Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA gadis kecil tiba-tiba muncul dari balik belokan jalan setapak. Mereka kakak beradik, Yui Sakening Oinan, 12 tahun, dan Luyung Sakening Oinan, 10 tahun. Luyung membawa dua keranjang rotan mungil dan buku, sementara Yui menggendong Turugokgok, adik perempuan mereka yang masih berusia dua tahun.
Keduanya bergegas menaiki tangga uma dan menggabungkan diri dengan belasan temannya yang sedang belajar di sekolah hutan. Wajah mereka berkeringat karena baru saja berjalan kaki setengah jam dari rumah ke uma Sangong.
”Kami melewati tiga anak sungai. Kalau sungai sedang banjir, Bapak akan mengantar kami naik perahu pompong,” kata Luyung.
Sepertinya klise, tapi mendengar alasannya bersusah payah untuk bersekolah tetap saja mengharukan: ”Supaya kami pandai, bisa menulis nama, bisa membaca surat.” Surat di Siberut artinya luas. Buku, majalah, dan koran juga dinamakan surat. Luyung dan Yui kini sudah mulai bisa menuliskan namanya dan membaca beberapa kata.
Tekad anak-anak tepian Sungai Silaoinan untuk bersekolah sekeras nyanyian mereka pada awal jam pelajaran. Lagu Bermain Layang-layang dan Naik-naik ke Puncak Gunung dinyanyikan dengan penuh semangat, meski mereka tak tahu artinya. Lagu-lagu lama Mentawai juga ikut dinyanyikan.
Karena mereka belum bisa berbahasa Indonesia, Suwendy Salaisek, 24 tahun, satu-satunya guru di sekolah hutan itu, mengajari murid-muridnya dalam bahasa Mentawai. Papan tulis hitam menjadi pusat belajar, dan belasan anak-anak mulai usia 8 hingga 12 tahun duduk di lantai mengikuti pelajaran dengan tekun. Belajar berhitung dan membaca menjadi mata pelajaran utama, selain ilmu alam dan membuat kerajinan Mentawai—yang terakhir ini amat disukai anak-anak.
”Sebenarnya susah mengajari mereka membaca dan berhitung. Tetapi, melihat semangat mereka yang begitu besar, saya jadi ikut bersemangat mengajar. Apalagi anak-anak ini masih kerabat saya,” kata Suwendy, yang berasal dari Dusun Salappak.
Ia sendiri tamatan sekolah menengah atas di Muara Siberut. Lembaga swadaya masyarakat Yayasan Citra Mandiri merekrutnya sejak sekolah hutan itu didirikan enam bulan lalu. Sebelumnya, yayasan yang disokong dana oleh Norway Rainforest Fund ini juga mendirikan sekolah hutan di Dusun Salapak, yang kini pengelolaannya sudah diserahkan ke Sekolah Katolik Filial Santa Maria.
Bukan hanya anak-anak yang bersemangat. Pada setiap kegiatan di sekolah hutan yang berlangsung dari pukul 9 pagi hingga pukul 1 siang itu, hampir setiap sesi pelajaran, para orang tua juga ikut duduk di kursi beranda uma, dekat anak mereka belajar. Para orang tua yang umumnya pernah mengecap bangku sekolah itu bahkan ikut mengerjakan latihan anak-anaknya. ”Ini susahnya. Kemarin saat anak-anak sedang ujian, orang tua ikut membantu mengerjakan soal. Jadi, percuma saja diberi soal ujian,” kata Suwendy.
Tarida Hernawati, penanggung jawab sekolah hutan itu, memperkirakan lebih dari 500 anak yang tinggal di perkampungan tradisional di sepanjang Sungai Silaoinan tidak sekolah karena tidak ada gedung sekolah yang dekat dengan perkampungan mereka. ”Orang tua mereka bahkan lebih beruntung karena pernah mengecap sekolah ketika mereka tinggal di perkampungan Saliguma, yang dibentuk pemerintah. Namun, saat memutuskan pindah ke peladangan, konsekuensi yang ditanggung juga besar, anak-anak tidak bisa sekolah,” katanya.
Rasa bersalah karena anaknya tidak sekolah umumnya menggayuti pikiran orang tua di uma Sangong. ”Saya dulu pernah sekolah sampai kelas satu di Saliguma, suami saya sampai kelas lima. Kini saya merasa bersalah karena delapan anak saya tidak ada yang sekolah,” kata Bai Sagai Lolo.
Ia dan suaminya pernah mengusahakan anak pertama mereka, Sagai Lolo, sekolah di Dusun Saliguma, dititipkan kepada kerabat. ”Tetapi, karena masih kecil, saat kami kembali ke Sangong, ia menangis dan minta ikut, lalu mengatakan apa pun yang terjadi, mau makan mau tidak, mau sekolah atau tidak, tetap ingin bersama kami,” katanya.
Ia amat berharap pemerintah mendirikan sekolah dasar untuk anak-anaknya. ”Sekarang anak-anak sudah bisa bersekolah di sekolah hutan ini. Kalau mereka sudah agak besar mungkin tidak terlalu sulit melanjutkan sekolah SD-nya di Saliguma,” katanya berharap.
Ketika sore tiba, dengan perahu pompong, saya mengikuti Tarida dan Suwendy ke beberapa perkampungan yang letaknya jauh ke hulu. Mereka sedang mendata anak-anak dan melihat lokasi sekolah hutan lainnya yang akan segera dibuka di Tinambu, sekitar satu jam perjalanan dari Sangong. Di Tinambu ada 15 kepala keluarga dan punya padang rumput yang luas. ”Tempatnya strategis, karena anak-anak dari kampung-kampung di dekat Tinambu juga bisa bergabung,” kata Tarida.
Dalam perjalanan pulang ke uma Sangong, Suwendy berkali-kali singgah ke uma di sekitar Sangong, memberi tahu siswanya bahwa besok sudah mulai bersekolah, karena dia sudah datang. Sebelumnya, sudah seminggu Suwendy meliburkan siswanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo