Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>BIEN SUBIANTORO:</B></font><br /><font face=arial size=3><B>Keputusan Saya Independen</B></font>

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Jabar dan Banten diterpa isu tak sedap tentang pembelian gedung 27 lantai dari PT Comradindo Lintasnusa Perkasa senilai hampir setengah triliun rupiah. Banyak kejanggalan dalam transaksi properti di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93, Jakarta, ini. Comradindo merupakan perusahaan teknologi informasi dan telekomunikasi. Kajian bahkan dilakukan setelah uang muka dibayar.

Keanehan itu memantik demonstrasi. Di Bandung, para pendemo menuduh pembelian itu akal-akalan manajemen Bank Jabar dan Banten untuk membiayai kegiatan politik Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat dan calon inkumben menjelang pemilihan gubernur, 24 Februari lalu. Sebagai gubernur, Ahmad Heryawan adalah kuasa pemegang saham mayoritas bank milik pemerintah daerah tersebut. Direktur Utama BJB Bien Subiantoro menyangkal tudingan ini. Memberi penjelasan, Jumat dua pekan lalu ia berkunjung ke redaksi Tempo.

Bagaimana kronologi pembelian gedung BJB di Jakarta?

Itu rencana bisnis 2006 yang sudah disetujui Bank Indonesia. Pertimbangannya, kantor di Gedung Arthaloka sudah padat. Sementara itu, ada 120 kantor cabang dan 200 gerai BJB. Kami merasa perlu gedung untuk mengatur itu semua. Pada 2012, nilainya Rp 550 miliar karena harga properti naik terus. Kami ingin memiliki gedung di Jalan Sudirman atau Gatot Subroto. Lalu ada nasabah kami, PT Comradindo Lintasnusa Perkasa, menawarkan tempat di Gatot Subroto.

Di situ, apa status PT Comradindo?

Pemilik. Mereka akan membangun gedung strata title. Kami akan membeli 14 lantai di antaranya. Di rencana bisnis tak dijelaskan apakah membangun sendiri atau membeli. Kami putuskan membeli dengan syarat harga murah. Comradindo bersedia mengubah nama dari T-Tower menjadi BJB Tower. Arsiteknya juga kami tentukan. BJB ingin gedung memakai gaya art deco.

Mengapa menerima tawaran Comradindo?

Karena lokasinya di pinggir jalan. Sebelumnya, ada yang menawarkan di ­Kuningan, lalu Kebon Kacang. Tapi semua kurang strategis.

Comradindo ini perusahaan teknologi informasi….

Kalau pemilik boleh. Yang membangun kan kontraktor. Saya sudah menugasi Divisi Umum, kontraktor tak jadi masalah. Konsultannya dari Singapura.

Soal tanah bagaimana?

Saya lihat dokumennya, Comradindo menunjukkan sertifikat. Saya yakin itu asli. (Dimintai konfirmasi ulang, Jumat pekan lalu, Bien mengatakan sertifikat tanah milik PT Sadini Arianda.)

Uang muka dibayar 19 November 2012, tapi kenapa 40 persen?

Itu tugas Divisi Umum. Saya percaya mereka. Saya hanya memberi payung keputusan.

Bukankah ada aturan internal uang muka maksimal 30 persen?

Saya tak tahu ada aturan itu. Kalau menyimpang, akan saya audit. Dalam pembelian properti, biasa uang muka dibayar dulu, sementara gedungnya belum jadi. Ini sudah saya minta dipercepat supaya segera dibangun dan selesai sebelum 2014.

Masalahnya, uang muka dibayar sebelum kajian bisnis….

Kajian bisnis sudah ada melalui dua kali rapat direksi pada Oktober dan November. Sebelum ada rapat, Divisi Umum tak berani membayar uang muka.

Comradindo ini milik anak Titus Soemadi. Anda kenal?

Tidak. Pak Titus debitor Bank Jabar, tapi nilainya tak sampai ke saya karena hanya Rp 80 miliar. Direktur Utama memutuskan kredit minimal Rp 250 miliar.

Betulkah dia kawan dekat Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan terlihat di acara-acara Partai Keadilan Sejahtera?

Saya tidak pernah diundang atau hadir di acara PKS, jadi tidak pernah bertemu dengan Pak Titus.

Comradindo berhubungan dengan PT Brocade Insurance Broker, perusahaan milik Sutiana, orang dekat Gubernur Jawa Barat….

Saya tak tahu. Asuransi ada di bawah Direktur Konsumer. Jaminan pembelian gedung adalah tanah. Sebab, bank ternyata tak bisa menggaransi.

Anda kenal Sutiana?

Kenal, tapi saya tak tahu beliau orangnya Pak Gubernur.

Kepada Anda, Sutiana mengenalkan diri sebagai apa?

Hmmm… hmmm… apa ya? Kalau tak salah, sebagai teman dari komisaris.

Pernah ketemu Sutiana?

Pernah. Beliau menghubungi saya. Kami bertemu tiga kali di Jakarta, tapi tak di kantor, selalu di tempat terbuka. Saya batasi obrolan ke hal-hal umum. Misalnya, beliau berbicara soal agama karena pemahaman agamanya lebih baik. Kalau menyangkut pekerjaan, saya belokkan lagi.

Pernah omong soal proyek?

Pernah sekali berbicara soal kredit. Saya bilang, kalau di bawah Rp 250 miliar, bukan wewenang saya. Kalau di atasnya, akan saya lihat kelayakannya. Saya jamin tak pernah ada kredit yang diajukan ataupun saya setujui untuk beliau.

Anda pernah bertemu dengan dia sebelum fit and proper test di Bank Indonesia?

Setelah rapat umum pemegang saham. Setelah saya dinyatakan lulus dalam fit and proper test di Bank Indonesia.

Apakah ada intervensi dari dia?

Jangankan dia, intervensi Gubernur pun saya tidak mau. Keputusan saya independen. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus