Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK satu pun naskah kuno dan harta Keraton Yogyakarta yang dulu dijarah Thomas Stamford Raffles kembali ke Kota Gudeg. Keraton hanya pernah mendapat 60 mikrofilm naskah kuno dari Inggris lewat bantuan British Council. Dari koleksi di Belanda, Keraton hanya mendapatkan empat lembar fotokopinya. Sultan Hamengku Buwono X menguraikan soal nasib naskah yang terkatung-katung itu kepada Sunudyantoro, Pito Agustin Rudiana, dan L.N. Idayanie dari Tempo di rumahnya di Gedong Kilen atau Keraton Kilen, Yogyakarta, 13 Februari lalu.
Di mana saja harta rampasan Raffles dari Keraton di zaman Hamengku Buwono II?
Sebagian di British Library dan yayasan Raffles. Untuk melihat harus bayar. Sampai sekarang belum bisa (diminta kembali).
Pernah bertemu dengan pihak Inggris?
Hanya lewat British Council. Waktu itu kami dibantu British Council untuk mendapatkan 60 naskah lebih dalam bentuk mikrofilm dan sudah disimpan di perpustakaan museum 13-15 tahun lalu.
Berapa banyak naskah itu?
Kalau menurut babad itu (Babad Spehi), (naskah tersebut diangkut) lima gerobak. Dan (ditambah) kuli-kuli panggul. Itu berapa? Kami tidak tahu jumlahnya berapa. Yang terdata apa saja, kami juga belum tahu. Kami hanya mendapatkan beberapa naskah wayang dan masalah kebijakan penganggaran. Itu saja yang utama.
Masih di Inggris atau sebagian di India?
Ada yang sebagian tenggelam di dekat Singapura. Tapi saya tidak tahu seberapa jauh itu. Ya, semestinya ada laporan soal itu di Inggris. Kami kan tidak tahu.
Sultan pernah ke sana?
Tidak. Sewaktu zaman Bu Mega (zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri), saya pernah mendekati konsul pendidikan kita di London, bisa enggak pemerintah Indonesia membuat memorandum of understanding (MOU) soal itu. Bisa enggak rampasan Raffles diajukan sebagai salah satu isi dari MOU. Kalau memang tidak bisa diminta kembali, paling sedikit kami bisa mendapatkan kopi atau mikrofilmnya. Tapi saya tidak tahu (perkembangannya). Tidak ada berita apa pun.
Kalau yang di Belanda, saya tidak tahu naskah apa yang ada di sana. Yang saya tahu, setelah 30 tahun, dokumen itu bisa dibuka. Kami minta naskah-naskah yang berkaitan dengan HB IX dikembalikan untuk mengisi perpustakaan museum. Tapi kami baru mendapat empat lembar. (Itu pun) karena kebetulan ada orang yang baca di sana, terus difotokopi.
Ada upaya hukum?
Ke mana? Kalau itu terjadi, apa yang diangkut Inggris habis? India juga akan minta Koh-i-Noor (permata terkenal India yang dirampas British East India Company dan kini jadi koleksi perhiasan Kerajaan Inggris). Makanya naskah-naskah dan barang rampasan perang sejak PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dibentuk sampai sekarang tak pernah selesai di PBB karena mereka yang berkepentingan tidak mau tanda tangan. Satu-satunya cara, ya, minta fotokopinya. Tapi, ya, tidak gampang.
Soal harta rampasan berupa uang yang kabarnya disimpan di bank Belanda?
Kalau soal itu, saya tidak tahu. Zaman Suwargi (Almarhum, merujuk pada HB IX) pun tidak mengerti. Semua mesti di bank Belanda, tokh. De Javasche Bank itu. Saya tidak tahu persis. De Javasche Bank kan bank pemerintah Belanda. Uang yang disimpan di situ adalah milik pemerintah kesultanan. Saya tidak tahu apakah yang disimpan itu untuk perjuangan Republik. Suwargi mengatakan, "Kamu jangan menanyakan uang yang ada di De Javasche Bank. Sudah tidak ada. Karena semua untuk perjuangan." Kalau untuk perjuangan memang ikhlas, ya, tidak apa-apa. Tidak minta ganti, kok (Sultan tertawa).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo