Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA ada yang bertanya seperti apa desain ruangan khas Jepang, kita dapat menjawab: minimalisme Zen. Yang khas Eropa? Ada aristocratic grandeur yang berakar pada istana-istana kerajaan di masa lalu. Dari konsep-konsep itulah muncul bentuk gedung, desain interior, bahkan taman-taman khas. Tapi, "Bagaimana desain ruang khas Indonesia?" Alvin Tjitrowirjo bertanya kepada Tempo, pada suatu sore pekan lalu, di studionya di Kemang, Jakarta Selatan.
Jawabannya bisa banyak, bisa juga tak ada sama sekali. Banyak karena ada bermacam budaya daerah dan rumah adat di Indonesia. Semuanya berbakat menjadi embrio bagi arsitektur atau desain khas Indonesia. Opsi jawaban bisa melorot ke nihil manakala pertanyaan diteruskan demikian: dari semua embrio itu, konsep mana yang siap diterapkan dalam arsitektur modern?
Alvin menyodorkan buku bersampul putih dengan judul Vol 1. Di pojok kanan atas ada tertulis: "AlvinT"—studio desain miliknya. Buku ini berisi ikhtiar pria ini dalam mencari desain ruang khas Indonesia—setidaknya untuk tahun 2013. Di dalamnya kita akan mendapatkan furnitur, lampu, wallpaper, motif ubin, karpet, dan tata ruang yang berakar dari khazanah budaya Indonesia. "Bukan konsep final, tapi justru awal pencarian," katanya.
Sebagian karya dalam katalog itu mengitari kami—bahkan ada yang kami duduki—namanya Inge: kursi dari rotan sintetis berbentuk seperti anak kunci. Ada pula yang di atasnya kami taruh piring pastel dan cangkir teh manis (Round Table Bench). Yang agak jauh—pelapis dinding bermotif batik—hanya kami pandangi.
Pada masa remaja, Alvin ingin menjadi desainer mobil. Dia lahir pada 1983 dari seorang ayah yang bekerja di perusahaan mobil. Krisis ekonomi pada akhir 1990-an membatalkan keinginan dia kuliah desain otomotif di Amerika Serikat. Ia harus memilih tempat yang lebih dekat, Australia, yang sayangnya tak punya sekolah rancang mobil yang istimewa.
Alvin mengambil kuliah industrial design di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT). Jurusannya desain furnitur, kelar pada 2005. Ia lalu mengambil master di bidang product design di Istituto Europeo di Design, Madrid, pada 2009. Selepas sekolah, Alvin magang di studio Marcel Wander—salah satu desainer terkenal dunia—di Amsterdam. Pada 2010 dan 2011, produknya dipamerkan di Harrods, London.
Setelah itu, ia kembali ke Tanah Air dengan kepala penuh ide. Dia tidak merancang mebel minimalis yang sedang digandrungi di Indonesia atau bergaya aristokrat yang wajib ada di rumah-rumah mewah Jakarta. Alvin mencari jalannya sendiri dengan mengambil inspirasi dari benda-benda sekitar. Dari keranjang bambu hingga batik, dia terjemahkan ke dalam bentuk aksesori ruangan. Baru tahun ini Alvin membuat koleksi lengkap yang didasari satu konsep utuh seperti dalam katalog Vol 1—kendati dia sudah memulainya bertahun-tahun lalu.
Untuk koleksi pertama ini, Alvin banyak terinspirasi oleh tekstil Nusantara, terutama batik. Motif batik dapat kita jumpai pada pelapis dinding, ubin, meja, dan karpet. Tapi jangan bayangkan ada taplak dari Pasar Klewer di atas meja kopi atau wallpaper bermotif batik Cirebonan penuh warna cerah dan gambar burung merak. Keunggulan Alvin justru karena ia bisa membuat hal-hal tradisional itu terlihat modern. "Semangatnya adalah menerjemahkan kembali budaya Indonesia ke produk yang lebih masa kini," kata Alvin.
Kita mulai dari wallpaper, ubin, dan karpet. Untuk ketiganya, Alvin bermain-main dengan motif batik yang dimodifikasi. Dia mengambil bentuk dasar motif batik, lalu mengaplikasikannya dengan garis dan warna modern. Yang paling mudah dimainkan adalah motif geometrik seperti bethek, kawung, krincing, kupu, godhong, dan pethetan. Motif ini ketika ditampilkan berulang-ulang akan memunculkan bentuk-bentuk lain yang berbeda.
Pemberian warna dan ketebalan garis berlainan juga memunculkan citra yang tak sama. Misalnya, ketika Alvin memberi warna yang memunculkan efek tiga dimensi pada motif arga peteng, orang mungkin akan teringat pada desain gerai Louis Vuitton. "Empat puluh lima persen dari motif itu dengan mudah terlihat sebagai batik. Tapi sisanya akan sulit diidentifikasi," kata Alvin.
Untuk rak putih dari pelat baja, Alvin tak mencetak motif-motif itu di atasnya, tapi memakai ketajaman laser untuk membuat lubang-lubang kecil berbentuk kawung. Dari kawung juga Alvin membuat stool atau tempat duduk tanpa motif sama sekali. Putih bersih. Kawung tak muncul sebagai motif, tapi sebagai bentuk anatominya. Dua stool itu kalau disatukan dan dilihat dari atas akan berbentuk kawung.
Menghadirkan Indonesia ke dalam ruangan tak selalu lewat bentuk. "Segala yang kami desain di sini harus memiliki identitas Indonesia. Baik materi, proses pembuatan, bentuk, maupun konsepnya," ujar Alvin.
Ia menunjuk meja bulat berwarna putih di depannya. Meja itu terbuat dari rotan sintetis—karena untuk ruang terbuka—dan bentuknya amat modern. Tapi Alvin menganggap di sana ada identitas Indonesia, karena dibuat dengan anyaman bergaya kembang tanjung. "Bentuk furniturnya bisa berubah, tapi proses anyaman itu nilainya abadi," katanya.
Saat melihat perempuan Indonesia suka duduk seraya melipat kaki di atas kursi, Alvin menciptakan Snug. Kursi itu berbentuk seperti tangkupan tangan dan memberi kebebasan kepada penggunanya untuk duduk dengan cara apa pun. Snug pernah menjadi satu dari Top 5 Favorite Design di Australia.
Identitas, ujar Alvin, juga datang dari material yang digunakan. Tahun ini rotan adalah pilihannya. Di mata dia, bahan ini lebih mewakili Indonesia. Untuk menjaga kualitas, ia memakai rotan manau (Calamus manan), yang dianggap terbaik.
"Saya mengangkat material rotan untuk koleksi tahun ini karena prihatin pada citÂranya yang dianggap sebagai material murah meriah, gampang rusak," ucap Alvin. Pada 1980-an rotan amat populer, diekspor ke mana-mana. Tapi, seperti setiap hal yang menjadi tren, rotan kemudian dieksploitasi, dibuat secara besar-besaran tanpa mengindahkan kualitas. Ketika kualitas diabaikan, pamornya melorot.
Sebagian besar furnitur rotan Alvin bentuknya tidak tradisional. Rata-rata kursi yang dibuatnya berwujud seperti bunga, mekar. "Saya harus membuat mebel-mebel rotan ini tampak feminin," katanya. Itu sesuai dengan karakter rotan yang fleksibel. "Kalau saya memakai besi untuk mebel bergaya feminin, itu keliru, karena karakternya keras. Demikian juga kalau saya membuat rotan menjadi mebel kaku, itu menyalahi karakternya."
Usaha perancang ini menemukan karakter desain ruang khas Indonesia memang baru dimulai. Seperti proses menjadi Indonesia, Alvin tahu, hal itu tidak mudah.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo