Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

<font face=arial size=1 color=#FF0000>TIM HANNIGAN:</font><br />Serangan ke Keraton Belum Pernah Terjadi Sebelumnya

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya Tim Hannigan berencana menulis tentang Indonesia, bukan Raffles. Setelah menerbitkan Murder in the Hindu Kush, yang mengangkat kisah George Hayward, penjelajah Inggris yang mengelilingi Asia Tengah pada abad ke-19, dia menemukan sosok lain Raffles yang berbeda dengan yang selama ini digambarkan para biografer. "Hal-hal buruk yang dilakukan Raffles jarang diketahui," kata lulusan jurnalisme dari University of Gloucestershire, Inggris, itu.

Setelah lama bermukim di Surabaya, kini pria kelahiran Cornwall, Inggris, itu menetap di London. Tapi, pada 2014, ia berencana kembali ke Indonesia. Melalui surat elektronik, Hannigan mengisahkan asal-usul kelahiran bukunya, Raffles and the British Invasion of Java, kepada Kurniawan dari Tempo.

Kapan Anda mendapat gagasan untuk menulis tentang Raffles?

Pada mulanya saya tidak berencana menulis tentang Raffles. Saya tahu, selama lima tahun, 1811-1816, Inggris menjadi kuasa kolonial di Jawa. Saya mulai menggali lebih banyak informasi dan berharap Interregnum Inggris (periode kekuasaan sementara Inggris di Hindia Timur, 1806-1816) di Jawa mungkin punya subyek yang menarik untuk dijadikan sebuah buku. Saya tahu bahwa Raffles pernah menjadi Letnan Gubernur Jawa. Ketika memulai riset di arsip British Library, barulah saya menyadari bahwa sebagian kisah hidupnya mengejutkan.

Sudah banyak buku tentang Raffles terbit sebelumnya....

Ya, sudah ada lebih dari 12 biografi tentang Raffles. Yang pertama terbit pada 1830 dan yang terbaru karya Victoria Glendinning, yang terbit tahun lalu. Citra populer tentang dia yang diciptakan biografi-biografi itu adalah "orang baik di Asia". Tapi, ketika melihat manuskrip-manuskrip asli, saya mulai mendapat kesan berbeda. Saya menemukan, di Jawa, Raffles punya gagasan dan perilaku negatif. Saya juga menemukan banyak tindakannya yang tak pantas dihormati di zaman kemerdekaan pascakolonial sekarang. Semua buku sebelumnya berusaha menggambarkan Raffles sebagai orang baik dan terhormat—seorang pahlawan dan tokoh sejarah yang memiliki pencapaian seperti "pendirian Singapura" dan perintis studi sejarah Jawa. Tapi hal-hal buruk yang Raffles pikirkan dan lakukan telah dihapus untuk memelihara citra positifnya.

Siapakah Raffles menurut Anda?

Saya melihat Raffles adalah personifikasi dari perilaku imperialis baru pada masa perang Napoleon. Ia seorang yang paternalistik. Raffles adalah orang yang kontradiktif—kadang kala menarik, kadang jelek, dan sering kali tragis. Dua aspek kunci dari karakter Raffles adalah egoisme dan kegelisahan. Semua itu mungkin diturunkan dari kelasnya. Dia berasal dari kelas menengah, tapi tak punya leluhur hebat. Banyak pejabat dan administrator di sekitarnya punya latar kebangsawanan. Raffles, dibanding mereka, agak sedikit ndeso. Para priayi ini tentu memandang rendah Raffles.

Bagaimana soal penjarahan Raffles di Yogyakarta?

Itu peristiwa paling penting dari seluruh Interregnum Inggris dan mungkin sekali peristiwa paling penting dalam hubungan antara Eropa dan Jawa pada abad ke-19. Meskipun sering ada konflik antara bangsawan Jawa dan Belanda dua abad sebelumnya, belum pernah ada serangan langsung ke Keraton oleh tentara kolonial. Itu belum pernah terjadi sebelumnya dan itu merupakan kejutan yang mengerikan bagi bangsawan Jawa.
Pada abad ke-18, baik Belanda maupun Inggris sering berkompromi dengan negara-negara Asia. Mereka menandatangani perjanjian dan bersedia mentoleransi kedaulatan Asia, bahkan bekerja di bawah raja-raja lokal dan sultan. Tapi semua itu berubah pada abad ke-19—gagasan tentang imperium berkembang dan kedaulatan masyarakat adat asli tidak lagi ditoleransi. Itu sikap yang Raffles bawa ke Jawa. Ia memerintahkan serangan terhadap Yogyakarta, yang dalam kata-katanya sendiri "untuk menekankan kepada mereka (orang Jawa) kekuatan pemerintah kita". Dia ingin menunjukkan bahwa Eropa adalah satu-satunya majikan. Itu adalah sikap baru, sikap abad ke-19, dan itu adalah pusat gagasan Raffles.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus