Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>PENCEMARAN NAMA BAIK</font><br />Dikritik Kok Melapor ke Polisi

Dua aktivis Indonesia Corruption Watch menjadi tersangka pencemaran nama baik kejaksaan. Setelah delapan bulan kasus itu mengendap di kepolisian.

19 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEMBAR kertas tertempel di pintu pagar kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jalan Kalibata IV, Jakarta Selatan. Di situ tertulis, ”Maaf di Sini Bukan Kantor International Coroption Word”. Ya, inilah gaya ICW menanggapi surat panggilan polisi atas dua anggotanya, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Polisi memang tak hanya salah menyebut nama lembaga itu, juga ejaannya.

Polisi menetapkan Emerson dan Illian sebagai tersangka pencemaran nama baik. Ia dianggap melanggar Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang ancaman hukumannya empat tahun penjara. Jumat dua pekan lalu, panggilan untuk kedua aktivis itu—dengan penyebutan nama dan ejaan ICW yang keliru tersebut—sudah dilayangkan. Mereka diminta datang pada Kamis pekan lalu. Tapi Emerson dan Illian menolak hadir. Alasannya, ya itu tadi. Mereka bukan anggota International Coroption Word. ”Kami minta harus diperbaiki dulu,” ujar Illian.

Penetapan Emerson dan Illian ini menimbulkan reaksi aktivis gerakan antikorupsi. Rabu pekan lalu, sekitar 25 penggiat antikorupsi berkumpul di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Selain menyusun tim pembela, mereka membentuk Koalisi Masyarakat Oposisi Indonesia Tolak Kriminalisasi Gerakan Prodemokrasi, HAM, Lingkungan Hidup, dan Antikorupsi. Mereka bertekad melawan segala bentuk pembungkaman terhadap gerakan antikorupsi.

Kejaksaan melaporkan Emerson dan Illian ke polisi pada 7 Januari silam gara-gara tulisan di harian Rakyat Merdeka yang dianggap mencemarkan korps Adyaksa itu. Dalam tulisan berjudul ”Uang Perkara Korupsi Kok Malah Dikorupsi, Kenapa Duit 7 Triliun Belum Masuk Negara”, wartawan Rakyat Merdeka mengutip sejumlah pernyataan Emerson dan Illian yang menyoroti soal pengembalian uang pengganti kerugian ke negara. Tulisan itu sendiri, antara lain, diturunkan karena sebelumnya, berkaitan dengan Hari Antikorupsi 9 Desember, kejaksaan mengeluarkan pernyataan telah menyelamatkan uang negara Rp 8 triliun dan US$ 18 juta.

Ini yang dinilai tak benar. Sebab, berdasarkan data yang dihimpun ICW, antara lain dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan, rapat dengar pendapat kejaksaan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, serta laporan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat, besar uang pengembalian ke negara hanya Rp 382 miliar.

Illian mengaku penetapan tersangka atas dirinya ganjil. Bukan sekadar ia tak pernah diperiksa, tapi terjadi setelah kasusnya tak terdengar selama delapan bulan. ”Apa yang kami lakukan itu demi kepentingan publik agar kejaksaan transparan,” katanya. Ia menyatakan siap diperiksa polisi.

Anggota tim kuasa hukum dua tersangka ini, Taufik Basari, menduga ada agenda tertentu dalam penetapan kliennya. ”Ini bagian kriminalisasi aktivis,” ujarnya. Sebagai pejabat negara, kata Taufik, semestinya kejaksaan tak lantas menyerang saat mendapat kritik.

Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Didiek Darmanto membantah tudingan Taufik. ”Kepentingan kami hanya mencari keadilan,” ujar bekas Wakil Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ini. Menurut Didiek, dasar laporan terhadap Emerson dan Illian adalah pernyataan mereka di Rakyat Merdeka yang dinilai tendensius. ”Kami menerima kritik membangun, tapi kalau penyampaian kritik sudah melanggar aturan hukum pidana, kami minta keadilan,” ujarnya.

Salah satu unsur fitnah dan penistaan dalam berita itu, menurut Didiek, kalimat ”uang korupsi kok malah dikorupsi”. Karena merasa difitnah, kata dia, kejaksaan kemudian mengambil langkah hukum. ”Hasil kajian polisi bisa berkembang,” ujar Didiek. Polisi memang sudah memanggil sejumlah saksi untuk dimintai keterangan, termasuk jaksa Widoyoko selaku saksi pelapor.

Soal angka Rp 8 triliun yang dirilis Kejaksaan Agung, Didiek menyatakan data tersebut berasal dari rekapitulasi data oleh kejaksaan. Seperti apa data itu, menurut dia, akan dibuka lembaganya nanti di pengadilan. ”Jadi, kalau belum ada putusan, tidak perlu diperdebatkan,” kata Didiek.

Dari Markas Besar Kepolisian RI, juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna, mengakui kasus ini memang sudah mengendap delapan bulan. Belakangan kemudian ada yang mengingatkan. ”Sehingga mulai lagi disidik.” Nanan menolak memberi keterangan lebih lanjut siapa yang mengingatkan itu.

Ramidi, Cornila Desyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus