Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAPAN putih 2 x 3 meter itu penuh tanda tangan para kepala daerah di Jawa Tengah. Di sebelah beberapa nama bupati dan wali kota, tampak potongan kertas kecil-kecil kuning dan merah muda. Meski meriah dan ceria, papan itu bukan sekadar pemanis dinding.
Itulah catatan sejarah pemberantasan korupsi di Jawa Tengah. Sejak tiga tahun lalu, ia menjadi semacam "barometer korupsi" yang dipajang di ruang tamu Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) di Lempongsari, Semarang.
"Kertas kuning untuk kepala daerah yang terindikasi terkait korupsi tapi masih belum ditetapkan menjadi tersangka," kata Eko Haryanto, 46 tahun, Sekretaris Komite. Sedangkan kertas merah muda untuk kepala daerah yang sudah dinyatakan tersangka, entah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan setempat. "Sebagian yang berisi kertas merah muda bahkan sudah divonis dan dipenjarakan," Eko menambahkan.
Bupati, wali kota, dan gubernur yang namanya masih bersih—belum ditempeli kertas kuning atau merah muda—jangan senang dulu. "Belum tentu mereka benar-benar tanpa masalah."
Papan itu punya sejarah unik. Pada Desember 2008, Komite mengundang belasan kepala daerah di Jawa Tengah untuk menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Semarang. Di puncak acara, mereka diminta membubuhkan tanda tangan di atas papan putih, sebagai wujud komitmen memberantas korupsi.
Belakangan banyak nama yang ikut menandatangani papan itu terjerat berbagai kasus. Papan berisi tanda tangan mereka terpaksa beralih fungsi: dari simbol komitmen antikorupsi menjadi papan barometer korupsi di Jawa Tengah. Sebagian nama kepala daerah di sana sudah ditempeli kertas kuning dan merah muda.
NAMA Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN memang identik dengan upaya pemberantasan korupsi di Jawa Tengah. Bekerja sama dengan sejumlah lembaga antikorupsi lain dari berbagai kabupaten, mereka getol melaporkan setiap kasus yang diduga bermuatan korupsi. Fokusnya: korupsi di pemerintah kabupaten dan kota. "Sebagai orang kampung, kami bermain di tingkat lokal," kata Eko.
Sejak berdiri, 13 tahun silam, Komite sudah melaporkan puluhan kasus korupsi. Tak sedikit bupati dan wali kota yang mendekam di bui berkat laporan mereka. Yang paling gres adalah kasus Bupati Tegal Agus Riyanto.
Pada November 2011, Pengadilan Negeri Tegal menjatuhkan vonis 5 tahun 6 bulan penjara untuk Agus. Sang bupati terbukti bersalah dalam kasus korupsi pembangunan Jalan Lingkar Kota Slawi, yang merugikan negara sampai Rp 3,9 miliar. Penyelidikan kasus Agus bermula dari laporan Komite.
Sebelum Agus, daftar "korban" Komite Penyelidikan cukup panjang. Sekarang sejumlah kepala daerah aktif sedang diselidiki. Ada Bupati Batang Bambang Bintoro, yang dituduh membagikan duit negara Rp 796 juta kepada puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada 2004.
Lalu ada Bupati Rembang M. Salim, yang diduga terkait kasus korupsi dalam penyertaan modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya. Modal Rp 5,2 miliar yang disetorkan Salim konon diambil dari anggaran daerah.
Bupati Karanganyar Rina Iriani tak ketinggalan. Komite menduga dia terlibat kasus korupsi pembangunan Perumahan Griya Lawu Asri senilai Rp 21,9 miliar. Ketiga bupati itu kini sudah berstatus tersangka.
"Data kasus korupsi mantan pejabat sebenarnya lebih banyak lagi," kata Eko. Namun tak semua masuk pengadilan. Sebagian dihentikan penyidikannya karena kurang bukti, sisanya terpaksa macet karena sang mantan meninggal.
Komite Penyelidik dan Pemberantasan KKN lahir dari kegelisahan para aktivis lembaga swadaya masyarakat, advokat, dan akademisi di Jawa Tengah pada Mei 1998. Ketika gelombang unjuk rasa menuntut reformasi bergemuruh di negeri ini, para aktivis dan akademisi di sana intens berkumpul dan berdiskusi. Kantor Lembaga Bantuan Hukum Semarang sering dipakai sebagai tempat pertemuan.
Dari serangkaian diskusi, muncul gagasan untuk mendirikan lembaga yang berfokus menggarap isu pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. "Kami terpanggil untuk melakukan sesuatu saat itu," kata salah seÂorang pendiri Komite, Mahfudz Ali. "Seperti banyak warga masyarakat lain, perhatian kami ketika itu adalah bagaimana mengatasi maraknya kolusi, korupsi, dan nepotisme."
Begitu resmi berdiri, lembaga ini langsung tancap gas. Kasus pertama yang mereka laporkan adalah dugaan korupsi ruilslag tanah bengkok oleh Bupati Banyumas (ketika itu) Djoko Sudantoko. Sayangnya, penyidikan kasus ini terhenti karena dianggap tidak ditemukan cukup bukti.
Namun Komite tak putus asa. Beberapa laporan mereka berikutnya mulai ditanggapi serius oleh aparatur penegak hukum. Salah satu yang menarik perhatian adalah laporan soal dugaan korupsi Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Suwardi. Dia dituduh melakukan korupsi dalam pengadaan 100 mobil dinas untuk anggota DPRD Jawa Tengah. Berkat laporan Komite, semua anggota DPRD yang mendapat mobil dinas harus membayarnya kembali dengan cara mencicil ke kas negara.
Sejak itu, nama Komite Penyelidikan mulai dikenal masyarakat. Bersamaan dengan itu, rintangan pun menghampiri. Ketika menangani beberapa kasus, datanglah ancaman dan intimidasi.
Aktivis Komite mulai sering mendapat teror. Ada surat kaleng, lain kali telepon gelap. Ada juga yang berbau klenik. Suatu hari mereka menemukan garam ditaburkan di sekeliling kantor Komite. "Kami tidak takut karena, setahu saya, garam itu untuk masak," kata Eko, berseloroh.
Tantangan juga datang dari dalam. Beberapa pengurus Komite mundur karena tak tahan godaan. Kode etik Komite memang melarang semua aktivis lembaga menjadi pengacara untuk kasus korupsi.
Ketua Komite Penyelidikan Mahfudz Ali juga pernah menyatakan diri nonaktif. Lima tahun lalu, dia mencalonkan diri menjadi Wakil Wali Kota Semarang, dan menang dalam pemilihan kepala daerah.
Yang menarik, ketika Mahfudz menjabat, Komite Penyelidikan melaporkan Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip dengan tuduhan melakukan korupsi anggaran daerah. "Ketika nonaktif, saya memang tidak ikut campur perkara apa pun yang ditangani Komite," kata Mahfudz.
Waktu 13 tahun bukan perjalanan yang pendek. Komite Penyelidikan sudah membuktikan integritasnya dalam berbagai penanganan kasus korupsi di Jawa Tengah. Berbagai pasang-surut sudah dilalui.
Belakangan sebagian kalangan menyoroti keputusan Komite untuk menerima dana anggaran daerah untuk membiayai kegiatan operasional mereka. Banyak yang khawatir Komite kehilangan independensinya. "Kami tetap independen. APBD pada dasarnya adalah uang rakyat. Kami menggunakan uang itu untuk mengawasi jalannya pemerintahan daerah," kata Mahfudz.
Memang—seperti banyak lembaga swadaya masyarakat di negeri ini—urusan penggalangan dana masih menjadi persoalan bagi Komite. Selama ini Komite mendapat dana dari berbagai program yang mereka lakukan. Dengan dana terbatas itu, mereka harus membiayai berbagai penyelidikan dan menggaji 10 awak lembaga itu.
"Pada 2012 ini, kami berencana mulai menggalang dana publik," kata Sekretaris Komite Eko Haryanto. Tentu jumlah sumbangan akan dibatasi agar program itu tidak jadi pintu masuk untuk "membeli" kredibilitas Komite. "Misalnya saja setiap orang tidak boleh menyumbang lebih dari Rp 100 ribu," kata Eko.
Dengan program baru itu, Komite Penyelidikan berharap napas mereka bisa jadi lebih panjang. Masih banyak nama kepala daerah di papan putih mereka yang belum berhias kertas kuning atau merah muda.
Jejak KP2KKN
Lembaga ini didirikan oleh beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat, pengacara, dan akademisi pada 8 Mei 1998 di Semarang.
1998
Melaporkan kasus dugaan korupsi pemberian 100 mobil dinas oleh Gubernur Suwardi kepada anggota DPRD Jawa Tengah. Hasilnya, mobil dinas yang telah diterima oleh anggota Dewan harus dicicil ke kas negara.
2004
Melaporkan kasus dugaan bagi-bagi uang dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2004 senilai Rp 796 juta yang dilakukan Bupati Batang Bambang Bintoro kepada anggota DPRD yang berakhir tugasnya.
Melaporkan mantan Bupati Pati Tasiman atas dugaan korupsi APBD 2003 pada pos pembiayaan Laporan Pertanggungjawaban Tahun 2002 dan pos bantuan kepada pihak ketiga senilai Rp 1,9 miliar.
2006
Melaporkan mantan Wali Kota Magelang Fahriyanto dalam lima kasus dugaan korupsi. Fahriyanto kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
2008
Melaporkan Bupati Rembang M. Salim dalam kasus dugaan korupsi penyimpangan penyertaan modal PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya dari APBD 2006 dan 2007 senilai Rp 5,2 miliar.
2011
Melaporkan Bupati Tegal Agus Riyanto dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Lingkar Kota Slawi senilai Rp 3,9 miliar. Agus kini sudah divonis.
Hanya Takut kepada Istri
SEBELUM matahari melengkung di atas Kota Semarang, dari kawasan Klipang, sepeda motor tua itu sudah menderu. Dengan Honda Super Cub, dari rumah sederhana yang dia kontrak sejak 1998, Eko Haryanto menempuh perjalanan 12 kilometer.
Seperti biasa, awal Desember lalu, Eko pun memulai aktivitas rutinnya: mengantar anaknya ke sebuah sekolah menengah pertama di kawasan Simpang Lima, Semarang. Setelah itu, barulah dia menuju kantor Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) di Lempongsari. "Kadang saya datang lebih dulu dari office boy," kata Eko, lalu terkekeh.
Menyebut KP2KKN tak bisa lepas dari nama Eko Haryanto. Pria kelahiran Bangka 46 tahun silam ini menjadi corong lembaga antikorupsi itu. Jabatannya memang sekretaris, tapi dia tak melulu mengurusi administrasi. Nama Eko juga sering muncul di berbagai media, misalnya ketika melaporkan kasus dugaan korupsi.
Munculnya Eko sebagai sosok sentral di satu sisi boleh jadi menjadi bukti tersendatnya regenerasi di lembaga ini. "Ternyata sulit mencari anak muda yang mau terjun di bidang ini," katanya. Beruntung kini lembaga ini memiliki beberapa volunter. "Saya belajar banyak di sini," kata Wendy S.P., salah seorang sukarelawan.
Pengalaman masa kecil di Bangka ternyata menuntun Eko dalam kegiatan antikorupsi. Di tanah kelahirannya, dia melihat perbedaan yang mencolok antara si kaya dan yang miskin. Dari ibunya, dia mengetahui makna korupsi untuk pertama kalinya. "Korupsi membuat hidup kita sulit," katanya.
Pemahaman itu merasuk ke dalam dirinya. Bagi Eko, seorang koruptor harus dipermalukan. Itu juga yang membuatnya gigih dalam melaporkan kasus dugaan korupsi. "Untuk kasus korupsi harus diberlakukan asas praduga bersalah," katanya.
Hal itulah yang disesalkan Agus Riyanto, terpidana kasus korupsi dalam proyek Jalan Lingkar Kota Slawi. Ketika namanya dilaporkan KP2KKN, Agus sempat berujar bahwa lembaga itu tidak mengetahui persis apa yang terjadi dalam kasusnya. "KP2KKN tahu apa," katanya kala itu.
Ketika ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane, Agus menjelaskan kalimat yang diucapkannya itu. Bagi Agus, sesungguhnya lembaga itu tidak pernah mendalami kasusnya. "Saya undang mereka untuk mendiskusikan kasus yang menimpa saya, tapi tidak pernah ada tanggapan dari mereka," katanya.
Lain waktu, Eko pernah dilaporkan untuk pencemaran nama baik dalam sebuah kasus dugaan korupsi yang sedang didalaminya. "Rupanya nama yang kami sebut bukan orang bermasalah," katanya.
Kasus pelaporan pencemaran nama baik itu tentu membuatnya lebih berhati-hati, tapi tak membikin langkahnya surut. "Akan saya hadapi semuanya. Saya tidak takut, kok," katanya.
Tidak ada yang ditakutkan alumnus Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Semarang ini kecuali perempuan yang ada di rumahnya. Ketika tak ada tugas yang memungkinkannya pulang malam, begitu jam kerja usai, Eko segera berkemas. "Saya harus pulang tepat waktu. Nanti saya dimarahi istri," katanya, sambil berbisik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo