Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Pistol Menyalak di Tegalbadeng

Pembantaian anggota PKI di Bali dimulai dari Jembrana. Ribuan orang dibunuh, nyaris tanpa perlawanan.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK banyak yang berubah dari bangunan dua lantai di tepi Jalan Manggis, Desa Lelateng, Kabupaten Jembrana, itu. Gedung bertembok tebal dengan tiga jendela besar di lantai dua itu tampak kokoh. Empat dekade lampau, gedung ini dikenal dengan sebutan Toko Wong.

Ketika Tempo berkunjung ke sana, pertengahan September lalu, orang-orang tua di Jembrana masih ingat betul sejarah gelap Toko Wong. Meski sekarang bangunan itu dipakai buat menjual mebel aneka rupa, tak mudah untuk lupa apa yang terjadi di sana pada pengujung November 1965.

"Toko itu dipakai untuk menahan orang-orang PKI," kata Ida Bagus Raka Negara, 73 tahun, bekas Kepala Desa Tegalcangkring, Jembrana. Dia lalu bercerita bagaimana setiap malam truk-truk besar membawa ratusan anggota Partai Komunis Indonesia untuk disekap di sana. "Waktu itu, penjara di pusat kota sudah penuh," ujarnya.

Para tawanan ini tak dipenjara lama-lama. Setiap kali lantai dasar dan lantai dua toko yang semula terkenal sebagai toko kelontong itu padat dengan manusia, truk-truk yang sama akan mengangkut mereka pergi. Tak ada yang kembali. Sampai suatu malam, entah kenapa, para penjaga murka. "Semua tahanan PKI diberondong dengan senapan mesin," kata Raka. Tak kurang dari 200 anggota PKI tewas malam itu.

"Mayat mereka lalu dibuang ke dalam sumur-sumur di sekitar toko," ujar seorang warga di lingkungan itu menimpali kisah Raka. Tak mau disebut namanya, dia seperti enggan mengingat tragedi di Toko Wong. Hanya satu yang membekas di kepalanya: "Darahnya banyak sekali."

l l l

Pembantaian anggota PKI di Bali tidak terjadi segera setelah penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat di Jakarta terkuak pada awal Oktober 1965. Ketika berita soal konflik berdarah di Ibu Kota sampai ke Bali, situasi politik memang memanas. Tapi belum ada gerakan yang mengarah pada pembunuhan massal anggota PKI.

Geoffrey Robinson dalam bukunya, The Dark Side of Paradise, yang mengulas sejarah kelam pembantaian politik di Bali, merunut kembali peristiwa yang kemudian berujung pada pembumihangusan semua kader komunis di Pulau Dewata itu. Dia menemukan bahwa pembunuhan besar-besaran baru terjadi pada awal Desember 1965, setelah pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat dan Komando Daerah Militer Brawijaya, Jawa Timur, mendarat di Bali.

"Sebelumnya memang ada desakan yang agresif dari Partai Nasional Indonesia dan sejumlah organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, untuk mengembalikan ketertiban dan menghancurkan pengkhianatan PKI, tapi otoritas militer di Bali tidak meresponsnya," tulis Robinson. Peneliti dari Cornell University, Amerika Serikat, ini menilai petinggi militer di Bali masih kebingungan menentukan sikap: ikut Sukarno atau Soeharto.

Selain itu, Gubernur Bali masih dijabat petinggi PKI: Anak Agung Bagus Sutedja. Kegamangan inilah yang membuat massa PKI di desa-desa relatif masih aman. Konflik sudah terjadi, tapi masih amat sporadis. Di beberapa kabupaten, anggota Pemuda Rakyat—organisasi pemuda afiliasi PKI—bahkan sempat menyerang seterunya dari PNI atau Nahdlatul Ulama.

Pada pertengahan November 1965, misalnya, massa PKI sempat menyerang kader PNI di Gerokgak, Buleleng Barat, dan Desa Bungkulan, Buleleng Timur. Bentrokan pecah, sejumlah pemuda tewas, tapi api tak menyebar ke wilayah lain.

Barulah setelah Sutedja dicopot pada akhir November 1965, mulai terjadi perubahan. Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah—penguasa militer tertinggi di sebuah provinsi pada masa itu—Brigadir Jenderal Sjafiuddin memerintahkan semua orang yang diduga berkaitan dengan PKI membuat pernyataan terbuka mengutuk peristiwa G-30-S. Militer juga mulai menerbitkan berbagai daftar nama orang yang diduga PKI, lengkap dengan dokumen "rencana pemberontakan".

Amarah massa mulai memuncak. Sebuah insiden di Tegalbadeng, Jembrana, kemudian jadi awal pembantaian massal di Bali.

Pada 30 November 1965, seorang tentara dan dua pemuda anggota Barisan Ansor NU mengendap-endap di luar rumah Santun, seorang polisi, di Tegalbadeng. Malam itu, ada kabar bahwa Santun tengah menggelar rapat gelap pengurus PKI di rumahnya. Tak disangka-sangka, Santun memergoki mereka. Pistol menyalak. Tiga orang telik sandi itu terkapar tak bernyawa.

Dengan cepat, berita pembunuhan itu menyebar. Malam itu juga tentara menyerbu Desa Tegalbadeng. "Orang-orang berlarian seperti ayam dikejar-kejar. Suara tembakan terdengar sepanjang hari," kata Dewa Ketut Denda, warga Tegalbadeng, yang kini berusia 78 tahun, ketika Tempo datang ke desa itu dua pekan lalu. Tak jelas berapa orang PKI yang dibunuh hari itu, tapi insiden ini membuat massa PNI memutuskan menyerang.

"Semua ketua PNI desa diminta mengumpulkan laki-laki yang jago berkelahi untuk jadi anggota pasukan inti," kata Ketut Denda. Pasukan ini dikenal dengan sebutan "Tameng Marhaenis". Di desanya, 30 lebih orang bergabung. Dia juga diminta ikut, tapi menolak karena takut.

Sejak itulah, kata Ketut Dewa, truk-truk mulai datang ke desa-desa, mengambil anggota serta simpatisan PKI, dan membawa mereka pergi. Di depan, para anggota Tameng membuka jalan. Sebagai warga setempat, mereka tahu betul siapa yang ada di kubu merah. Setiap hari, ribuan orang diangkut. Ada yang dikumpulkan di kuburan desa, ada yang dibawa ke Pantai Baluk Rening, tak jauh dari kampung. Di sana, pembunuhan berlangsung.

Ida Bagus Raka punya kisah serupa. Di desanya di Tegalcangkring, dia didaulat menjadi Ketua Front Pancasila. Tugasnya menyeleksi siapa yang harus dibunuh dan siapa yang boleh hidup. "Di daftar saya, ada 432 nama anggota PKI. Hanya 15 orang yang saya serahkan ke tentara," ujarnya pelan.

Sepanjang Desember, Jembrana mencekam. Adik Gubernur, Anak Agung Bagus Denia, dijemput di rumahnya di Puri Negara. "Dalam keadaan hidup, dia diseret dengan truk yang diikuti sebuah jip tentara," kata Bagus Raka, yang melihat sendiri peristiwa itu. Kemudian mayat Denia diarak dan seluruh kompleks Puri Negara dibakar habis.

Pembantaian terjadi merata di semua kota di Bali. Di Gianyar, Tempo menemui seorang pria—sebut saja namanya Wayan—bekas kepala desa yang ikut mengganyang PKI pada 1965. Rapat-rapat untuk menciduk dan menghabisi simpatisan komunis di Gianyar digelar di kantor-kantor kecamatan. "Waktu itu, ada instruksi dari Panglima Komandan Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban di Bali untuk membersihkan PKI sampai akar-akarnya," ujarnya.

Sesuai dengan keputusan rapat di kecamatan, sebagai kepala desa, Wayan merekrut 30 pria untuk menjadi anggota Tameng. Mereka bertugas mengambil 40 anggota PKI di desa mereka sendiri. Penjemputan dilakukan dinihari. "Setelah semua lengkap, kami bawa mereka ke Pantai Saba di Blahbatu, Gianyar, dengan truk," katanya. Sepanjang subuh itu, polisi dan tentara ikut mengawal penjemputan.

Di pantai, tawanan PKI dibagi berdasarkan asal desanya. Sambil menunggu, mereka diminta berjongkok di pasir. Lalu para anggota Tameng diminta bertukar posisi, agar mereka tidak membantai tetangga atau saudara sendiri. Setelah itu, dengan kelewang dan golok seadanya, ratusan—mungkin ribuan—kader PKI tersebut dipenggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus