Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Garut Governance Watch</font><br />Para 'Kabayan' Pembasmi Korupsi

Garut Governance Watch lahir dengan banyak kekurangan. Setoran angkutan kota milik salah seorang pendiri menjadi tumpuan. Alih-alih berhenti, mereka makin rajin menginvestigasi banyak kasus korupsi. Membina partisipasi publik mengawasi transparansi di 28 desa.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPALA Apit Masduki cenat-cenut. Pusingnya tujuh keliling. Baru dua tahun jalan, organisasi yang ia dirikan pada Mei 2002, Garut Governance Watch (G2W), sudah kembang-kempis butuh suntikan dana. Sokongan pembiayaan dalam beberapa program dari kakak seperguruannya, Indonesia Corruption Watch (ICW), tak lagi mencukupi kebutuhan yang merangkak naik seiring dengan meluasnya kegiatan.

Apit terpaksa putar otak cari solusi. "Kami harus berdaya, bisa menjalankan organisasi tanpa ketergantungan dana dari siapa pun," kata abang kandung Teten Masduki, salah seorang pendiri ICW, ini. Ia bertekad tak mau menengadahkan tangannya. "Daripada mengemis, lebih baik mati saja sekalian."

Walhasil, lelaki 50 tahun ini terpaksa merogoh kantong sendiri. Ia meminta keikhlasan keluarganya untuk berbagi penghasilan dengan G2W. Dari tiga angkutan kota yang ia punya, setoran satu di antaranya ia relakan untuk mengongkosi organisasi.

Tak dinyana, modal setoran satu angkot ini justru jadi fondasi independensi yang kukuh. Mereka terbiasa mandiri, tanpa perlu meminta-minta sokongan kanan-kiri untuk membiayai operasi dan kegiatan.

"Sebenarnya banyak yang ingin membiayai kami," ujar Agus Rustandi, Sekretaris Jenderal G2W, kepada Tempo, dua pekan lalu. Namun, katanya, "Terlalu banyak kepentingan yang mereka wakili." Keterikatan pada kepentingan donatur sama saja dengan memberangus diri, dan hanya akan membuat langkah mereka tak lagi bisa leluasa.

Manfaat dari independensi itu terbukti di kemudian hari. Organisasi lebih sulit dihentikan oleh tekanan dan serangan yang dilancarkan dari sana-sini. Kepercayaan publik kepada mereka ikut terjaga, sehingga dukungan dalam bentuk laporan kasus terus berdatangan.

Sebagian dukungan itulah yang kemudian dikembangkan menjadi organ-organ baru di 28 desa di berbagai pelosok Garut. Kumpulan masyarakat ini mereka namakan Forum Warga. Tugasnya menjadi semacam kaki-tangan G2W di desa dalam menjalankan pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan. Mereka berharap, kelak, organ semacam ini bisa tumbuh di seluruh penjuru Garut, yang meliputi 423 desa.

"Kami ajak masyarakat untuk transparan dari satuan pemerintahan terkecil. Kami berharap nilai itu nantinya mengepung pemerintahan Garut yang sudah karut-marut," kata Agus. Mereka sadar benar, selain kemandirian, dukungan masyarakat adalah modal utama gerakan melawan korupsi.

l l l

Perang terhadap korupsi bagi G2W bukan hanya kata-kata. Tak sedikit pejabat sudah dijebloskan ke penjara gara-gara hasil investigasi dan laporan mereka. Intimidasi mereka telan sebagai risiko kerja. "Kami sudah kenyang soal itu, jadi tidak lagi khawatir," ujar Apit. "Puncaknya adalah pembakaran rumah aktivis G2W." (Baca "Sehabis Kritis Terbitlah Api")

Sejumlah kasus korupsi mereka telisik. Di antaranya dugaan korupsi dana cadangan umum untuk bencana alam tahun 2004. Lalu kasus korupsi dana aspirasi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut. Ada pula korupsi pemeliharaan jalan periode 2005, rasuah terkait dengan kebijakan pendidikan yang diduga melibatkan pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Garut, hingga dugaan gratifikasi kepada Bupati Garut dalam kasus Pasar Kadungora dan Pasar Cikajang.

"Kasus yang paling membuat geger adalah yang melibatkan Bupati Agus Supriadi," ujar Apit. Akibat temuan mereka, Garut diguncang gelombang unjuk rasa berbulan-bulan, sampai akhirnya sang bupati tumbang. Teriakan mereka soal antikorupsi bukan sebatas slogan, melainkan terwujud dalam gerakan bersama masyarakat.

Kerja keras itu tak percuma. Apresiasi datang dari mana-mana. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Garut Edwar mengakui konsistensi G2W dalam mengawal laporan yang telah mereka berikan kepada penegak hukum. "Mereka cukup cerewet kalau menanyakan hasil kemajuan kasus," ujarnya.

Meski begitu, Edwar menyayangkan pilihan lembaga ini yang dinilainya masih terlalu berfokus pada dugaan penyimpangan di jajaran birokrasi pemerintahan saja. "Harusnya aparat hukum juga mulai diawasi," ia menyarankan.

Orang-orang dari jajaran birokrasi yang pernah lekat diawasi ternyata ada juga yang memberi respons positif. Misalnya Komar Miriuna, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Ia menilai kemurnian gerakan G2W menginspirasi banyak pihak karena data dan temuan mereka tak pernah dijadikan alat barter dengan kekuasaan. "Mereka selalu berbicara dengan bukti," ujarnya. "Mereka juga pemberani di tengah badai premanisme."

Kepala Sekolah Dasar Tegal Gede, Ade Manadin, bahkan mengaku kagum pada program-program yang dipandu organisasi nirlaba itu di desa-desa binaan. Ia ikut menikmati manfaat transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan di sekolahnya. "Partisipasi rakyat jadi terdongkrak."

Berangkat dari kekagumannya itu, Ade lantas menjuluki personel G2W sebagai para "kabayan". Kabayan adalah tokoh imajiner dalam filosofi Sunda. Wataknya polos dan terkesan beloon, tapi sebenarnya cerdas. Ia selalu penuh tanya dan rasa ingin tahu, sehingga tingkahnya kerap menimbulkan kontroversi. Kabayan menjadi gambaran figur yang jujur, tak kenal takut karena kemandirian sikapnya, dan selalu berpihak kepada mereka yang membutuhkan pertolongan. "Kami memang ingin terus berjuang bersama rakyat," ujar Agus, yang tidak keberatan disamakan dengan Kabayan.


Ulah Usil dari Satu Sudut Garut

Seperti Kabayan yang selalu usil, G2W rajin mempersoalkan kecurangan dalam pengelolaan kekuasaan. Dari sudut markas mungilnya di tengah kota, bisikan mereka terkadang terlalu lantang. Berikut ini rekam perjalanan mereka.

2000
Sebuah diskusi yang melibatkan Indonesia Corruption Watch menginspirasi beberapa pentolan lembaga swadaya masyarakat di Garut untuk kembali bertemu merumuskan sebuah gerakan antikorupsi.

2002
16 Mei Garut Governance Watch (G2W) resmi berdiri.

2007
April Bersama beberapa LSM lain, mereka melaporkan Bupati Agus Supriadi atas dugaan penyelewengan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah serta penerimaan suap pembangunan Pasar Cikajang pada 2006. Laporan ini kelak mengantarkan banyak pejabat Garut ke balik terali besi.

2007
Juni Terlibat langsung dalam serangkaian unjuk rasa besar menuntut penggulingan Bupati Agus Supriadi.

2008
Berhasil mendorong munculnya peraturan daerah soal transparansi—Perda Nomor 17 Tahun 2008 di Garut.

2011
Berhasil mendorong munculnya peraturan daerah soal penyelenggaraan pendidikan—Perda Nomor 17 Tahun 2011. G2W juga berhasil membina Forum Warga di 28 desa.


Daftar nama pejabatnya:

  1. Bupati Agus Supriadi 10 tahun penjara
  2. Wakil Ketua DPRD Garut Dikdik Darmika, dalam kasus dana bantuan sosial, divonis 3 tahun penjara
  3. Ketua Partai Golkar Garut Ruhiyat Prawira, dalam kasus dana bencana alam, divonis 4 tahun penjara
  4. Sekretaris Daerah Garut Achmad Muttaqin, dalam kasus makan-minum Sekretariat Daerah Garut, divonis 5 tahun penjara

Sehabis Kritis Terbitlah Api

GARUT, Kamis, 1 Maret 2007, pukul 21.00. Agus Sugandi, yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal Garut Governance Watch (G2W), pulang ke pondoknya memanggul tas berjejal berkas investigasi kasus korupsi. Sesaat setelah melongok ketiga putranya yang sudah lelap tertidur, pria 50 tahun ini lantas merebahkan badan di samping sang istri, Ida Wagi Rahayu. Tak lama kemudian, semua penghuni rumah di pojok Jalan Sunan Muria Nomor 150 Blok 4, Perumahan Cempaka Indah, itu terlelap.

Pukul 03.00, Jumat, 2 Maret 2007. Setelah terlelap sekitar lima jam, Ida terjaga. Ia membangunkan Agus untuk mengajak dan meminta izin menunaikan salat malam. Pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember itu hanya mengiyakan, kemudian kembali tertidur dengan alasan kurang enak badan.

Namun tidur Agus kali ini tak bisa lelap. Ida, yang baru saja beberapa langkah keluar dari kamar, menjerit, "Mas, kebakaran!"

Agus, yang kepalanya masih cenat-cenut, mendadak segar. Ia lantas berlari ke tengah rumah, tempat Ida berteriak. Benar kata Ida, api besar sudah melalap habis bagian depan rumah. Kosen dan pintu terbakar, si jago merah terus menjalar. Agus dan Ida, yang panik, lalu membangunkan ketiga anaknya di lain kamar. Dengan bergegas mereka lantas menuju pintu belakang rumah. Seperti sudah dikhawatirkan, pintu belakang pun sudah menyala.

"Saya beranikan diri saja untuk mendobrak. Kalau tidak, bisa mati semua," Agus menceritakan kembali kejadian yang menimpa keluarganya empat tahun lalu itu kepada Tempo.

Akhirnya mereka sekeluarga selamat dari kepungan api dan lantas menuju pekarangan rumah. Dengan bantuan tetangga, api bisa dipadamkan setengah jam kemudian.

Ada hal aneh yang hingga kini masih menjadi teka-teki bagi Agus. Di sekeliling rumahnya yang sudah habis terbakar tercium bau bensin yang amat menyengat. Para tetangga dan jurnalis Garut yang kala itu langsung menyambangi rumah Agus juga mencium bau yang sama. Keanehan diperkuat oleh ditemukannya ceceran bensin di tanah pekarangan dan tanaman. "Dari temuan itu, saya yakin itu bukan kebakaran, tapi pembakaran," kata Agus.

Namun, apa daya, temuan hanya tinggal temuan. Laporan soal pembakaran rumahnya ke polisi tak kunjung tuntas hingga hari ini. Bolak-balik pria yang kini duduk di jajaran penasihat G2W itu bertanya, aparat tak pernah bisa menjawab apa-apa selain melulu dalam penyelidikan.

Pembakaran rumah Agus diakui pendiri Garut Governance Watch lainnya, Apit Masduki, sebagai puncak intimidasi terhadap para aktivis lembaga swadaya masyarakat pegiat pemberantasan korupsi di kota dodol itu. Sebelumnya, mereka mengalami puluhan atau bahkan ratusan intimidasi lainnya. "Sasarannya sudah ke jiwa," katanya.

Kala itu G2W memang sedang gencar menginvestigasi beberapa kasus korupsi. Yang paling utama adalah yang berhubungan dengan Bupati Agus Supriyadi—belakangan sang bupati divonis bersalah melakukan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Garut lebih dari Rp 9,1 miliar. Banyak pihak menduga pembakaran rumah Agus disebabkan oleh kekritisan G2W dalam mengungkap kasus korupsi di kota berjulukan Kota Intan itu.

Kini kejadian pembakaran sudah lama berlalu. Walau banyak berkas yang ikut raib dalam peristiwa itu, G2W masih ada dan terus kritis terhadap pemerintah Garut. "Sejak saat itu, saya dan teman-teman malah jadi tambah tidak takut sama tindakan premanisme," kata Agus. "Tapi ini bukan berarti menantang, ya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus