Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia</font><br />Kinerja Kinclong tanpa Subsidi

Menjadikan PT KAI untung. Arah perusahaan diubah dari product-oriented ke customer focused.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA suka bicara blakblakan sebagaimana kebanyakan orang Jawa Timur. Dengan pembawaannya yang terbuka itu, Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, berhasil mendobrak kultur perusahaan pemegang monopoli angkutan kereta yang selama ini cenderung feodal. "Gaya kepemimpinannya yang egaliter membawa suasana segar ke perusahaan," kata Wimbo Hardjito, Direktur Komersial PT Kereta Api Indonesia, pekan lalu.

Nama Jonan kini memang identik dengan proses transformasi PT Kereta Api. Ia membawa perusahaan yang semula rugi menjadi untung. Jonan diangkat menjadi orang nomor satu perusahaan kereta itu pada Februari 2009 ketika perusahaan merugi Rp 83,4 miliar. Persis di akhir 2009, PT KAI sudah mengantongi untung Rp 153,8 miliar. Tahun ini keuntungan perusahaan diperkirakan mencapai Rp 300 miliar.

Ketika pertama kali bergabung dengan KAI, Jonan mengatakan, "Hanya satu perubahan yang saya inginkan: mengalihkan (arah) organisasi ini dari product-oriented ke customer focused." Ia ingin seluruh jajaran Kereta Api berusaha membuat pelanggan lebih bahagia. Di masa lalu, kata dia, perubahan itu seperti tak dibutuhkan. Toh, penumpang tetap menjadikan kereta api sebagai angkutan favorit. Namun Jonan ingin semua itu berubah.

Perubahan ini bisa dilihat dalam banyak fasad. Salah satunya stasiun. Sejumlah stasiun dipermak sampai kinclong. Stasiun Gambir tampil lebih nyaman dan bersih. Salah satu caranya adalah dengan membebaskan Gambir dari kereta Commuter Jabodetabek. Stasiun ini hanya melayani kereta jarak jauh eksekutif. Penentuan operator taksi resmi di stasiun memunculkan kenyamanan bagi pengguna kereta.

Tempo juga melihat perbaikan di sejumlah stasiun, terutama di Jabodetabek. Lambat-laun pedagang liar yang menyesaki stasiun menipis. Stasiun Sudirman menjadi yang terbaik dari 60 stasiun di Jabodetabek. Jonan berambisi membuat semua stasiun seperti Sudirman dengan biaya Rp 15 miliar per stasiun. "Untuk 60 stasiun butuh Rp 1 triliun selama 2-3 tahun," ujarnya. Untuk meningkatkan semangat kompetisi, ia mengadakan lomba stasiun.

Terobosan lain: menjelang Lebaran 2012, identitas penumpang harus sama dengan identitas di tiket dan tak ada pengantar di sekitar kereta. Ia juga membatasi penumpang kereta api. Saat ini kereta api jarak jauh, termasuk kereta ekonomi, hanya menjual tiket sebanyak jumlah tempat duduk. Di masa lalu, penumpang harus berebut masuk kereta, terutama pada akhir pekan atau musim libur.

Dan Jonan, yang lama berada di bisnis keuangan, berhasil melakukan berbagai perbaikan itu di tengah banyak keterbatasan, terutama dana. Salah satu yang penting adalah biaya perbaikan prasarana dan pengoperasian prasarana kereta api (infrastructure maintenance and operation, IMO). Seharusnya biaya ini ditanggung negara sebagai bentuk pelayanan publik. Prasarana meliputi rel, sinyal, dan stasiun.

Landasan pemberian subsidi itu adalah Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007, diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2012 tentang Kewajiban Pelayanan Publik dan Subsidi Angkutan Perintis Bidang Perkeretaapian, Biaya Penggunaan Prasarana Perkeretaapian Milik Negara, serta Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian Negara. Namun, sejak 2010, subsidi IMO tak menetes.

Pada 2012, KAI meminta Rp 1,5 triliun. Tak dikabulkan. Untuk 2013, mereka mengajukan Rp 1,7 triliun. Lagi-lagi mentah. "Enggak ada penjelasan dari pemerintah," kata Jonan kepada Tempo, awal Desember lalu, di ruang VIP Pintu Timur Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. "Saya sudah bertanya kepada Menteri Perhubungan." Jonan mengaku tak jadi masalah jika pemerintah menyetop subsidi. "Tapi dihapus dulu undang-undangnya."

Anggaran Rp 1,7 triliun tadi, ia menerangkan, untuk mempertahankan kondisi seperti sekarang. KAI menangani pengoperasian kereta jarak jauh dan kereta rel listrik (KRL), seperti Commuter Line Jabodetabek. Kalau ingin ditingkatkan, misalnya membuat prasarana yang bagus dan semua stasiun semegah Gambir, dibutuhkan Rp 2,5 triliun per tahun. Ada 580 stasiun di seluruh Indonesia, 60 di antaranya di Jabodetabek.

Akhirnya KAI membiayai sendiri pengelolaan prasarana menggunakan keuntungan perusahaan. Perbaikan bidang lain, seperti pengelolaan kereta Commuter Jabodetabek, apa boleh buat, melambat dari target. Apalagi Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011 menugasi KAI menyelenggarakan prasarana dan sarana kereta Bandar Udara Soekarno-Hatta dan jalur lingkar Jabodetabek. "Saya tak mau mengemis," katanya.

Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil menilai PT KAI dirugikan oleh pemerintah. "Kalau pemerintah kasih dana, KAI bisa lebih dahsyat dari sekarang," ucapnya. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo juga mempertanyakan keputusan pemerintah yang mengharuskan KAI menjalankan public service obligation (PSO) tapi enggan mengucurkan subsidi. "Sikap pemerintah ini bisa memperlemah pelayanan publik," ujarnya.

Kondisi itu membuat Jonan dan manajemen KAI harus memutar akal agar pelayanan publik ditingkatkan tapi perusahaan tetap bisa meraup untung. Sejak awal memimpin KAI, dia menggeber pendapatan dari pengiriman barang dan pelayanan kereta jarak jauh non-KRL. Kedua sektor itu memang "basah" karena PT KAI bisa menentukan sendiri tarifnya sesuai dengan pasar. Berbeda dengan kereta ekonomi, yang tarifnya diatur pemerintah (PSO).

Pada Oktober lalu, misalnya, KAI menaikkan tarif kereta Commuter Jabodetabek (berpenyejuk udara) Rp 2.000. Tarif jalur Bekasi-Jakarta, misalnya, naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500. Namun tarif KRL Ekonomi Jabodetabek tetap Rp 2.000 karena tergolong PSO. Jonan juga berencana menaikkan tarif kereta jarak jauh non-AC pada 2013 sebesar 20-25 persen, dengan kompensasi memasang alat penyejuk udara. "Nantinya semua kereta pakai AC," katanya.

Walau tanpa subsidi prasarana, pendapatan KAI naik 80 persen selama empat tahun terakhir. Dengan pemberlakuan sistem boarding, yang mengharamkan penumpang berdiri, toh jumlah penumpang kereta jarak jauh masih bagus. Penumpang KRL Jabodetabek juga meningkat dari 300 ribu per hari (2008) menjadi 500 ribu (2012). Pada periode yang sama, kapasitas angkut barang naik dari 14 juta ton per tahun menjadi 22 juta ton.

Pendapatan terbesar KAI memang dari angkutan barang dan kereta jarak jauh. Keduanya masing-masing menyumbang 45 persen dan 45 persen. Margin keuntungan angkutan barang juga yang paling tinggi, berkisar 10 persen. Jonan juga berhasil menambah jumlah kereta. Sementara pada awal 2009 hanya 350 unit, kini 608 unit. Adapun proyek jalur kereta ke Bandara Kualanamu, Medan, diperkirakan selesai akhir tahun ini. Kualanamu akan menjadi bandara pertama yang menikmati layanan kereta.

Sudaryatmo memuji Jonan yang bisa membuat manajemen KAI terbuka dengan diskusi serta kritik dari konsumen dan lembaga konsumen. Keluhan publik juga dijaring melalui media sosial Facebook dan Twitter. Sejumlah posisi penting di KAI diduduki orang-orang muda, gaji dinaikkan, dan cara berpikir diubah menjadi berorientasi kepada pelayanan. "Hasilnya belum optimal karena kondisi perusahaan yang buruk," ucapnya.

Jeremia Aliambar, 40 tahun, sudah 30 tahun menjadi penumpang KRL Jakarta Kota-Depok. Menurut pegawai bank swasta di Mangga Dua, Jakarta Barat, ini, perbaikan terasa pada stasiun-stasiun. Abung—begitu Jeremia disapa—mengapresiasi ketertiban di stasiun dan kereta. Petugas pemeriksa karcis tegas terhadap penumpang bandel. Namun ia mengeluhkan kondisi WC stasiun masih kumuh dan berjubelnya penumpang.

Jonan mengakui masih banyak yang harus dibenahi. Ia sedang mengkaji kemungkinan menggandeng swasta untuk mengurusi WC stasiun. Jonan juga memastikan segera membangun stasiun-stasiun modern seperti Sudirman. Prinsipnya sederhana: pelayanan bagus, pelanggan senang, mereka akan datang lagi dan PT Kereta Api untung.


Ignasius Jonan, Singapura, 21 Juni 1963, Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya (lulus 1986), International Relations and Affairs, Fletcher School of Law and Diplomacy, Amerika Serikat (lulus 2005), Karier: Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (mulai 2009), Direktur Citi Group (2006-2008), Direktur Utama PT (Persero) Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia (2001-2006).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus