Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Wali Penjaga Kebebasan Pers

Biografi wartawan Atmakusumah Astraatmadja. Serba sepintas.

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJAGA KEBEBASAN PERS, 70 TAHUN ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA
Penulis: Lukas Luwarso, Imran Hasibuan, Samsuri, Aa Sudirman
Penerbit: Lembaga Pers Dr Soetomo, 2009 Tebal: viii + 220 halaman

INI buku tentang Atmakusumah Astraatmadja, wartawan Indonesia Raya pada 1960-an. Tapi hidup orang Banten ini hanya sedikit disinggung. Sebagian besar halaman bercerita tentang pikiran dan upayanya menegakkan kehidupan pers yang bebas. Ia pelopor Undang-Undang Pers Tahun 1999, Ketua Dewan Pers 2000-2003, aktivis yang getol menyerukan agar wartawan tak dipenjara karena salah menulis.

Pekerjaan wartawan adalah pekerjaan kolektif. Menurut Atma, jika seseorang merasa dirugikan oleh sebuah berita, tiga hal bisa ditempuh: menggunakan hak jawab, menempuh mediasi lewat Dewan Pers, dan—upaya terakhir yang tak ia sarankan—menggugat ke pengadilan dengan memakai Undang-Undang Pers. Karena itu hukuman bagi media yang memang punya niat buruk memfitnah, tak berimbang, kacau akurasi, adalah dengan mendendanya.

Memenjarakan wartawan adalah ciri negara otoriter. Atma menunjukkan di negara-negara demokratis pemidanaan wartawan sudah dihapus. Amerika Serikat memulainya pada 1768—ketika anggota Kongres masih banyak yang buta huruf. Karena itu, Atma menyebut siapa saja yang menilai pers kebablasan di zaman ini adalah sikap ”mentalitas penjara”: seorang yang baru keluar dari bui (otoritarianisme) justru takut pada kebebasan. Sayangnya, para penakut itu datang dari kelompok elite, mereka yang tak buta huruf.

Atma berpikir sebaliknya: pers harus ”kebablasan” karena berperan mengungkap kejahatan. Jika kini pers mengumbar pornografi, ceroboh membuat berita, keliru mengungkap fakta, bukan kebebasan yang disalahkan, tapi pekerja media itu yang ngawur. Ini menyangkut soal prosedur dan kode etik, yang bisa diuji. Di wilayah itulah media diadili. Tapi, jika wartawan menerima suap, membunuh, menipu, memeras, dan hal-hal lain di luar jurnalistik, ia harus diseret secara pidana.

Kebebasan pers tak bisa ditawar jika Indonesia ingin menjadi negara demokratis, maju, dan modern. Atma tak lelah menyerukan dan merawat soal ini sepanjang 50 tahun kariernya di dunia pers.

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum