Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, 56 tahun, tercatat dalam daftar pemilik rekening yang dicurigai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Empat cek masing-masing senilai Rp 500 juta mengalir ke rekeningnya dari PT Sampit. Ada pula Rp 2,1 miliar yang dikirim PT Kapuas Prima Coal.
Mantan Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat ini menjelaskan asal-usul dana itu kepada koresponden Tempo, Karana Wijaya Wardana. Wawancara dilakukan dua kali di teras rumahnya yang asri.
Anda dituding mendapat dana tidak sah.…
Ini perlu saya luruskan. Aliran dana ke rekening saya seperti laporan PPATK itu bukanlah dana ilegal.
Ada dana Rp 2,1 miliar masuk dari PT Kapuas Prima Coal (KPC)?
Itu hasil penjualan kebun karet, bukan dari KPC seperti yang dituduhkan. Saya tidak kenal dan tidak pernah berhubungan dengan KPC.
Bisa dijelaskan?
Penjualan itu dilakukan di hadapan notaris pada 26 Maret 2008. Pembelinya Sujaka Lae, pengusaha asal Sampit. Jual-beli dilakukan kakak saya, Pudjirastuti Narang, selaku Direktur Utama PT Handil Hambie. Kesepakatan harganya Rp 5 miliar. Ketika transaksi, Pudji menerima Rp 4 miliar dalam delapan lembar cek.
Dari mana asal kebun karet itu?
Itu hasil warisan orang tua seluas 1.690 hektare. Letaknya di Sungai Jabiren, Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau. Saya dan Pudji berkongsi sejak 1989. Pada 11 Mei 1989, kami sepakat membentuk PT Handil Hambie. Perusahaan memperoleh surat keputusan Gubernur Kalimantan Tengah dan keputusan Bupati Pulang Pisau. Intinya, kami memperoleh pelepasan kawasan hutan seluas 6.950 hektare dari Menteri Kehutanan.
Soal Rp 2,1 miliar yang masuk ke rekening kakak Anda?
Itu dari hasil penjualan kebun karet yang memang merupakan haknya.
Dalam laporan harta kekayaan Anda, ada tamÂbahan Rp 1,6 miliar dan tanah seluas 930 meter persegi di Palangkaraya….
Itu hasil penjualan kebun. Memang jatah uang hasil penjualan kebun milik saya itu Rp 2 miliar. Saya laporkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara Rp 1,6 miliar. Sisanya, Rp 400 juta, saya simpan sendiri, misalnya untuk beli mobil atau belanja lainnya. Sedangkan tanah itu saya beli seharga Rp 93 juta, ketika saya masih jadi pengacara di Jakarta.
Anda punya bisnis lain?
Saya tidak berbisnis. Bukan hobi saya. Soalnya, latar belakang saya pengacara. Bisnis dengan kakak saya itu juga sudah saya akhiri. Saya lebih suka berdiskusi politik atau seminar. Tiga anak saya juga tidak ada yang berbisnis.
Soal Hotel Sampaga di Jalan Sutoyo, Banjarmasin?
Saya tidak mau ikut campur mengelola hotel dan kekayaan lainnya, karena hidup saya lebih banyak di Jakarta. Ibu saya tinggal di situ bersama keluarga kakak. Mereka yang mengurus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo