyoso. Salah satu tempat favoritnya adalah restoran Jepang di Hotel Crown, Jakarta. Rapat itu juga dihadiri Syarwan Hamid.

Upaya menyandingkan Kalla dengan Sutiyoso, kata sumber ini, telah dilakukan Burhanuddin sejak setahun lalu. Dalam sebuah penerbangan dari Makassar ke Jakarta via Bali, Burhanuddin mengajak Sutiyoso ikut dalam pesawat rombongan Kalla. ”Agar Jusuf Kalla dan Sutiyoso bisa ngobrol-ngobrol,” kata sumber itu. Burhanuddin ketika dimintai konfirmasi tidak terang-terangan mengakui aksinya. Ia hanya menyatakan, ”Sedang menjajaki calon dari tentara dan Jawa.”

Dalam barisan Burhanuddin, ada juga politikus Golkar asal Sulawesi Selatan, Zainal Bintang. Ia punya kelompok ”JK for President”. Zainal mengatakan, selain memenuhi syarat Jawa dan militer, Sutiyoso memiliki pengalaman administrasi pemerintahan. Ia dua kali menjadi Gubernur Jakarta. Sutiyoso, kata Zainal, tidak punya sejarah kelam pada masa lalu. Ia juga punya hubungan baik dengan partai politik besar. ”Sutiyoso pernah didukung PDI Perjuangan sewaktu pencalonan Gubernur Jakarta,” katanya.

Menurut Zainal, nama Sutiyoso akan didorong melalui institusi resmi Golkar. ”Harus ada sosialisasi yang soft,” katanya. Sutiyoso membenarkan soal hubungannya dengan Golkar. Tapi ia mengaku juga menjalin komunikasi dengan kelompok masyarakat lain. ”Selama ini, sambutan mereka sangat positif,” kata Sutiyoso.

Selain bekas Gubernur Jakarta itu, nama yang muncul sebagai pendamping Kalla adalah mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Endriartono Sutarto. Sumber Tempo menyebutkan, dua pekan lalu, Kalla memanggil Sutarto untuk ditawari posisi calon wakil presiden. Kalla, kata sumber itu, sreg dengan Sutarto karena mendukung perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik Aceh. Padahal saat itu arus besar militer menolak.

Selain itu, saat duduk dalam kabinet pemerintahan Megawati, Kalla dan Sutarto punya pandangan yang sama soal naiknya harga solar. Kalla menduduki pos Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, sedangkan Sutarto menjabat Panglima Tentara Nasional Indonesia. Saat itu, pemerintah mematok harga solar lebih mahal dibanding premium. Kalla dan Sutarto menolak karena solar menyangkut hajat hidup masyarakat kalangan bawah. Megawati memberi Kalla mandat untuk mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak itu. ”Itulah yang membuat mereka klik,” kata sumber itu.

Namun Endriartono Sutarto belum memberikan jawaban atas tawaran Kalla. Ia berharap Kalla tetap bertahan bersama Yudhoyono. Kalaupun keduanya terpisah, lalu Yudhoyono mengambil wakil presiden yang berkualitas baik, Sutarto tak akan menerima tawaran Kalla. Namun, jika pendamping Susilo itu ”tak menjual”, Sutarto menimbang-nimbang kemungkinan menyetujui tawaran Kalla. Tapi itu pun, kata sumber tadi, masih menunggu kepastian Kalla secara resmi dicalonkan Golkar.

Alwi Hamu membenarkan adanya pertemuan Kalla-Sutarto. Tapi, katanya, ”Itu pertemuan underground.” Menurut Alwi, Jusuf Kalla tidak memanggil, tapi orang dekat Sutarto yang meminta bertemu. ”Ada tamu yang menghadap, tentu diterima,” kata Alwi. Sutarto tidak mau berkomentar. ”Saya memilih untuk tidak bicara, ” katanya.

Alternatif lain jika Kalla berpisah dengan Yudhoyono adalah berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertemuan Kalla-Megawati di Jalan Imam Bonjol 66, Jakarta, Kamis dua pekan lalu, dianggap bagian dari pematangan koalisi Golkar-PDI Perjuangan.

Komitmennya, jika suara PDI Perjuangan di atas Golkar, partai Moncong Putih maju dengan calon presiden dan Golkar wakil presiden. Sebaliknya, jika suara Golkar mengungguli PDI Perjuangan, posisi presiden diambil partai Beringin. Jika hal ini yang terjadi, besar kemungkinan PDI Perjuangan akan menyorongkan calon wakil presiden selain Megawati. Desas-desus menyebutkan PDI Perjuangan akan menawarkan nama Sekretaris Jenderal Pramono Anung.

Skenario ini, kata Alwi, memang masuk hitungan kubu Kalla. Tapi, kata dia, hanya badai yang bisa memisahkan Yudhoyono-Kalla. Menurut Alwi, belum ada talak tiga di antara dua tokoh ini. Keputusan Golkar memajukan Kalla sebagai calon presiden belum final. Jusuf Kalla pun, kata dia, tidak pernah menyatakan berkehendak menjadi calon presiden.

Kalla, kata dia, mengatakan siap jika partai memberikan amanat dan mendapat dukungan. Segala macam bentuk koalisi, kata Alwi, bergantung pada hasil pemilu. Kelompok Lembang Sembilan tetap menghendaki Yudhoyono-Kalla memerintah untuk periode kedua. ”Hanya politikus oportunis yang menginginkan pisah,” kata Alwi.

Sunudyantoro, Iqbal Muhtarom, Budi Riza, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus