Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu sore pada 1969, sebuah Chevrolet Impala memasuki Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Grobogan, Jawa Tengah. Mobil yang ditumpangi beberapa pejabat serta satu londo—sebutan masyarakat setempat untuk kulit putih—itu langsung memasuki kantor kecamatan.
Londo itu adalah Poncke Princen, aktivis hak asasi manusia yang pertama kali menyatakan adanya pembantaian 2.000-3.000 anggota Partai Komunis Indonesia di seluruh Grobogan. Dia datang bersama Panglima Angkatan Darat Jenderal Maraden Saur Halomoan Panggabean dan Menteri Penerangan Budiardjo. Mereka bermaksud mengklarifikasi kebenaran berita yang dibawa Princen itu.
Dari kantor kecamatan, rombongan itu segera meluncur ke kamp tahanan di dekat balai desa. Sebelumnya, bangunan itu hanyalah gudang beras milik Ang Kwing Tian. "Militer lalu meminjamnya untuk tempat penahanan orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI," ujar salah satu saksi yang kini menjabat perangkat desa kepada kami.
Sesampai di kamp tahanan, mereka tidak berhasil membuktikan indikasi pembunuhan, karena jumlah tahanan masih sama dengan data yang tertulis. Di kemudian hari baru ketahuan, sebelum rombongan datang, kamp itu sebenarnya nyaris kosong. Sebagian besar sudah dieksekusi oleh mereka yang tergabung dalam milisi Pertahanan Rakyat (Hanra) Inti, anggota Hanra paling terlatih.
Agar jumlahnya kembali sesuai dengan daftar orang yang ditangkap, tentara kembali menangkapi orang. "Kali ini yang ditangkap bukan orang-orang PKI, melainkan pengagum Sukarno, yang sering disebut Sukarnosentris," ujar saksi mata itu.
Meski misi Princen untuk membuktikan pembantaian seperti yang dituduhkannya gagal, kedatangan Impala itu membawa perubahan di desa tersebut. "Sebelumnya, setiap pukul tiga pagi selalu ada tahanan masuk ke kamp, kemudian siangnya dibawa entah ke mana dan menghilang," ujar Suwito, warga Kuwu lainnya yang menyaksikan penangkapan itu. Setelahnya, kamp itu dibubarkan, tahanan disebar ke tempat lain, dan ketegangan di desa tersebut berangsur terurai.
Princen mendapat kabar pembantaian itu dari Romo Wignyo Sumarto, seorang pastor di ibu kota Kabupaten Grobogan, Purwodadi. Kepada Princen, Romo bercerita banyak orang ditangkap kemudian dibunuh dalam operasi pembersihan PKI, yang dikenal dengan Operasi Kikis I dan II, pada 1967-1968.
Romo mendengar sendiri hal itu dari pengakuan penjaga kamp-kamp tahanan di sebelah timur Semarang. Dalam cerita itu, orang yang ditangkap kemudian dibunuh dengan cara dipukul di bagian kepala dengan batangan besi. "Ini dilakukan pada malam hari setelah kereta api Yogya lewat," ujar Princen dalam biografinya, Kemerdekaan Memilih.
Salah satu anggota milisi Hanra Inti, bernama Mamik, menceritakan itu dalam pengakuan dosanya. Mamik menyebutkan telah membunuh 50 orang hanya dalam semalam.
Cerita Romo Wignyo ini kemudian diungkap Princen kepada pers nasional dan internasional. Henk Kolb, wartawan harian Belanda, Haagsche Courant, menjadikan cerita itu sebagai acuan investigasinya.
Dalam laporannya, Kolb menyebutkan ada tujuh ladang pembantaian atau kuburan massal, yakni di Desa Simo (300 mayat yang terkubur), Cerewek (25), Kuwu (100), Tanjungsari (200), Banjarsari (75), Grobogan (50), dan Pakis (100 mayat).
Sedangkan untuk kamp penahanan, kamp yang paling besar adalah gudang beras milik Ang Kwing Tian itu. "Tahanan berasal dari berbagai tempat. Demikian pula dengan satu regu Hanra Inti yang bertugas jaga di situ," ujar sumber Tempo yang saat itu menjadi asisten petugas kesehatan di kamp tahanan.
Di kamp tersebut tahanan mengalami siksaan luar biasa, dari pukulan hingga sengatan listrik. Tidak jarang tahanan hampir gila lantaran siksaan tersebut. Pada malam-malam tertentu, para anggota Hanra Inti mengeluarkan sedikitnya 20 tahanan. Mereka diangkut dengan truk ke suatu tempat. Di lokasi tersebut, para tahanan dieksekusi dengan cara dipancung atau dipukul tengkuknya dengan besi.
Beberapa penduduk juga menyebut hutan Gundih di luar Desa Kuwu sebagai tempat pembantaian. Mereka tahu hutan jati ini merupakan tempat eksekusi lantaran tanpa sengaja algojo meninggalkan satu potongan kepala yang lupa dikubur.
Seorang petani bernama Sugiri, kepada sejarawan Bonnie Triyana, mengaku pernah melihat langsung seseorang yang kepalanya dipukul besi hingga tewas. Mayatnya langsung dikubur di tempat dan di atasnya ditanam pohon pisang.
Wartawan Harian Indonesia Raya yang ikut melaporkan kejadian di Grobogan, Maskun Iskandar, menyebutkan razia terhadap PKI di Purwodadi diawali dengan penangkapan Sugeng karena sering merampok. Dalam pemeriksaan, Sugeng mengatakan PKI sedang giat membentuk Tentara Pembebasan Rakyat. "Berdasarkan keterangan awal itulah pembersihan terhadap PKI dilakukan," ujar Maskun.
Menurut Bonnie, berbeda dengan pembantaian di Jawa Timur yang melibatkan masyarakat secara sukarela, di Grobogan tentara langsung memberi komando kepada elemen masyarakat. "Lebih baik kalian (masyarakat) membersihkan (komunis) sendiri daripada saya yang membersihkannya," kata Komandan Kodim 0717 Purwodadi Letnan Kolonel Tedjo Suwarno, seperti dikutip Princen.
Apa yang dilakukan Tedjo sebenarnya merupakan perintah atasannya. Menurut seorang sumber Tempo, ada radiogram langsung dari Panglima Kodam VII/Diponegoro Mayor Jenderal Surono, yang meminta Kodim 0717 melakukan operasi pembersihan PKI. "Operasi pengamanan ini tentunya berbentuk penangkapan dan pembantaian itu," ujar sumber Tempo tersebut.
Beberapa hari setelah Princen mengungkapkan cerita mengenai pembantaian PKI kepada pers, Panglima Kodam VII/ Diponegoro Mayor Jenderal Surono membuat bantahan. Dia mengatakan apa yang disampaikan Princen adalah bentuk perang urat saraf yang dilancarkan PKI dalam rangka menggagalkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang sedang dilakukan pemerintah Orde Baru.
Bukti adanya perintah dari pusat juga tertuang dalam memori intelijen serah-terima jabatan Kepala Staf Kodam Diponegoro tertanggal 23 Juli 1968. Memori intelijen ini secara gamblang menyebutkan jumlah anggota PKI yang telah ditangkap dalam Operasi Kikis II: 172 orang klasifikasi A, 248 orang klasifikasi B, dan 472 orang klasifikasi C. "Biasanya yang klasifikasi A itu yang kategorinya berat dan pasti dihabisi," ujar sumber Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo