Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Wahana Lingkungan Hidup Aceh</font><br />Mengendus Rasuah di Serambi Mekah

Tak cuma mengawal isu lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh juga membongkar berbagai praktek korupsi yang bersinggungan dengan proyek eksploitasi sumber daya alam. Ikut membidani lahirnya pergerakan antikorupsi.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERAKAN yang digalang T. Muhammad Zulfikar akhirnya sampai juga di meja hijau. Pertengahan Desember lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh menggelar sidang perdana kasus Rawa Tripa. Inilah sidang gugatan yang dilayangkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh beserta koleganya kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, setelah somasi yang mereka kirim tak jelas kelanjutannya.

Tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa, Walhi Aceh menggugat Irwandi karena telah mengizinkan PT Kalista Alam membuka lahan perkebunan kelapa sawit di area hutan gambut Rawa Tripa. Kawasan seluas 1.065 hektare itu terletak di Desa Pulo Kruet, Nagan Raya. Gubernur Irwandi mengeluarkan izin pada 25 Agustus 2011. Kebijakan itu juga digugat Forum Tataruang Sumatera (For Trust).

Dari penelusuran Walhi Aceh, lahan PT Kalista Alam itu tidak terletak di Desa Pulo Kruet, melainkan di Kawasan Ekosistem Leuser. Padahal kawasan ekosistem ini ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Itu sebabnya, Walhi Aceh menilai Gubernur Irwandi diduga telah menyalahgunakan wewenang dan tidak menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Walhi Aceh meminta izin itu dibatalkan dan seluruh aktivitas di lahan tersebut dihentikan hingga ada kekuatan hukum tetap. Organisasi ini juga melaporkan Gubernur Irwandi ke polisi. Hasilnya, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Kepolisian Daerah Banda Aceh mengusut penerbitan izin itu.

Bukan cuma soal Rawa Tripa, Walhi Aceh berteriak lantang. Dalam kasus megaproyek Ladia Galaska—singkatan dari Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka—organisasi ini mencium bau amis korupsi berceceran di mana-mana.

Mulanya Walhi Aceh menggugat pembangunan jalan sepanjang 470 kilometer itu demi menyelamatkan lingkungan di kawasan tersebut. Diluncurkan pada 2002, proyek yang menembus dataran tinggi Leuser itu diyakini bisa merusak kawasan hutan lindung, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser, yang menjadi habitat jutaan spesies langka.

Walhi Aceh menemukan indikasi korupsi pada proyek senilai Rp 950 miliar itu. "Pembangunan yang merusak lingkungan umumnya berbau korupsi," kata Zulfikar, mengenang peristiwa itu. "Dalam kasus Ladia Galaska, perusakan lingkungan dan korupsi menjadi satu paket."

Bekerja sama dengan elemen lain, di antaranya Solidaritas Gerakan Anti- Korupsi Aceh dan Kelompok Kerja Aceh Damai tanpa Korupsi, Walhi Aceh menemukan indikasi korupsi senilai Rp 26,9 miliar. Laporan investigasi Tempo juga menemukan praktek serupa, meski angkanya lebih kecil, yakni Rp 11,6 miliar. Abdullah Puteh, gubernur saat itu, membantah semua tudingan tersebut.

Bantahan Puteh tak menyurutkan nyali Walhi Aceh mengajukan gugatan perdata terhadap pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Namun langkah hukum itu mental di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Upaya banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada 2007 juga tak membuahkan hasil. Di tingkat tertinggi, giliran Mahkamah Agung menolak kasus ini.

Namun aktivis Walhi Aceh tak kenal menyerah. Pada Maret 2011, organisasi ini mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan MA dengan mengajukan sejumlah bukti baru (novum). Singkat kata, proyek Ladia Galaska menjadi trek maraton bagi Walhi Aceh melakukan perlawanan atas perusakan lingkungan sekaligus masuk pusaran perjuangan antikorupsi.

Di mata para aktivis Aceh, Walhi Aceh dikenal tak pernah menutup mata atas berbagai kasus korupsi, meski fokus utama mereka memberikan advokasi di sektor lingkungan dan sumber daya alam. Advokasi terkait dengan isu korupsi dijalankan dengan menggandeng lembaga lain. "Kami duduk sama-sama, selanjutnya ditentukan siapa yang akan menggiring bola," kata Akhiruddin Mahyu, salah seorang pegiat antikorupsi di Aceh.

Tak mengherankan bila dengan pembagian kerja seperti itu, Walhi Aceh ikut mengawasi praktek pemerintahan sehari-hari, bekerja sama dengan Gerakan Rakyat Anti-Korupsi (GeRAK) Aceh. Berdiri enam tahun lalu, GeRAK masih tercatat sebagai anggota Walhi Aceh. Organisasi ini banyak menyuarakan penuntasan kasus korupsi kakap di Tanah Rencong.

Tahun lalu, misalnya, GeRAK mendorong penuntasan tujuh kasus korupsi di Aceh, yang lima di antaranya berlanjut di Komisi Pemberantasan Korupsi. Sisanya ditangani Kejaksaan Tinggi Aceh. Semua kasus itu berpotensi merugikan negara Rp 300 miliar. "Indikasi korupsi itu ditemukan mulai dari proyek rumah duafa hingga penjualan besi tua," kata Askhalani, Koordinator GeRAK.

Yang membangkitkan harapan, peng­awasan kasus korupsi dilakukan tak cuma oleh GeRAK. Perlawanan antikorupsi juga dilakukan oleh beberapa elemen yang kini tergabung dalam Kelompok Kerja Aceh Damai Tanpa Korupsi (ADTK). Beberapa elemen itu, antara lain, Masyarakat Transparansi Aceh, Pidie Transparansi Anggaran, Gabungan Solidaritas Anti-Korupsi, Jaringan Anti-Korupsi Tanah Gayo, Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi Aceh Selatan, serta Solidaritas Advokasi Pemantauan Anggaran.

Uniknya, kelahiran Pokja ADTK tidak bisa dilepaskan dari kiprah Walhi Aceh setelah dicabutnya status Daerah Operasi Militer pada 1998. Menurut Bambang Antariksa, Koordinator Walhi Aceh awal 2000-an, kontribusi Walhi Aceh merintis kekuatan kolektif antikorupsi di Aceh pada masa-masa itu sangat signifikan.

Selepas pencabutan status Daerah Operasi Militer, Aceh bergolak, seperti daerah tak bertuan. Saat itu Gerakan Aceh Merdeka mulai menguat hingga status darurat militer diberlakukan pada 2003. Di tengah situasi itu, ruang gerak aktivis jadi terbatas. "Orang mudah dieksekusi, dengan dalih sebagai pemberontak atau cuak (pengkhianat versi GAM)," katanya.

Nah, di tengah situasi itulah Walhi Aceh memperkuat gerakan masyarakat sipil dengan menginisiasi pendirian Pokja ADTK. Lembaga ini diperkuat dan didukung oleh jejaring pegiat sosial lain. "Kami bergabung menjadi satu," kata Akhiruddin Mahyu, yang saat itu menjabat Koordinator Solidaritas Masyarakat Anti-Korupsi.

Melalui jejaring di Pokja ADTK, pengawalan kasus-kasus dugaan korupsi berlanjut, dari pembelian helikopter yang melibatkan gubernur ketika itu, Abdullah Puteh; Ladia Galaska; hingga lelang kayu sitaan. Kantor Walhi Aceh menjadi salah satu basis utama aksi-aksi antikorupsi.

Karena gencar melaporkan pejabat yang diduga melakukan korupsi, tekanan datang silih berganti. Mulai ancaman teror melalui telepon hingga iming-iming jabatan. Bahkan, karena mereka dinilai tidak taat kepada pemimpin, sebagian ulama sempat mengeluarkan fatwa menghalalkan darah mereka. "Semua tidak mempan karena kami bertekad merawat Aceh menjadi lebih baik," kata Bambang.

Pola gerakan masyarakat sipil berubah setelah gelombang tsunami melumat Aceh pada Desember 2004, yang disusul ditandatanganinya perjanjian damai Helsinki. Tiap elemen kini berfokus pada tujuan utama pendirian organisasi. Walhi Aceh, misalnya, kembali berkonsentrasi pada isu lingkungan dan sumber daya alam. Namun, dalam perjalanannya, praktek korupsi tetap diawasi dan tidak pernah diabaikan. "Nanti tinggal bagi-bagi tugas siapa yang lebih pas untuk bergerak di depan," kata Zulfikar.


Tonggak Walhi di Tanah Rencong

Berdiri:

  • 5 Februari 1993 (diprakarsai 17 organisasi lingkungan)

    Anggota:

  • 38 lembaga, tersebar di seluruh Aceh
  • Periode 1993-1998 (era Daerah Operasi Militer)Menyuarakan isu-isu lingkungan

    Periode 1998-2003

  • Aktif melakukan kampanye lingkungan proyek Ladia Galaska
  • Mendampingi korban pelanggaran hak asasi
  • Menyoroti isu korupsi Ladia GalaskaPeriode 2003-2006
  • Membangun aliansi antikorupsi Aceh Damai Tanpa Korupsi
  • Menyoroti isu korupsi Ladia Galaska, kasus helikopter Gubernur Abdullah Puteh, dan kasus lelang kayu sitaanPeriode 2006-sekarang
  • Mengawal kasus korupsi Ladia Galaska
  • Menyuarakan kasus penerbitan izin Rawa Tripa

    Jalan Berliku Menuju Mandiri

    BANGUNAN seluas 500 meter persegi itu berada tepat di salah satu ujung jalan di Lorong Krueng. Lokasinya tak jauh dari Warung Kopi Solong, salah satu tongkrongan populer, di Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh. Di situlah kantor Walhi Aceh berada.

    Dengan status hak milik, bangunan itu disiapkan buat dua lantai, meski pengerjaan lantai atas belum dimulai. Anak-anak muda di kantor itu berikhtiar, lantai dua kantor mereka kelak disewakan buat kantor atau penginapan. "Lumayan buat penggalangan dana," kata Direktur Walhi Aceh T.M. Zulfikar, tiga pekan lalu.

    Aset kantor di atas lahan 1.000 meter persegi itu sesungguhnya diperoleh Walhi Aceh dari APHEDA. Lembaga sosial asal Australia ini salah satu yang ikut menggelontorkan bantuan setelah gelombang tsunami melumat Aceh tujuh tahun silam. "Ini berkah tsunami," kata Zulfikar, terus terang.

    Pemberdayaan kantor buat menjaring dana bakal ditempuh Zulfikar dan koleganya karena mereka bertekad tak mau selamanya bergantung pada lembaga donor.

    Walhi Aceh sejauh ini masih mengandalkan bantuan dari Interchurch Organisation for Development Cooperation (ICCO). Lembaga donor asal Belanda ini menggelontorkan dana hibah sejak 2008. Bantuan ICCO ini menjadi salah satu sumber utama Walhi Aceh menggerakkan roda organisasi.

    Tiap tahun, akuntan publik mengaudit pemakaian dana itu. Selain sebagai laporan pertanggungjawaban kepada lembaga donor, hasil audit disampaikan ke semua anggota melalui mailing list dan situs resmi.

    Tidak semua bantuan donor mereka terima mentah-mentah. Untuk urusan dana, Walhi Aceh cukup selektif. Mereka, misalnya, tidak mau menerima uluran tangan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Di mata Zulfikar, lembaga-lembaga internasional itu bagian dari kekuatan modal yang punya kontribusi merusak lingkungan.

    Kini berbagai strategi terus diupayakan agar mereka bisa mandiri. Walhi Aceh, misalnya, beberapa kali menggelar malam pertunjukan seni buat menjaring dana. Mereka juga getol menjual pernak-pernik, mulai kaus, stiker, hingga gantungan kunci.

    Meski ikhtiar itu belum berhasil menghimpun fulus dalam jumlah besar, semangat anak-anak muda ini tidak pernah sirna. Zulfikar dan kawan-kawannya kini tengah merintis pembentukan koperasi. Dana koperasi digunakan buat budi daya kebun, pertanian, dan konservasi potensi laut. Keuntungan dari koperasi ini kelak digunakan buat menjalankan roda organisasi.

    Walhi Aceh juga memanfaatkan lahan yang baru saja dibeli tahun lalu. Terletak di Seulawah, Aceh Barat, tanah seluas 1 hektare itu ditanami tanaman produktif. Langkah ini, kata Zulfikar, sekaligus memberi contoh buat warga Aceh mengelola lahan terbengkalai.

    Di tengah pendanaan terbatas, akrobat penghematan mesti dilakukan. Yang paling sering dilakukan adalah patungan dengan lembaga-lembaga lain dengan mengusung agenda bersama. "Istilahnya joint isu," kata Zulfikar.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus