Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMLAH mereka tak jelas, mungkin ratusan, bisa juga ribuan. Tersebar dari kota besar sampai pelosok desa. Pada awalnya mereka berangkat dengan satu semangat: peduli terhadap ancaman jahat praktek korupsi, yang dari tahun ke tahun seperti tak kunjung surut. Kepedulian itu diwujudkan dengan membentuk lembaga swadaya masyarakat antikorupsi.
Belakangan memang tak sedikit LSM yang ternyata cuma mencari keuntungan sesaat atau—paling tidak—batu loncatan pendiri atau pengurusnya masuk partai politik. Sebaliknya, tetap ada lembaga swadaya antikorupsi yang konsisten berdiri paling depan membongkar penyelewengan penggunaan uang negara. Mereka yang baik ini tentunya harus dirawat dan diruwat.
Dengan niat baik inilah rapat redaksi pada pekan pertama Oktober lalu memutuskan memilih LSM antikorupsi terbaik sebagai tema liputan khusus Tokoh Tempo 2011. Dalam diskusi singkat menjelang makan siang seusai rapat perencanaan, dan tanpa perdebatan panjang, tema ini menyisihkan usul lain yang sempat muncul, seperti jaksa dan polisi terbaik.
Kehadiran lembaga sukarela antikorupsi yang bebas sogok dan kepentingan pihak tertentu dinilai tetap menjadi kebutuhan penting saat ini. Mereka diharapkan bisa menjadi "anjing pengawas" para pengelola anggaran negara. Indonesia Corruption Watch (ICW), yang telah malang-melintang membongkar kasus korupsi, bisa dijadikan contoh. "Harusnya lebih banyak ICW baru lahir di daerah," kata Redaktur Eksekutif Majalah Tempo Arif Zulkifli.
Dengan pertimbangan itu, sejumlah kriteria ketat ditetapkan. Yang bisa menjadi nomine adalah lembaga berprestasi monumental dalam membongkar kasus korupsi, independen, transparan dalam penggunaan dana, dan berusaha mandiri dalam pembiayaan organisasi. Syarat lain: para pendiri dan pengurusnya tidak terafiliasi dengan partai politik serta memiliki sistem kaderisasi.
Dalam mencari kandidat, tiga perwakilan lembaga yang telah malang-melintang melawan korupsi diundang dalam sebuah diskusi dengan tim yang dibentuk redaksi Tempo pada awal November lalu. Mereka adalah anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa; Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko; dan Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Mukri Friatna.
Pilihan mengundang Danang sebagai panelis ditempuh karena semula disepakati ICW akan dikesampingkan sebagai kandidat. Selain sudah terlalu "sohor", keberadaannya di ibu kota negara dinilai tidak terlalu sulit untuk tetap survive. Namun niat itu urung. Selain karena konsistensinya membongkar kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir, organisasi ini sangat kreatif menggalang pendanaan publik. Inilah contoh ideal tentang bagaimana seharusnya sebuah lembaga nirlaba bergerak.
Ketiga panelis satu per satu diminta menyebutkan LSM di daerah yang masuk kriteria. Danang menyebutkan delapan lembaga yang menjadi jaringan ICW di seluruh Indonesia. Mukri menyodorkan dua perwakilan Walhi yang aktif dalam kegiatan membongkar praktek korupsi di sektor lingkungan. Mas Achmad Santosa menyorongkan dua nama—salah satunya ICW. "Kurang fair kalau tidak memilih ICW," katanya. "Untuk saat ini, mereka yang paling layak dijadikan panutan."
Dalam pertemuan hingga larut malam, sempat tercetus memasukkan dua kandidat baru, yaitu satu lembaga yang membantu reformasi birokrasi di Mahkamah Agung, satu lagi pusat kajian antikorupsi di sebuah universitas terkenal. Namun keduanya gagal masuk karena faktor mempertimbangkan "upaya untuk tetap survive" tidak sekeras para aktivis di daerah.
Dari rapat dengan panelis itu, tim memperoleh 12 nama lembaga sebagai kandidat. Bersamaan dengan itu, para koresponden Tempo yang tersebar di ibu kota provinsi dan kabupaten seluruh Indonesia juga ikut mencari kandidat lain. Mereka bergerak cepat, dan dalam sepekan masuk sekitar sepuluh kandidat baru. Akhirnya, lewat rapat singkat dengan merujuk pada kriteria yang sudah disepakati, 22 organisasi yang masuk "diperas" menjadi sepuluh lembaga yang akan diverifikasi.
JAUH-jauh hari sebelum mengantongi sepuluh nama, tim tidak mematok berapa kandidat yang akan dipilih. Sepuluh kandidat yang tersaring ini juga sewaktu-waktu bisa dicoret, jika dalam tahap verifikasi ditemukan informasi dan data baru tentang kelemahan mereka. Pada tahap awal, proses verifikasi dilakukan dengan mengirim penugasan kepada koresponden Tempo di daerah tiap kandidat berdomisili. Mereka diminta mencari informasi "pinggiran" dari pihak penegak hukum, pejabat daerah, dan LSM sejenis tentang sepak terjang para kandidat. Dari proses ini, kami menjumpai sejumlah informasi baru yang membuat tiga kandidat tergusur. Alasannya beragam, antara lain karena tidak secara khusus melakukan gerakan antikorupsi dan tidak lagi aktif melakukan kegiatan.
Berbekal hasil verifikasi tahap pertama, berikutnya tujuh penulis diterjunkan melakukan reportase dan wawancara langsung dengan tiap kandidat. Selama empat hari di lokasi, tim penulis menguliti secara mendalam lembaga tersebut sambil tetap menyisir informasi baru yang mungkin terlewatkan. Menelisik kekayaan para pengurus sampai ikut menginap di kantor mereka merupakan sejumlah aktivitas verifikasi yang dilakukan.
Sampai akhirnya, setelah para penulis kembali ke Jakarta, tim edisi khusus menyepakati memilih tujuh lembaga nirlaba antikorupsi sebagai Tokoh Tempo 2011. Mereka adalah Indonesia Corruption Watch (Jakarta), Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Pekanbaru), Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Mataram), Garut Government Watch (Garut), Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Semarang), Walhi Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh), serta Kelompok Kerja 30 (Samarinda).
Demikianlah, Pembaca. Sejak memulai liputan hingga tulisan ini diturunkan, kami sadar bahwa pilihan ini tidak sempurna. Bisa saja, setelah tujuh lembaga nirlaba antikorupsi ini kami nobatkan sebagai Tokoh Tempo 2011, terkuak noda dari mereka yang terpilih. Atau sebaliknya, ada lembaga yang lebih layak dipilih tapi luput dari radar kami. Namun, seperti prinsip dasar yang kami pahami, kebenaran jurnalistik adalah kebenaran dalam sekuel tertentu—bisa berubah ketika waktu menunjukkan hal sebaliknya.
Tim edisi khusus tokoh 2011 Penanggung Jawab: Budi Setyarso Kepala Proyek: Setri Yasra, Yandhrie Arvian Penyunting: Budi Setyarso, Setri Yasra, Yandhrie Arvian, Amarzan Loebis, Idrus F. Shahab, Mardiyah Chamim, Purwanto Setiadi, Bina Bektiati, Qaris Tajudin, Y. Tomi Aryanto, Wahyu Dhyatmika Penulis: Anton Aprianto, Tito Sianipar, Anton Septian, Sandy Indra Pratama, Harun Mahbub, Irfan Budiman, Dwi Wiyana, Setri Yarsa Penyumbang Bahan: Adi Warsidi (Aceh), Firman Hidayat (Samarinda), Jupernalis Samosir (Pekanbaru), Supriyantho Khafid (Mataram), Rofiuddin (Semarang), Zigit Zulmunir (Garut), Edi Faisol (Tegal), Nurochman Arrazie (Lampung), Ayu Cipta (Tangerang), Muhammad Darlis (Palu), Anang Zakaria (Yogyakarta), Febrianti (Padang) Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian Foto: Dwi Narwoko Desain: Eko Pambudi, Ehwan Kurniawan, Kendra Paramita, Aji Yuliarto, Rizky Lazuardi, Agus Darmawan, Tri Watno Widodo Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 24 Maret 2014 Guna-guna Aktivis Muda<font face=arial size=2 color=#ff9900>Indonesia corruption watch</font><br />Pengusik Rasuah dari Kalibata<font face=arial size=1 color=#ff9900>Tujuh Lembaga Nirlaba Antikorupsi</font><br />Mereka yang Tak Pernah SurutHujan<font face=arial size=2 color=#ff9900>Robin Lim</font><br />Ogah Selebritas PODCAST REKOMENDASI TEMPO arsip Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |