Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STAN mini di pojok lantai dasar Gramedia, Depok, Jawa Barat, itu penuh semangat. Didominasi merah tua, terpajang banner: "Tunjukkan Eksistensimu Dukung Kami". Dibuka selama sebulan, inilah stan Indonesia Corruption Watch buat menjaring dana masyarakat.
Empat orang bertugas, mencoba "merayu" pengunjung toko. Banyak pengunjung hanya geleng kepala. Ada yang menghindar karena mengira didekati tukang rayu kartu kredit. Sejak Desember, para aktivis itu menjaring 20-an suporter—penyumbang dana—dari mahasiswa, pegawai swasta, sampai pengacara. Donasinya mulai Rp 75 ribu sampai Rp 200 ribu per bulan dengan komitmen rata-rata setahun.
Program itu digagas ICW sejak Januari tahun lalu agar tidak terus bergantung pada donor asing. "Sudah saatnya masyarakat dilibatkan dalam gerakan antikorupsi, bukan hanya menonton," kata Johanes Danang Widoyoko, koordinator lembaga swadaya masyarakat itu.
Selama setengah tahun, ICW menyiapkan model penggalangan. Illian Deta Artasari—sebelumnya memimpin bagian hukum dan monitoring peradilan—ditunjuk menjadi koordinator. Ia segera merekrut 17 petugas. Greenpeace, World Wide Fund for Nature (WWF), dan Yayasan Dompet Dhuafa—lembaga nirlaba yang lebih dulu mengumpulkan dana publik—diundang berbagi pengalaman.
Setelah itu, aktivis memilih mal dan toko buku untuk penggalangan suporter. Mereka menggelar kegiatan sosial di situ. Di beberapa tempat, mereka harus membayar sewa. Sejauh ini stan baru dibuka di Jakarta, Depok, dan Tangerang. Sumbangan minimal ditetapkan Rp 75 ribu dan maksimal Rp 10 juta per bulan.
Buat memudahkan suporter, layanan autodebit dipakai. Cukup mengisi administrasi di stan lalu, setelah verifikasi, bank memotong dana di rekening suporter. Suporter wajib menyerahkan fotokopi kartu identitas, juga salinan kartu kredit atau kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Untuk donatur Rp 1 juta lebih, ICW melakukan verifikasi ulang. Calon suporter yang sedang tersandung persoalan hukum langsung dicoret.
Sejumlah bank ditawari kerja sama, sejak Juli 2010. Namun baru BNI yang memberi lampu hijau. Pada bulan pertama, hanya dua suporter terjaring. Donasinya Rp 175 ribu. Jumlahnya melonjak setelah beberapa bank mau bermitra pada Agustus 2010. Total dana bisa Rp 10 juta per bulan.
Jumlahnya meningkat pesat setelah BCA bersedia memberi fasilitas autodebit. Sejak Maret lalu, terkumpul dana minimal Rp 30 juta per bulan. Lalu Bank Mandiri membuka pintu pada September lalu, dan donasi terkumpul Rp 75 juta per bulan. Sampai November, terkumpul Rp 231 juta dari 800 suporter. Untuk laporan, ICW menerbitkan buletin tiga bulanan yang dikirim ke suporter.
DONASI publik dipakai ICW untuk mendanai gerakan antikorupsi. Bagian terbesar untuk advokasi. Selama ini kegiatan itu didanai saweran anggota atau patungan dengan lembaga nonpemerintah lainnya. Sejak awal lembaga donor menolak mendanai advokasi, pekerjaan utama ICW.
Selain berdemonstrasi menuntut penuntasan kasus korupsi, ICW membuka layanan pengaduan di kantor lembaga ini di kawasan Kalibata Timur, Jakarta Selatan. Setiap pelapor dilibatkan sejak awal. Ini untuk menghindari syak wasangka jika pengaduannya ternyata tak bisa diteruskan. "Supaya tidak ada tuduhan main mata," kata Teten Masduki, pendiri lembaga itu.
Tak jarang pelapor menolak dilibatkan atau hanya berani mengirim surat kaleng. Tim peneliti ICW akan menganalisis laporan gelap itu. Jika disimpulkan ada unsur korupsi, tim divisi investigasi melakukan verifikasi dan klarifikasi ke lapangan. Kalau informasinya cocok, baru dilaporkan ke lembaga penegak hukum.
Pada akhir 2009, ICW menerima dokumen dari seseorang yang sejak awal minta dirahasiakan. Isinya, data rekening gendut sejumlah perwira tinggi Kepolisian. Setelah mempelajari dokumen, tim turun melakukan verifikasi. Bank tempat rekening milik perwira disambangi. Perusahaan penyetor duit juga ditelusuri. Hasilnya, disimpulkan satu perusahaan diduga menyuap perwira tinggi polisi. Sayang, sejak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada Juli 2010, perkara ini tak jelas kabarnya.
Advokasi kerap dilakukan dengan menggandeng lembaga nirlaba lainnya. Tujuannya, isu yang digarap lebih didengar. Dengan model ini, pelan-pelan ICW membangun aliansi yang solid dengan lembaga swadaya masyarakat lain, termasuk di daerah. Mereka bekerja sama, seperti menelusuri rekam jejak calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang berasal dari daerah.
DIDIRIKAN di tengah euforia reformasi, 21 Juni 1998, lembaga ini dinamai Komisi Masyarakat untuk Penyelidikan Korupsi. Sejumlah aktivis antikorupsi menjadi pendiri, di antaranya Teten Masduki, Bambang Widjojanto, dan Marsillam Simandjuntak.
Pada tahun awal, ICW lebih berkonsentrasi membangun model. Mereka lebih banyak melakukan advokasi agar publik berani melaporkan perkara korupsi. Kegiatan berjalan menumpang pendanaan Yaya san Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. "Melawan korupsi butuh waktu lama," kata Teten.
Pada awal 2001, lembaga ini mencari donor asing. Namun para aktivis berusaha ekstrahati-hati. Lembaga internasional yang memiliki proyek di Indonesia dan diawasi ICW—seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB)—ditolak. Dana donor asing ini dipakai buat membiayai program pendidikan antikorupsi.
Dari anggaran setiap program, 9 persen disisihkan untuk gaji. Advokasi didanai duit di luar donor. Misalnya kumpulan 15 persen honor anggota ketika mereka diundang menjadi pembicara. Donasi suporter dipakai buat menambal kegiatan ini.
Tentu saja "urusan hidup" aktivis perlu dipikirkan. Selain menerima gaji, anggota ICW mendapat tunjangan dan asuransi kesehatan. Ada pula cuti tahunan. Menurut Emerson Yunto, Wakil Koordinator ICW, gaji aktivis tak cukup untuk sebulan. "Di sini kami dituntut kreatif, misalnya mengirim tulisan ke media," kata dia.
Untuk merekrut anggota, ICW membangun "jenjang karier". Perlu sembilan bulan bagi volunter agar diakui menjadi anggota. Mereka direkrut melalui lowongan terbuka atau melalui rekomendasi mitra di daerah. Suatu ketika ada volunter ketahuan menggelembungkan dana tiket tugas ke Lampung. Pergi menumpang bus, ia melaporkan naik pesawat. Sang volunter segera dipecat.
Setiap tahun laporan keuangan ICW diaudit kantor akuntan publik. Tiga tahun terakhir, mereka menunjuk kantor akuntan publik Yanuar & Riza. "Hasilnya selalu wajar tanpa pengecualian," kata Riza Risaman, salah seorang auditor.
Tak ada gading yang tak retak. Sejumlah politikus terus menyerang lembaga itu, antara lain dengan menempelkan stempel "agen asing". Kritik dilontarkan Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy. Menurut dia, ICW seharusnya menyampaikan pengaduan akurat dan didukung fakta hukum kuat. Adapun Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai kapasitas ICW di daerah masih lemah. "Padahal tren korupsi bergeser ke sana," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo