Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ingatannya selalu kembali ke masa lalu setiap kali orang menanyakan telinga kirinya yang terbelah. Kembali ke pagi, akhir Oktober 1965, ketika Soepomo hendak berangkat mengajar di Sekolah Dasar Ampel, Boyolali. Sekelompok tentara menangkapnya di daerah Mojosongo Utara. Dia dibawa ke kantor Bintara Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat atau Komando Rayon Militer Mojosongo, Boyolali.
Di kantor itu, Soepomo—kini 67 tahun—diinterogasi soal pemilikan senjata dan tuduhan pembunuhan. Meski tak terbukti, dia tetap disiksa. "Dua hari dua malam, telinga dan betis dibabat pedang samurai, kepala dipukul popor senjata, punggung dicambuki dengan karet besar ukuran 5-6 sentimeter sepanjang 60 sentimeter," ujar pria yang kini menjadi Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 itu.
Geger peristiwa G-30-S rupanya telah membuat tentara dan massa bergerak di daerah Boyolali, Klaten, Solo, dan sekitarnya. Wilayah Jawa Tengah saat itu disebut daerah merah, yang dikuasai Partai Komunis Indonesia dan afiliasinya. Dia menyebutkan operasi penumpasan PKI oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat dan pasukan Komando Daerah Militer VII/Diponegoro mulai berlangsung sejak 22 Oktober 1965.
Soepomo diciduk lantaran aktif sebagai anggota pengurus Pemuda Rakyat Kabupaten Boyolali. Dia mengaku sebelumnya sempat menjadi target pembunuhan, tapi selalu berhasil menghindar berkat bantuan teman-temannya. Namun akhirnya dia ditangkap, ditahan di beberapa kamp, dan bekerja paksa bertahun-tahun.
Hampir 50 tahun berlalu, Soepomo kini bergiat dalam advokasi korban peristiwa itu. Dia bersama seorang saksi yang masih hidup mendata tempat-tempat pembantaian dan penguburan, termasuk yang di Sonolayu. Tempat itu tak jauh dari Taman Makam Pahlawan di Kabupaten Boyolali di kaki Gunung Merapi.
"Di sanalah ratusan orang dibantai," ucapnya. Sekarang tanah kebun ini dita-nami ketela pohon dan pepaya. Beberapa nisan dan batu penanda diletakkan keluarga yang peduli peristiwa itu.
Ladang pembantaian lain adalah di Lapangan Kaligentong, Kecamatan Ampel; Lawang, Kelurahan Jurug; Ketaon, Kecamatan Banyudono; dan jurang Porong di perbatasan Kecamatan Musuk-Klaten. Kuburan ratusan korban juga ditemukan di Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Lokasinya ada di daerah Gunung Butak—sebuah bukit kecil—di jalan yang menghubungkan Kecamatan Sruwen, Semarang, dan Kecamatan Karanggede, Boyolali. Tempat lain, menurut penelitian Singgih Nugroho dari Yayasan Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik) Salatiga, ada di Alas Kopen, Kecamatan Bringin, dan Lapangan Skeep Tengaran.
Operasi penumpasan aktivis PKI juga bergerak ke selatan, menuju daerah Tulung, perbatasan Boyolali-Klaten. Gito Sudarmo, 82 tahun, salah satu Komandan Peleton Gerakan Masyarakat di Kecamatan Teras, Boyolali, menceritakan, mereka diminta membantu tentara Batalion E Cila-cap menangkap dan menelanjangi korban. "Salah satunya di bekas gudang gula Belanda yang sekarang menjadi gedung badminton di sebelah barat Pasar Cokro, Tulung," ujarnya.
Gito bersama 30 pemuda biasanya bertugas "mengambil jatah"—menangkap orang yang diduga anggota PKI. Biasanya, tiga orang yang ditangkap tentara dikawal lima anggota peleton Gito. Kebanyakan tertangkap dalam kondisi babak-belur. Beberapa bahkan tewas lantaran ramai-ramai dipukuli.
Mereka membawa tawanan ke lokasi eksekusi. "Di lokasi tersebut sudah ada lubang untuk menguburkan mayat. Siapa yang menggali, saya tidak tahu," ucap Gito.
Pria sepuh ini mengatakan mereka tak pernah mengeksekusi tawanan di tempat yang sama. Gito juga mengaku hanya mengawasi dan tak ikut mengeksekusi.
Beberapa kali mereka kesulitan saat mengeksekusi karena korban kebal senjata tajam. "Kami geledah, kalau perlu ditelanjangi sampai ketemu jimat. Kekebalan mereka hilang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo