Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Segunung Koin untuk Prita
Dukungan dan simpati publik terhadap Prita Mulyasari, 23 tahun, tak berhenti. Ibu dua anak ini menjadi ikon ketidakadilan hukum di Indonesia. Ia menjadi pesakitan hanya karena mengeluhkan pengalamannya yang tidak menyenangkan lewat surat elektronik sewaktu dirawat di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang. Tidak hanya diadukan ke polisi dan digugat perdata, ia juga sempat dijebloskan ke penjara.
Publik marah, dan kecaman mengalir dari mana-mana. Penerapan Pasal 27 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik kepada Prita yang dituduh mencemarkan RS Omni sangat berlebihan. Di dunia maya, para facebooker tidak saja menggalang opini mendesak Prita dibebaskan, tapi juga mengingatkan kasus Prita bisa menimpa siapa pun.
Di jalur perdata, pengadilan memenangkan Omni. Prita diperintahkan membayar ganti rugi Rp 204 juta. Masyarakat menyambut vonis itu dengan melakukan penggalangan ”koin untuk Prita”. Jumlah yang terkumpul melampaui nilai ganti rugi yang diputuskan hakim.
Itulah koin simbol simpati terhadap Prita sekaligus ejekan untuk pemilik kekuasaan: mereka yang melihat hukum hanya hitam-putih, bukan atas nama kemanusiaan dan keadilan.
foto-Foto: Tempo/Tony Hartawan, Panca Syurkani
Geger Lakon Antasari
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar diajukan ke pengadilan atas tuduhan terlibat pembunuhan berencana terhadap Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Jabatannya sebagai Ketua KPK, Oktober lalu, dicopot begitu ia berstatus terdakwa. Selain Antasari, Sigid Haryo Wibisono dan Komisaris Besar Wiliardi Wizar juga diajukan ke pengadilan. Bersama kedua orang tersebut, menurut jaksa, Antasari merencanakan pembunuhan itu.
Saat berada di tahanan, Antasari juga menerbitkan testimoni yang berbuntut ditetapkannya dua komisioner, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, menjadi tersangka penyalahgunaan wewenang.
foto: TEMPO/Adri Irianto
Minah dan Tiga Kakao Itu
Hanya karena mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpin Sari Antan di Dusun Sidoharjo, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, Minah, 65 tahun, pada 19 November lalu divonis satu bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan.
Kasus Minah adalah kasus kesewenang-wenangan kekuasaan terhadap orang kecil. Penegak hukum bagaikan robot yang bisa digerakkan siapa pun atas nama ”telah dirugikan”. Maka kita melihat ”Minah” lain bermunculan: orang-orang miskin yang diseret ke kantor polisi dan diadili hanya lantaran mencuri buah kapuk atau sabun.
Inilah ironi hukum kita di tengah vonis ringan pelaku korupsi. Lihatlah, misalnya, bagaimana hukum memperlakukan empat anggota DPRD Jawa Tengah. Didakwa menilap uang negara Rp 2,16 miliar, mereka hanya divonis setahun penjara.
FOTO: ANTARA/Idhad Zakaria
Taring KPK Masih Tajam
Akhirnya Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 September lalu. Inilah undang-undang yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi segera dibuat setelah Mahkamah menyatakan Undang-Undang Tipikor mesti berdiri sendiri, tidak menyatu dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Mahkamah memberi waktu undang-undang ini selesai pada 9 Desember 2009.
Sejumlah perdebatan alot mengenai kewenangan KPK mewarnai pembahasan undang-undang ini, dari masalah kewenangan penuntutan, penyadapan, hingga komposisi hakim. Kewenangan penuntutan tetap ada pada Komisi Pemberantasan Korupsi, sedangkan komposisi hakim diserahkan kepada ketua pengadilan. Yang jelas, dengan lahirnya undang-undang ini, taring Komisi Pemberantasan Korupsi terbilang masih tetap tajam.
foto: TEMPO/Arie Basuki
Besan Presiden Terjerat Duit Yayasan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 17 Juni lalu, mengganjar mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan empat tahun enam bulan. Hukuman terhadap besan Presiden Yudhoyono ini merupakan rangkaian dari hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada para pucuk pimpinan Bank Indonesia yang dinilai menyalahgunakan wewenang dalam penggunaan duit Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Rp 100 miliar, termasuk bekas Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Duit itu digelontorkan, antara lain, untuk para anggota DPR Komisi Perbankan.
Di tingkat banding, hukuman untuk Aulia belakangan dikorting enam bulan. Kini Aulia tengah menunggu putusan kasasi atas kasusnya.
foto:TEMPO/Dinul Mubarok
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo