Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mbah Wiryo merinding ketika menyaksikan tiang fondasi bekas jembatan yang berdiri di tengah Bengawan Solo. Perempuan 80 tahun itu ingat tragedi 47 tahun silam. Bekas jembatan di Desa Telukan, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu jadi saksi bisu pembantaian terhadap mereka yang dituding terlibat Partai Komunis Indonesia.
Setelah September 1965, dari rumahnya yang berjarak 100 meter dari Jembatan Bacem tersebut, ia kerap mendengar suara tembakan. "Lalu ada suara seperti benda jatuh ke sungai," kata perempuan yang terlahir bernama Suyek ini, Sabtu dua pekan lalu. Suara itu datang dari jasad yang tercebur ke sungai.
Pada saat itu, selama enam bulan, tiap 2-3 hari sekali ada eksekusi terhadap aktivis PKI. Jika bunyi dor senjata api menyalak, penduduk sekitar jembatan memilih mengunci pintu. "Kalau ada di luar rumah takut dituduh PKI," katanya. Penduduk baru berani ke luar rumah ketika pagi menjelang. Kerap, pada pagi hari, ia menyaksikan mayat terdampar di tepi Bengawan Solo. Lalu beberapa orang menggeser mayat bergelimpangan itu ke tengah sungai agar terbawa arus.
Jembatan yang berjarak 4 kilometer dari jantung Kota Solo itu memang merupakan salah satu tempat favorit eksekusi. Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Sudharmono, mengatakan eksekusi mati orang-orang PKI di atas Jembatan Bacem terjadi pada sekitar Oktober 1965. Akibat pembantaian itu, air Bengawan Solo berwarna darah. Kadang penduduk mendapati jari manusia di perut ikan. Ketika terjadi banjir besar pada 1966, bekas eksekusi di Bengawan Solo hilang. "Sungai kembali jernih," kata Sudharmono.
Bibit, yang pernah ditahan di Komando Distrik Militer Solo karena dituding sebagai PKI, menghitung ada 144 tahanan yang satu per satu diangkut ke tempat pembantaian. Dari banyak orang, ia mendengar para tahanan itu dieksekusi di Jembatan Bacem. Tempat itu, kata dia, juga jadi ladang membunuh tahanan dari tempat lain.
Bibit menyatakan hal ini ketika Paguyuban Korban Orde Baru berziarah ke lokasi pembantaian itu pada 2005. Testimoni Bibit ini dimuat di situs pribadi Umar Said, wartawan Indonesia yang hidup sebagai eksil di Paris. Umar meninggal hampir setahun lalu. Bibit juga mendengar kisah, beberapa hari setelah pembantaian, aparat keamanan memerintahkan masyarakat setempat untuk membersihkan bekas darah yang menempel pada besi pembatas jembatan.
Menurut Supeno, Koordinator Paguyuban, selain militer, yang mengeksekusi orang PKI di Jembatan Bacem adalah Barisan Ansor Serbaguna (Banser), yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama. "Yang saya dengar, Banser ikut menembaki PKI," katanya Sabtu dua pekan lalu.
Tapi sesepuh NU Solo, Kiai Haji Abdul Rozaq Shofawi, membantah anggapan bahwa Banser NU ikut membantai. Menurut dia, Banser hanya bertugas menjaga pesantren dari ancaman orang-orang PKI. Mereka bersiaga karena belum ada militer yang masuk ke Solo. "Waktu itu ada kabar PKI akan membunuh kiai-kiai NU," katanya.
Supeno, kini 82 tahun, masuk penjara milik tentara pada November 1965 dengan tudingan terlibat PKI. Menurut dia, eksekusi di Jembatan Bacem dilakukan setidaknya 71 kali. Eksekusi selalu dilakukan sembunyi-sembunyi pada malam hari. Untuk mengenang mereka yang jadi korban, Supeno, yang punya enam anak, setahun sekali berziarah ke Jembatan Bacem. Ia nyekar bersama kawan senasib dan keluarga korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo