Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Nur Pamudji, Direktur Utama PT PLN</font><br />Berusaha Mandiri tanpa Intervensi

Memimpin perusahaan sarat masalah, Nur Pamudji memilih membersihkan perseroan dari korupsi sekaligus untuk efisiensi. Demi PLN yang mandiri.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA didapuk sebagai Direktur Utama PT PLN pada November tahun lalu, Nur Pamudji sadar telah melampaui angan-angannya empat dasawarsa silam. Siang itu, medio 1970-an, terik matahari memaksa Nung—panggilan masa kecil Nur—menghentikan sepedanya di tepi Waduk Karangkates, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dia beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju Blitar, Jawa Timur.

Diam-diam ia terpana melihat megahnya kompleks pembangkit listrik tenaga air di waduk yang juga dikenal dengan Bendungan Sutami itu. "Sejak saat itu, saya bercita-cita bekerja di sana," kata Nur kepada Tempo di rumahnya di Kompleks PLN Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban Jawa-Bali, Gandul, Jakarta Selatan, Ahad dua pekan lalu.

Sedari kecil, Nur akrab dengan urusan setrum. Dia sering bereksperimen membangun radio penerima, membuat adaptor, dan membongkar-pasang peranti elektronik rumahnya di daerah Samaan, Malang. Suyitno, ayah Nur yang bekerja di Jawatan Penerangan Kabupaten Malang, mendukung hobinya. Lulusan Ambachtsschool atau sekolah teknik zaman Belanda itu selalu membawa pulang majalah Elektron, terbitan Institut Teknologi Bandung.

Sebagai chief executive officer perusahaan setrum yang mengelola lebih dari 5.000 unit pembangkit berkapasitas hampir 30 ribu megawatt, Nur tahu tak mudah menyehatkan keuangan PLN yang lama merana. Hingga kini, pendapatan perseroan bergantung pada subsidi negara karena rata-rata tarif listrik saat ini masih di kisaran Rp 740 per kilowatt-jam (kWh), sedangkan biaya penyediaannya rata-rata Rp 1.240 per kWh. "Selama tarif tetap, konsumsi minyak tinggi karena pasokan gas terbatas, kondisinya tak akan berubah," ujarnya.

Belum lagi setiap keputusan bisnis PLN tak bisa lepas dari cawe-cawe pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya perseroan setiap tahun mengajukan kenaikan tarif setrum selalu mentok. Akibatnya, PLN sulit berbisnis, menginvestasikan dana atau mencari pembiayaan untuk memperluas sambungan listrik.

Sebagai perbandingan, ketika rata-rata tingkat pengembalian aset terhadap laba (return on asset) korporasi listrik dunia mencapai 8 persen, PLN cuma 1,7 persen. Modal pun seret. Empat tahun terakhir tak bergerak di kisaran Rp 140 triliun. Bandingkan dengan utang, yang melaju kencang dari Rp 239 triliun pada 2009 dan kini telah mencapai Rp 365 triliun. "Ini mengkhawatirkan," kata ayah Wiwaswan Wisesa Pamudji, 24 tahun, Intan Cahyaning (18), dan Muhammad Adhika Adhiwijna (16) ini.

Kendati jalannya terjal, Nur tak mau mengendurkan misinya menjadikan PLN perusahaan besar dan maju. "Saya lakukan saja yang bisa dilakukan," katanya. "Dan, sebelum besar dan maju, PLN harus bersih dulu."

Komitmen itu pula yang disampaikan suami Liesye Ratna Aliha, 49 tahun, ini kepada Dahlan Iskan—ketika itu Direktur Utama PLN—dalam pertemuan di FX Mall, Jakarta Selatan, November dua tahun lalu. Saat itu, Dahlan sedang menyiapkan tim direksi PLN dan menanyakan kesiapan Nur menjabat Direktur Energi Primer.

Kepada Dahlan, Nur menjelaskan bahwa direktorat energi primer selama ini menjadi pengendali bahan bakar PLN—sumber biaya tertinggi pada penyediaan listrik. "Di sana banyak genderuwonya, Pak," ucapnya. Namun akhirnya General Manager PLN Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban (P3B) Jawa-Bali itu bersedia dengan mengajukan syarat: "Bapak jangan korupsi dan saya jangan disuruh korupsi."

Klop, keduanya berjabat tangan. Dahlan memang sedang mencari tim yang berintegritas tinggi. "Maklum, waktu itu PLN selalu didera berita korupsi," kata Dahlan, yang kini Menteri Badan Usaha Milik Negara, Selasa pekan lalu. Nur direkomendasikan bosnya saat itu, Murtaqi Syamsuddin, Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN.

Bukan tanpa alasan Murtaqi merekomendasikan Nur. Sesaat sebelum diangkat sebagai direksi, Nur sebenarnya sedang bereksperimen memimpin tender trafo 500 megavolt-ampere (MVA) di kantor P3B Jawa-Bali. Ceritanya, Nur heran terhadap laporan Bank Dunia yang menunjukkan harga trafo PLN sebagai yang termahal di Asia Tenggara. Dia lalu menyurvei beberapa pabrikan trafo dan ternyata harganya jauh di bawah pengadaan perseroan selama ini.

Walhasil, sebagai pejabat pembuat komitmen, mantan mentor fisika di Keluarga Remaja Islam Salman Institut Teknologi Bandung ini membubuhkan persyaratan baru dalam tender: peserta yang diperbolehkan hanya produsen trafo. Hasilnya, satu unit trafo, yang sebelumnya dihargai Rp 110 miliar, bisa diperoleh hanya dengan Rp 67 miliar.

Model tender ini kemudian diadopsi untuk beraneka macam pengadaan. Kini PLN bisa membeli trafo sejenis dengan harga Rp 36 miliar per unit. "Saya tidak mau lagi beli ke pedagang," ujar Nur. Tak cukup di situ, Nur dan timnya di Dewan Direksi memutuskan stop impor trafo khusus untuk proyek yang menggunakan anggaran PLN.

Tiga tahun terakhir, Dewan Direksi PLN berikhtiar mengamankan sumber daya perseroan, yang setiap tahun mencatat belanja operasional dan belanja modal masing-masing sebesar Rp 220 triliun dan Rp 45 triliun. "Bisa dibayangkan duit sebesar ini pasti mengundang pihak-pihak untuk intervensi," kata Murtaqi.

Perubahan di tubuh PLN tersebut, terutama dalam hal pengadaan, diakui Nur dan Murtaqi penuh tantangan. Tak hanya dari eksternal, seperti pedagang yang sering kali dibekingi politikus dan pejabat, tapi juga dari pegawai internal perseroan yang tak properubahan.

Dulu Dahlan, menurut Murtaqi, bisa dengan mudah mengatasi intervensi—terutama oleh politikus—dengan gaya koboi karena bos Grup Jawa Pos itu sudah dikenal khalayak sebagai pengusaha besar dan punya jaringan luas dengan berbagai kalangan. "Direksi yang sekarang ini semua profesional PLN."

Nah, Nur memainkan gaya berbeda. Sebulan setelah menjabat, dia mengajak Dewan Direksi berembuk memetakan tantangan dari kelompok kepentingan yang ingin mengambil untung dari bisnis setrum. Rapat memutuskan perseroan harus membangun "persahabatan". Bukan dengan pedagang dan politikus, melainkan dengan kelompok masyarakat pegiat antikorupsi.

Berkat saran Indonesia Corruption Watch, lembaga pemantau dan pemberantas korupsi, perseroan akhirnya bekerja sama dengan Transparency International Indonesia, yang memiliki jaringan organisasi global antikorupsi, sejak Maret lalu. Tujuannya: membangun sistem penangkal terjadinya praktek korupsi. "Nur Pamudji sendiri yang meminta sasaran kerja sama ini pada sistem pengadaan dan pelayanan," ucap Murtaqi.

Dua pekerjaan tersebut, kata Nur, merupakan titik paling rawan korupsi di PLN sehingga perlu dijaga. Dia hakulyakin pengelolaan pengadaan dan pelayanan dengan baik akan mampu meningkatkan efisiensi.

Nur paham betul perusahaan yang dipimpinnya kerap dicap boros. Simak saja hasil audit hulu listrik Badan Pemeriksa Keuangan tahun lalu, yang menemukan hilangnya potensi penghematan Rp 37,5 triliun di delapan pembangkit PLN selama 2009-2010. Penyebabnya: pembangkit-pembangkit PLN terus dibakar dengan solar akibat tak adanya pasokan gas.

Setahun di bawah Nur, PLN mulai berbenah. Mereka mulai menekan konsumsi minyak dari sebelumnya 13 juta kiloliter menjadi hanya sekitar 8 juta kiloliter. Tahun depan targetnya hanya 5,5 juta kiloliter. Sebaliknya, penyerapan gas yang lebih murah digenjot dari tahun lalu yang hanya 290 miliar kaki kubik menjadi 360 miliar kaki kubik. Hasilnya mulai tampak. Hingga September lalu, beban bahan bakar minyak hanya Rp 45 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 52,5 triliun.

Toh, Nur masih punya setumpuk pekerjaan rumah, mulai menggenjot rasio elektrifikasi yang masih berada di bawah 75 persen, memenuhi kebutuhan listrik setelah tahun lalu meleset dari target 159,2 terawatt-jam, sampai mempercepat realisasi tambahan kapasitas pembangkit.

Sembari mengerjakan tugas itu, Nur berambisi mewujudkan impian lama PLN yang tak pernah terlaksana di masa tiga direktur utama sebelum dia: membangun pembangkit Merah Putih. Sesuai dengan namanya, pembangkit ini tak hanya didirikan dan dibangun di dalam negeri, tapi semua komponennya juga buatan lokal.

Juni lalu, dia mendorong kerja sama Siemens dan PT Nusantara Turbin & Propulsi di Bandung untuk memasok sedikitnya 30 turbin bagi kebutuhan pembangkit skala kecil lima tahun ke depan. Kerja sama ini melibatkan PT Pindad, sebagai pemasok generator.

Proyek pembangkit Merah Putih pertama adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap Timika berkapasitas 4 x 7 megawatt, yang akan digarap PT Rekadaya dan ditargetkan rampung awal 2014. Dalam waktu dekat, PLN juga akan melelang 15 lokasi PLTU serupa. Bila semua pembangkit merupakan barang impor, menurut Nur, PLN tak mandiri. "Meski kecil, ini harus dimulai. Cina juga mengawalinya secara bertahap."


Laba (Rugi) Usaha

20082009201020112012
Laba usaha3,610,413,214,630,8
Laba (rugi) bersih -12,3 9,910,17,210,1

Nur Pamudji, Malang, 2 Agustus 1961, Pendidikan: Master of Public Management National University of Singapore (2003), Master of Engineering The University of New South Wales, Australia (1995), Sarjana Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (1985), Karier: Direktur Utama PT PLN (2011), Direktur Energi Primer PT PLN (2009-2011), General Manager PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban Jawa-Bali (2008-2009), Manajer Operasi Sistem PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban Jawa-Bali (2006-2008), Manajer Unit Bidding dan Operasi Sistem PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban Jawa-Bali (2005-2006), Staf Ahli Sumber Daya Manusia PT PLN Kantor Pusat (2003-2005), Manajer Bidang Penyaluran PT PLN Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara (2001-2002), Staf Bidang Operasi PT PLN Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban Jawa-Bali (1985-2001).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus