Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mikrofilm pun Rusak

Sultan Hamengku Buwono X pernah mendapatkan mikrofilm dari naskah kuno yang dirampas Raffles. Tapi mikrofilm itu kini rusak dan datanya hilang. Apakah memang naskah-naskah tersebut lebih baik disimpan di Inggris saja?

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Reruntuhan ini adalah sisa-sisa Bastion Benteng Kraton Ngayogyakarta, hancur diserang tentara Inggris tahun 1812, pada masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II." Tulisan di atas batu marmer kuning keco­kelatan itu tertempel di dinding setebal satu setengah meter di timur laut Keraton Yogyakarta. Persisnya di simpang tiga Gondomanan, yang menghubungkan Alun-alun Utara dan Jalan Brigjen Katamso. Prasasti itu dikelilingi pagar besi dan dihiasi dua lampu taman.

Dulu di situlah letak salah satu pojok Benteng Baluwerti. Tiga pojok benteng lain masih tegak dan dikenal dengan sebutan Pojok Benteng Wetan, Pojok Benteng Kulon, dan Pojok Benteng Ngabean. Sudut benteng yang jebol diserbu pasukan Sepoi itu tak dipugar. Namun bekas reruntuhannya sudah tak tampak, tertutup bangunan rapat rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Prasasti itu seakan-akan jadi hiasan dari sebuah gang menuju Kampung Kenekan.

"Itu bekas serangan mortir Inggris," kata Sultan Hamengku Buwono X. Benteng yang rusak itu sengaja tidak diperbaiki. "Suwargi (Almarhum, merujuk pada Hamengku Buwono IX) mengatakan tidak boleh dibuat benteng seperti tiga pojok (benteng yang lain), tapi supaya dibuat tetenger (prasasti) saja."

Prasasti itu akan terus mengingatkan ­masyarakat bahwa Thomas Stamford Raffles, yang berkuasa hanya lima tahun di Jawa, telah meninggalkan jejak hitamnya di Kota Gudeg. Dia tak cuma menjebol tembok Keraton, tapi juga merampas isinya, termasuk bergerobak-gerobak naskah kuno dari perpustakaan Keraton. Sultan Hamengku Buwono X berharap naskah-naskah itu dikembalikan ke Keraton, paling tidak mikrofilmnya.

Tak semua naskah itu dirampas Raffles. Siti Chamamah Soeratno, filolog Universitas Gadjah Mada, mengatakan masih menjumpai sejumlah manuskrip bertiti mangsa sebelum 1811 di perpustakaan Keraton. "Sepertinya Raffles dulu asal rampok saja, tak memilah-milah. Dia tak bisa baca manuskrip bahasa Jawa, jadi mungkin dia mengambil semua naskah yang bisa ditemuinya. Bisa jadi dia memilih yang tebal-tebal," ujarnya.

Menurut Oman Fathurrahman, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, pada 1988-1989 sudah ada usaha mengidentifikasi naskah Yogyakarta yang disimpan di Inggris dan mengembalikan duplikatnya ke Keraton. Proyek ini diprakarsai sejarawan Inggris, Pater Carey, pada 1988-1989 dengan dukungan Kedutaan Inggris di Indonesia dan Kedutaan Indonesia di Inggris serta biaya dari British Council di Indonesia. "Saat itu, 83 naskah Yogyakarta yang tersimpan di British Library, Royal Asiatic Society, dan John Rylands University Library didigitalisasi menjadi 60 rol mikrofilm," katanya.

Semua mikrofilm ini dikemas bersama suatu album reproduksi ilustrasi dan iluminasi dari naskah-naskah tersebut dan dihadiahkan kepada Sultan Hamengku Buwono X pada 26 Agustus 1989. "Tapi mikrofilm ini kemudian rusak dan hilang datanya," ucap Oman.

Sultan juga sempat membentuk tim ahli untuk meneliti keberadaan naskah Yogyakarta di luar negeri. Siti Chamamah Soeratno ditunjuk sebagai penanggung jawab tim ini. Pada awal 2000-an, dia sempat mengun­jungi British Library dan menengok naskah-naskah Yogyakarta di sana. Tapi Siti belum tahu pasti apa saja naskah Keraton di tempat tersebut. "Itu butuh riset besar-besaran," katanya.

Keraton, ujar Siti, juga pernah mencoba meminta mikrofilm dari naskah itu dan British Council bersedia membantu pada awal 2000-an. "Digitalisasi mereka yang lakukan. Bahkan mereka juga siap mengadakan pelatihan bagi abdi dalem untuk perawatan mikrofilm itu agar tak mudah rusak," ucapnya.

Sultan lalu menugasi Siti menyusun semacam proposal ke British Council. Siti membuatnya dan menyerahkannya ke Keraton. Tapi, setelah sekian lama, kabar kelanjutannya tak terdengar. Belakangan dia baru tahu bahwa proposal itu hilang. "Saya menyesal sekali, kok rencana ini tidak terealisasi," katanya. "Saya tak tahu apa bisa diulangi lagi pengajuannya."

Siti pada prinsipnya mendukung upaya pengembalian naskah itu. Tapi, menurut pertimbangannya, lebih baik naskah tersebut disimpan di Inggris saja. "Keselamatannya lebih terjamin. Saya tak bisa jamin naskah tebal karya Sultan Hamengku Buwono II bisa tetap bertahan atau tidak jika masih di sini," ucap anggota Dewan Penasihat Masyarakat Pernaskahan Nusantara itu.

Kurniawan, L.N. Idayanie, Sunudyantoro, Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus