Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu berdinding papan dengan cat krem kusam. Sangat sederhana. Untuk masuk ke sana, kita harus menyusuri jalanan bersemen, dilanjutkan dengan meniti empat kayu agar kaki tak basah oleh air yang menggenang. Di sisi kanan, ada selokan mampet dengan ilalang di sana-sini. Di ruangan utama, yang luasnya sekitar 20 meter persegi, penghuninya harus berbagi dengan tumpukan berkas dan berbagai macam barang.
Di ruangan sumpek dan kusam itulah Kelompok Kerja (Pokja) 30—lembaga swadaya masyarakat antikorupsi yang berdiri pada 30 Desember 1999—berkantor. Meski ruangan itu terkesan sumpek, dan penghuninya bekerja dengan berbagai perabot tua, pegiat Pokja 30 asyik-asyik saja. "Pemilik rumah ini tak pernah mengintervensi kami," kata Kahar al-Bahri, mantan koordinator lembaga di Samarinda, Kalimantan Timur, itu. "Dia malah sering membantu kebutuhan Pokja, seperti bayar listrik dan air."
Sebenarnya para pegiat itu bisa saja menempati kantor yang lebih manusiawi, tapi mereka menolaknya. Ada banyak tawaran dari berbagai pihak agar mereka menempati ruangan yang lebih bagus. Salah satu tawaran itu pernah disampaikan anak orang nomor satu di Provinsi Kalimantan Timur, juga oleh pengusaha setempat.
"Saya enggak pernah tahu ada apa di balik 'kebaikan' pengusaha itu. Tapi mending ditolak, deh," kata Carolus Tuah, Koordinator Badan Pengurus Pokja 30 periode 2007-2011, saat ditemui Tempo di markasnya pada pertengahan bulan lalu. "Sebab, enggak ada yang bisa menduga di kemudian hari apa yang terjadi," ia menambahkan.
Hal senada disampaikan Kahar. "Pernah anak gubernur datang menawari tempat, seperti ruko atau gedung pemerintah yang tidak dipakai, tapi kami tolak," kata dia. Jika diterima, Kahar khawatir publik akan mempertanyakan independensi Pokja. "Kami tak butuh kantor yang bagus untuk kerja advokasi seperti ini," katanya. Adapun Carolus menegaskan, "Kami merasa cukup dengan sekretariat sekarang."
Selain tawaran sekretariat yang lebih bagus, upaya lain untuk "menjinakkan" Pokja pernah pula disampaikan oleh pengusaha tambang batu bara setempat. Rupanya, pengusaha yang menyerobot tempat pembuangan akhir sampah di Palaran, Kalimantan Timur, ini gerah oleh polah Pokja yang menyelidiki mereka. Si pengusaha pun mengirim utusan dan membawa duit Rp 25 juta buat Kahar, tapi tawaran itu ditolak.
Selain masalah korupsi, Pokja 30 memang peduli terhadap masalah pertambangan di Kalimantan Timur. Apalagi dalam urusan tambang kerap ditemukan adanya kongkalikong dengan birokrasi, yang ujung-ujungnya permainan uang juga. Selama ini Pokja juga rajin memelototi penyusunan anggaran pemerintah daerah untuk mengulik dugaan manipulasi di dalamnya. Menjelang pemilihan umum, bersama lembaga swadaya lain, Pokja juga getol mengkampanyekan agar rakyat tak memilih politikus busuk.
Terhadap kiprahnya itu, menurut Carolus, teror dan tekanan dari penguasa atau pihak lain merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan Pokja 30. Biasanya teror disampaikan lewat telepon atau pesan pendek. Beruntung hingga saat ini teror tersebut belum pernah mengakibatkan luka fisik.
Berdiri pada 30 Desember 1999, seperti namanya, Pokja 30 didirikan oleh 30 aktivis dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Samarinda. Mereka dipersatukan saat menyikapi kehidupan negara yang amburadul di zaman pemerintahan Soeharto. Pemberantasan KKN alias korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah semangat yang mereka usung. Tak hanya di Samarinda, mereka juga berdemonstrasi ke Jakarta.
Aksi jalanan itulah yang mempertemukan mereka dengan Firdaus Hassan, yang kemudian meminjamkan salah satu rumah keluarganya di Jalan Danau Maninjau Nomor 12, Samarinda, sebagai markas Pokja. "Gerakan mereka bagus," kata Uus—panggilan akrab Firdaus—ihwal alasan di balik peminjaman rumahnya itu.
Bantuan Uus amat berarti. Maklum, kondisi keuangan Pokja memang sering kering. Saldonya sering nol. Toh, mereka ogah mencari donatur, termasuk ke lembaga-lembaga asing, apalagi duit dari anggaran pemerintah daerah. Dengan begitu, Pokja tak pernah bergantung pada lembaga donor atau pihak tertentu.
Salah satu sumber dana, kata Carolus, berasal dari hasil kerja sama Pokja 30 dengan jaringan lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, seperti Indonesia Corruption Watch, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. Bentuk bantuan pendanaan dilakukan dengan melibatkan Pokja dalam riset bersama atau mengelola program bersama yang dilaksanakan di Samarinda.
Cara lain untuk menghidupi organisasi, Carolus melanjutkan, tiap pengurus punya aktivitas sampingan, seperti menjadi wartawan lepas, fotografer perkawinan, notulis, dan pembicara dalam seminar atau diskusi. Nah, penghasilan yang diperoleh sebagian disisihkan untuk organisasi.
"Enggak ada gaji dari Pokja," kata Buyung Marajo, salah seorang pengurus. Dari hasil kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lain, menurut Charles Sapu, pengurus yang lain, uangnya tak bisa dipastikan, kadang kurang dari sejuta rupiah sebulan, terkadang lebih. Bagaimana jika duit benar-benar tak ada? "Kadang kami puasa," kata Dayang Eria Erlika, pengurus yang lain.
Kondisi inilah yang membuat tak banyak orang bertahan di Pokja. Saat ini yang aktif tinggal enam orang. Meski begitu, lewat berbagai metode, seperti rekrutmen terbuka, rekomendasi dari jejaring Pokja atau pengurus, juga pengamatan langsung dari koordinator, Carolus yakin Pokja akan tetap eksis.
Terlepas dari kehidupan pegiatnya yang nelangsa itu, independensi Pokja dipuji oleh Siswadi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Samarinda yang sekaligus Ketua Badan Anggaran Dewan. "Sampai saat ini Pokja masih kredibel. Sebab, saya tahu persis orang-orangnya," kata salah seorang intelijen polisi di Samarinda yang pada 1999-2005 mengikuti kiprah Pokja.
"Tuah cs itu teman-teman yang luar biasa. Yang kurang mungkin jaringan serta keahlian riset dan menulisnya," kata Danang Widoyoko, Koordinator Indonesia Corruption Watch. Yuna Farhan, Sekretaris Jenderal Fitra, tak ragu akan kompetensi Carolus Tuah dan kawan-kawan. Namun ia menilai Pokja masih seperti gerakan mahasiswa sehingga manajemen dan administrasinya perlu dibenahi. Untuk itu pihaknya akan membantu dengan memberikan asistensi. Jika tak ada pembenahan, kata dia, "Mereka akan sulit memperbesar kerja, terutama dari sisi sumber daya manusianya."
Kelompok Kerja 30
Berdiri: 30 Desember 1999
Cikal-bakal: Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Samarinda
Sekretariat: Jalan Danau Maninjau Nomor 12, Samarinda
Contoh Kasus yang Pernah Diadvokasi:
Sosok Kecil di Balik Kebesaran Pokja
Setiap barang yang kita miliki harus bermanfaat." Itulah semangat yang membuat Firdaus Hassan meminjamkan salah satu rumah keluarganya di Jalan Danau Maninjau Nomor 12, Samarinda, Kalimantan Timur, sebagai Sekretariat Kelompok Kerja 30. Apalagi rumah dengan luas 300 meter yang berdiri di atas lahan 400 meter itu memang sudah lama tidak ditempati, sempat terendam banjir pula. Jika tak ada yang mengurus, niscaya makin tambah rusak.
Akad yang diucapkan pada 1999 saat Pokja berdiri adalah rumah berdinding papan itu boleh ditempati sampai Firdaus menikah. Setelah memiliki keluarga sendiri, Uus—panggilan akrab Firdaus—berencana tinggal di situ.
Firdaus bukanlah orang baru bagi Pokja 30. Meski bukan pendiri, anak keenam dari delapan bersaudara pasangan almarhum Hassan Tayib-Siti Hadjar Barack ini tahu sejak awal sepak terjang pentolan-pentolan yang kemudian mendirikan Pokja 30. Maklum, selain di Samarinda, ia pernah bertemu dan bersama dengan mereka saat demonstrasi besar di Jakarta pada 1998 untuk menggoyang Presiden Soeharto.
"Saat itu saya terlibat di Suara Ibu Peduli, yang tugasnya membagi ransum buat mahasiswa yang sedang berdemonstrasi," kata Uus, yang kala itu masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Polytechnic Education Development Centre, Bandung.
Zaman dan rezim di negeri ini sudah berulang kali berganti, tapi dukungan Uus kepada Pokja 30 tak berubah. Tengok saja, hingga kini, ia masih sering menalangi kebutuhan darurat jika Sekretariat Pokja terlilit masalah keuangan, seperti menunggak pembayaran listrik, air, dan telepon. "Begitulah kenyataannya," kata Carolus Tuah, Koordinator Badan Pengurus Pokja 30, blak-blakan.
Untuk mengisi kantongnya, Uus membuka Cafe Zuppa-Zuppa di Jalan Juanda 3, Samarinda, pada 1 Januari 2008. Sekarang pria berperawakan kecil ini sedang memperluas usaha dengan membuka beberapa warung tenda yang menjual mi instan matang serta ayam dan ikan bakar.
Bersama sejumlah teman, ia juga membuka usaha sampingan, seperti servis komputer serta pemasangan satelit di kapal-kapal dan menara komunikasi untuk perusahaan yang lokasinya di hutan. "Hasilnya lumayan, bisa bantu-bantu sedikit kehidupan di markas Pokja 30," kata Uus, yang berencana menikah tahun ini.
Seperti akad semula, jika sudah menikah, pria kelahiran 15 Juli 1973 ini akan tinggal di rumah yang ditempati Pokja, tentu setelah direnovasi dulu. Agar Pokja tak harus mencari tempat pengganti, Uus berencana berbagi kaveling saja.
Toh, rencana itu masih sulit terwujud karena sebagian rumah tersebut saat ini dipakai untuk masjid sementara. Masjid aslinya yang terletak di seberang jalan sedang dibangun ulang. Mungkin 3-4 tahun lagi renovasi itu baru rampung. "Jadi masih lama bagi saya tinggal di rumah yang ditempati Pokja," kata Uus. "Sembari menunggu, saya nanti numpang di rumah mertua."
Meski harus berbagi dengan pemilik asli, tetap saja pilihan Uus itu melegakan. Sebab, para pegiat Pokja 30 tak perlu repot mencari pengganti sekretariat. Dengan begitu, waktu dan tenaga mereka bisa dioptimalkan untuk memelototi kasus-kasus dugaan korupsi di Samarinda dan sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo