Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu yang sudah terdengar sejak masa Orde Baru itu mencuat kembali ke permukaan. Awal November lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menyatakan BUMN kerap menjadi "sapi perahan" anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan blak-blakan Dahlan menyebut nama beberapa politikus Senayan yang ditengarai suka memerah perusahaan pelat merah.
Menyikapi sinyalemen Dahlan, dan setelah melalui serangkaian rapat, Badan Kehormatan DPR akhirnya menyatakan empat anggota DPR terbukti melanggar kode etik dengan kategori ringan dan sedang. Namun tidak ada pelanggaran hukum.
Ketegangan hubungan Dahlan-DPR membuat BUMN kembali menjadi sorotan. Bukan hanya karena urusan perah-memerah. Di antara perusahaan pelat merah yang moncer, mampu mendulang laba dalam jumlah besar, tak sedikit yang kondisinya masih ngos-ngosan. Ada yang gaji karyawannya belum dibayarkan, ada yang bahkan berhenti beroperasi. Sebuah kondisi yang membuat pemerintah harus menentukan pilihan: menutup atau menyuntikkan modal.
Tumbuh menjamur pada awal era Orde Baru, hingga pernah berjumlah 230-an perusahaan, banyak kesemrawutan terjadi dalam pengelolaan BUMN. Beberapa perusahaan, menurut bekas Menteri BUMN Sofyan Djalil, bergerak di sektor bisnis yang sama. Akhirnya pemerintah melakukan restrukturisasi. Kini jumlah BUMN lebih ramping, hanya 140-an perusahaan.
Tapi, dari jumlah itu, masih banyak BUMN yang hidup merana. Sekitar 40 perusahaan saja yang mampu menyumbangkan 85 persen dari total dividen yang diterima negara. "Yang lain cuma pelengkap penderita. Tidak signifikan," kata Sofyan. Nilai aset beberapa BUMN itu bahkan lebih kecil ketimbang anggaran corporate social responsibility Bank Mandiri atau Pertamina. BUMN penyumbang dividen besar pun banyak yang masih tidak efisien, miskin inovasi, dan kerap dilanda berita tak sedap tentang integritas nakhodanya.
Di tengah situasi itu, Tempo menemukan beberapa BUMN dengan "perilaku" berbeda. Berkat kreativitas dan tangan dingin chief executive officer alias direktur utama, dibantu anggota direksi lainnya, mereka mengubah perusahaan menjadi lincah dan ekspansif, ramah terhadap konsumen, berani menghadapi tekanan politik, serta mampu mengubah neraca keuangan yang tadinya negatif menjadi positif.
Upaya menemukan "CEO BUMN Pilihan Tempo 2012" ini bermula dari serangkaian diskusi yang digelar sejak Oktober lalu. Selain mendatangkan Sofyan Djalil, kami mengundang beberapa narasumber lain, yakni pendiri dan Direktur Independent Research & Advisory Indonesia, Lin Che Wei; Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo; serta Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas. Mereka sekaligus menjadi dewan juri yang menentukan kelayakan seorang CEO.
Sejumlah parameter penilaian pun ditetapkan. Lin Che Wei membantu membuat kurva efektif untuk mengukur kinerja perusahaan pelat merah, yang memuat dua faktor. Pertama, bagaimana BUMN mendapat dana, dari pemerintah atau hasil menggerakkan mesin uangnya sendiri. Kedua, bagaimana BUMN membelanjakan duitnya. Berapa porsi untuk publik dan perusahaan. Yang paling mulia tentu perusahaan yang punya bujet besar untuk publik, dari mesin uang yang mereka gerakkan sendiri.
Badan usaha milik negara memiliki tantangan mengembangkan bisnis untuk melayani publik sekaligus menghasilkan kinerja keuangan yang sehat. Di sini diperlukan inovasi dan kreativitas. Keberanian mereformasi dan mentransformasi organisasi menjadi modal utama yang wajib dimiliki seorang CEO. Integritas harus pula dijunjung tinggi. Satu aspek lain yang tak boleh disepelekan adalah pengembangan sumber daya manusia, aset besar yang menentukan nasib perusahaan di depan.
Berbekal parameter itu, kami menyaring CEO dari 140-an BUMN dan memperoleh 51 orang. Kemudian kami memerasnya lagi ke daftar pendek, yang berisi 11 orang. Kepada mereka, kami melayangkan semacam assessment—lagi-lagi dibantu oleh Lin Che Wei—berupa pertanyaan yang harus dijawab. Beberapa butir penting dalam assessment itu berupa highly capable individual, contributing team member, competent manager, effective leader, dan CEO of public service.
Secara bersamaan, kami melakukan verifikasi kepada sejumlah lembaga yang berhubungan langsung dengan BUMN tersebut. Kami bahkan meminta masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memastikan kandidat yang masuk daftar pendek benar-benar clean and clear.
Melalui serangkaian diskusi, yang kadang diwarnai debat keras, akhirnya kami menjatuhkan pilihan kepada enam CEO BUMN. Tapi pekerjaan tak langsung selesai. Ketegangan sempat meruyak di kantor kami ketika di saat terakhir muncul kabar tak sedap tentang salah satu dari enam CEO pilihan itu.
Demi kriteria integritas yang tak bisa ditawar, kami memperpanjang kerja penilaian. Sejumlah jurnalis Tempo melakukan verifikasi ulang atas informasi miring tentang kandidat itu. Check, recheck, dan double check kami lakukan dengan saksama. Setelah semua data terkumpul, kami melakukan penilaian ulang. Toh, sikap redaksi Tempo terbelah menyikapi informasi itu. Pemimpin Redaksi Tempo Wahyu Muryadi akhirnya menjadi pengambil keputusan pamungkas. Kandidat itu tetap dinyatakan layak dan terpilih.
Pembaca yang budiman, lewat debat panjang yang cukup melelahkan tapi kadang diwarnai senda gurau itu, kami memilih Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino. Menurut Lin Che Wei, tidak gampang mengelola unusual company seperti Pelindo II. Nyatanya ia sukses mereformasi perusahaan yang dulu kerap disebut "sarang" pungutan liar itu. Sofyan menyebut Lino sebagai pemimpin berkarakter dan kaya ide. Ia mengubah secara dramatis kapasitas handling, yang selama 9 tahun sebelumnya tumbuh rata-rata 5 persen menjadi 25 persen dalam 3 tahun terakhir.
Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, dinilai telah merombak kultur perusahaan yang semula lamban dan melempem. Ketua Harian YLKI Sudaryatmo sangat mengapresiasi upaya Jonan menata ulang bisnis transportasi yang paling dekat dengan publik ini. Sebagai pengguna kereta Commuter Jabodetabek, Sudaryatmo ikut merasakan perubahan itu. "Belum sempurna, tapi sudah jauh lebih baik."
I Ketut Mardjana sukses membangkitkan PT Pos Indonesia—yang semula bisnisnya dianggap memasuki senja kala. Dibantu tangan dingin Sukatmo Padmosukarso, mantan Direktur Bank International Indonesia, ia menggeser lini bisnis ke sektor jasa keuangan sambil tetap mempertahankan layanan logistik.
YLKI memberi acungan jempol kepada integritas Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji, yang berani menolak permintaan duit dan tekanan anggota DPR. "Ia pernah diusir dari forum rapat kerja Dewan." Nur pula yang merombak sistem tender barang di PLN yang tadinya melalui pedagang menjadi langsung ke produsen.
Tommy Soetomo masuk ketika karyawan PT Angkasa Pura I sedang bergejolak. Dia mengakhiri demonstrasi dan ketegangan itu dengan pakta normalisasi hubungan kerja. Kendati fisiknya kurang sehat, dia bekerja keras mentransformasi budaya kerja perusahaan menjadi pro terhadap pelayanan publik. Hasilnya, toilet Bandar Udara Juanda, Surabaya, dua kali berturut-turut mendapatkan piala dari Kementerian Pariwisata.
Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto dinilai sebagai seorang harmony builder. Dia sukses meredam keinginan anak perusahaan untuk memisahkan diri, dan malah berujung pada pembentukan holding yang kuat. Lin Che Wei menilai Semen Gresik merupakan satu dari sedikit BUMN yang lebih baik daripada swasta di sektornya.
Pembaca yang budiman, kami harus mengakui bahwa proses pemilihan yang panjang, agak rumit, dan tegang tak menjadi jaminan enam CEO BUMN Pilihan Tempo ini benar-benar tokoh yang hebat dan tak ada cela. Kami sudah berupaya maksimal, tapi mungkin ada informasi yang tidak kami ketahui. Kami sadar pilihan ini tidak mungkin sepenuhnya sempurna. Tapi setidaknya kami berikhtiar menunjukkan bahwa ada CEO yang mau berkeringat serta punya visi dan keberanian membenahi BUMN di negeri ini.
Dividen BUMN
Penyaluran Program Kemitraan dan Bina Lingkungan sampai 2007: Rp 8,18 triliun
Total Pendapatan
Total Laba Bersih
ROA
ROE
Tim Edisi Khusus
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto, Kepala Proyek: Retno Sulistyowati, Penulis: Agoeng Wijaya, Amandra Mustika Megarani, Dewi Rina Cahyani, Jobpie Sugiharto, Retno Sulistyowati, Y. Tomi Aryanto, Penyunting: Nugroho Dewanto, M. Taufiqurohman, Penyumbang Bahan: Gustidha Budiartie, Akbar Tri Kurniawan, Fiona Putri Hasyim, Rosalina, Johanes Cristico (Bali), PDAT: Dina Andriani, Driyandono Adi Putra, Astri Pirantiwi, Evan Koesumah, Foto: Jati Mahatmaji (koordinator), Ijar Karim, Jacky Rachmansyah, Eko Siswono Toyudho, Aditia Noviansyah, Johanes Cristico (Bali), Fully Syafii (Surabaya), Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian, Digital Imaging: Agustyawan Pradito, Desain: Djunaedi (koordinator), Eko Punto Pambudi, Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Tri Watno Widodo, Rizal Zulfadly |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo