Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan pujian dan penghargaan yang diterima Sri Suparyati ketika pertama kali mengumumkan temuan bahwa sebagian besar penyebab diare pada anak di Indonesia adalah rotavirus, bukan bakteri seperti yang diyakini selama ini. Tak cuma dipandang sebelah mata, hasil penelitiannya juga disepelekan oleh dokter spesialis anak senior.
Para dokter itu berkukuh penyebab penyakit diare di negara berkembang adalah bakteri. Padahal temuan itu berlandaskan fakta di lapangan. Rotavirus adalah virus dengan ukuran 100 nanometer yang berbentuk roda. Virus ini terdiri atas enam grup—grup A sering menyerang bayi.
Menghadapi komentar tajam itu, Suparyati pantang surut. Dia justru melawan. Ia memiliki bukti di tangan yang sangat kuat. Survei tim peneliti Universitas Gadjah Mada yang dipimpinnya bersama Profesor Ruth Bishop dari Melbourne University pada 1976 menunjukkan bahwa rotavirus adalah penyebab diare terbesar pada anak di Indonesia. Bishop adalah peneliti yang pertama kali menemukan rotavirus.
Survei rotavirus pertama di negara berkembang itu mengungkap, 38 persen diare anak di Indonesia positif disebabkan oleh rotavirus dan 12 persen disebabkan oleh faktor lain, termasuk bakteri. Belakangan, dengan metode penelitian yang lebih baik, rotavirus menjadi penyebab 60 persen diare anak di Indonesia. Di negara lain hanya 40-50 persen.
"Hasilnya ternyata tak berbeda dengan negara maju. Bahkan kejadian di Indonesia termasuk yang tertinggi," kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu.
Butuh waktu 40 tahun bagi perempuan yang kerap dipanggil Profesor Yati ini untuk meyakinkan para dokter ataupun masyarakat bahwa tak semua diare disebabkan oleh bakteri. "Wah, 'berdarah-darah'," ujarnya. "Dulu, ketika kami masih muda, disepelekan oleh yang senior. Kami lalu mengirim peneliti muda ke konferensi internasional. Mereka ternyata juga 'digebuki'."
Lumrah bila banyak dokter awalnya menolak temuan itu. Pada 1980-an, semua pengobatan diare diharuskan memakai antibiotik. Asumsinya, diare disebabkan oleh bakteri. "Ternyata semua resistan terhadap antibiotik."
Ciri umum anak yang terinfeksi rotavirus memang sama dengan penderita diare akibat bakteri. Penderita muntah dan dehidrasi berat. Oralit tak bisa masuk. Ini mempertinggi risiko kematian. Bedanya, tak ditemukan darah pada diare yang disebabkan oleh virus ini. "Kekurangan cairan (pada anak terinfeksi rotavirus) lebih berat dibanding diare lain," kata perempuan kelahiran 1944 itu.
Kini, dokter umum ataupun masyarakat sudah bisa menerima terapi pengobatan yang baru. Pasien diare hanya diberi antibiotik bila ada darah pada kotorannya untuk mencegah resistensi bakteri.
Penanganan penderita diare rotavirus dilakukan dengan lima cara. Pertama, pemberian oralit dan makan secara tepat untuk menghindari dehidrasi. Pasien juga tak boleh diberi obat antidiare dan antimuntah. Pasien diberi obat zinc (Zn) karena anak di negara berkembang lazim kekurangan unsur ini. Pemberian zinc mempercepat kesembuhan. Komunikasi dengan orang tua pasien juga penting.
"Misalnya kami menjelaskan kenapa vaksin juga penting. Ini karena muntahnya berat sehingga vaksin itu wajib," ujarnya. "Rotavirus juga tak bisa diberantas dengan kebersihan."
Namun perlawanan tersulitnya justru saat meyakinkan pemerintah agar mengubah bentuk terapi pengobatan diare anak. Suparyati menyatakan energinya banyak terkuras untuk memperjuangkan penggunaan vaksin rotavirus. Vaksin tak hanya menurunkan risiko diare rotavirus yang menular lewat oral ataupun kotoran penderita, tapi juga mencegah penggunaan antibiotik berlebihan yang memicu resistensi kuman.
Bekerja sama dengan Melbourne University dan PT Biofarma, tim Fakultas Kedokteran UGM telah mengembangkan vaksin rotavirus dengan harga terjangkau. Harga paket oral vaksin rotavirus di pasar saat ini cukup mahal, mencapai Rp 1 juta. "Diharapkan, pada 2015, vaksin ini dapat dipasarkan di Indonesia," kata Suparyati , yang membentuk Srikandi Kiprah bersama rekan sejawatnya di UGM. Srikandi merupakan forum berbagi pengalaman untuk memberdayakan peran wanita setiap Jumat petang.
Kegigihan Suparyati memperjuangkan vaksin rotavirus agar dibuat di Indonesia sebenarnya adalah "warisan" sang ayah, R. Soeratiman Poerbohusodo, seorang dokter telinga, hidung, dan tenggorokÂan, serta adik eyangnya, Raden Mas Goembrek, seorang dokter paru. Dibesarkan di lingkungan kedokteran membuat Suparyati paham bahwa menjadi dokter berarti harus menerapkan secara all out prinsip yang dipegang eyangnya, yaitu bagaimana mungkin seorang dokter berharap pasiennya sembuh jika hanya memberikan obat.
Terinspirasi prinsip itu, Suparyati , yang hingga kini masih berpraktek, tak sekadar mengobati anak-anak yang menjadi pasiennya. Dia juga mengembangkan berbagai inovasi dari kearifan lokal, seperti mengganti oralit dengan sup bila anak tak mau minum oralit, menggunakan tempe sebagai obat diare, dan meramu larutan gula garam ataupun gula jawa sebagai pengganti gula kimia yang mahal. Semua itu membuat dia terpilih sebagai dokter spesialis anak terbaik dari Asosiasi Dokter Anak Asia-Pasifik pada 2009.
Perempuan yang mahir menari ini sebenarnya tak pernah bercita-cita menjadi dokter. Ia nyaris menjadi guru tari di Amerika Serikat setelah lulus sekolah menengah atas. Peristiwa sanering pada 1959 membatalkan rencana itu dan membawanya ke Fakultas Kedokteran UGM. Perjalanan hidup pula yang mempertemukannya dengan Ruth Bishop, penemu rotavirus. Bishop memantapkan hati Suparyati agar memilih spesialisasi gastroenterologi anak, khususnya diare—penyebab kematian tertinggi pada anak balita.
Sri Suparyati Soenarto, PHD, SPA (K)
Tempat dan tanggal lahir: Sukamandi, 5 Februari 1944
Pekerjaan:
Pendidikan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo