Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya dijuluki Burhan Kampak. Sebab, saat terjadi konflik pada 1965-1966, saya sering membawa kampak (kapak) panjang untuk memburu orang yang diduga komunis. Tapi saya juga kerap mengeksekusi dengan pistol. Prinsip saya, daripada dibunuh, lebih baik membunuh.
Kebencian saya terhadap komunisme dimulai sejak mahasiswa, ketika menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya yakin komunis musuh semua agama. Salah satunya karena fatwa Muktamar Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Selatan pada pertengahan 1962. MUI menyatakan komunisme haram karena ateis. Mulai saat itu, saya berpikir, orang PKI kalau bisa dibina ya dibina, kalau tidak mau ya dibinasakan.
Pada awal 1965, tahun ketiga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, saya dikeluarkan karena memasang spanduk dan poster menuntut pembubaran Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia.
Pada saat menempel poster itu, saya ditendang hingga jatuh oleh anak CGMI. Pengurus kampus lalu memberi saya cap mahasiswa kontrarevolusioner dan menentang konsep Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunis) Presiden Sukarno.
Sebelum meletus G-30-S, pada 1963-1964 CGMI merajalela dan meneror kelompok dan mahasiswa Islam. Pendukung PKI hampir tiap hari menggelar orasi dan demo di Malioboro dan di tempat-tempat strategis lain.
Kebencian saya memuncak setelah saya dengar Ketua Comite Central (CC) PKI Dipa Nusantara Aidit berpidato melecehkan HMI. Dalam Kongres III CGMI pada 29 September 1965, Aidit bilang, kalau CGMI tak mampu menyingkirkan HMI dari kampus, sebaiknya mereka sarungan saja.
Ketika G-30-S meletus, perang terhadap PKI dan simpatisan pendukungnya gencar saya lakukan di Yogyakarta. Khususnya setelah kedatangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Yogyakarta sekitar Oktober 1965 di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Operasi pembersihan komunis ini biasa saya lakukan bersama tentara. Kami diminta membuat pagar betis, lalu tentara beroperasi. Tapi, karena masyarakat dan organisasi Islam juga menaruh dendam, kami pun sering bergerak sendiri.
Dengan posisi sebagai staf satu Laskar Ampera Aris Margono dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saya mendapat license to kill. Ada 10 orang yang diberi pistol, lalu dilatih di Kaliurang. Pistol jenis FN diberikan sekitar November 1965.
Saya paling sering kembali ke markas Kostrad di Gedung Wanitatama Yogyakarta untuk minta peluru. Saya menggelar operasi mencari simpatisan dan tokoh PKI di wilayah Yogyakarta hampir saban hari, mulai akhir 1965 sampai pertengahan 1966.
Wilayah operasi saya tidak hanya di Yogyakarta, tapi juga sampai Luweng Gunungkidul serta Manisrenggo dan Kaliwedi di Klaten, Jawa Tengah. Di Luweng, eksekusi dilakukan pada malam hari dengan cara mendorong orang yang ditutup matanya dari tebing tinggi ke aliran sungai yang mengalir ke pantai selatan Jawa.
Di Kaliwedi, sebelah barat Klaten, sebelum eksekusi, warga sekitar diminta membuat parit sepanjang 100-200 meter untuk meletakkan kader PKI yang akan dieksekusi. Eksekusi di Kaliwedi memakai senjata laras panjang dan AK. Laras pendek hanya untuk memastikan korban benar-benar mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo