Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Richard Joost Lino, Direktur Utama PT Pelindo II</font><br />Bukan Hanya Soal Laba

Kedatangannya kembali ke PT Pelindo II sempat disambut protes karyawan. Dia yakin sepuluh tahun lagi Tanjung Priok akan dua kali lebih besar dari Hamburg atau Rotterdam.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesan pendek pada April 2009 itu datang dari Sofyan Djalil, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Sang Menteri mengundang Richard Joost Lino, yang waktu itu masih menjadi direktur proyek di AKR Nanning di Guangxi, Cina, datang ke kantornya. "Saya diminta bertemu untuk kemungkinan jadi Direktur Utama PT Pelindo II," kata Lino di rumahnya di kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Rabu dua pekan lalu.

Meski cukup tertarik, Lino belum berbulat hati ketika sepekan kemudian akhirnya datang menghadap Sofyan dan Said Didu, Sekretaris Menteri BUMN. Itu bukan hanya karena posisinya yang cukup nyaman di Cina, tapi juga lantaran Lino masih ingat saat 19 tahun sebelumnya ia memutuskan meninggalkan kariernya sebagai manajer senior di Pelindo II karena berselisih paham dengan salah satu pemimpin.

Datang tanpa motivasi memburu jabatan, alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung angkatan 1976 ini hampir tak punya beban. Ia menyampaikan apa yang ada di benaknya tanpa sensor.

Dia bilang, waktu pelabuhan itu ia tinggalkan pada 1990, di Asia, Tanjung Priok hanya kalah dari Singapura, Hong Kong, dan Jepang. Dibandingkan dengan Taiwan, Cina, Malaysia, Vietnam, India, dan Timur Tengah, pelabuhan kita masih jauh lebih baik. "Tapi, sejak 19 tahun lalu, tidak ada pembangunan yang besar di sana," Lino mengulang apa yang dikatakannya kepada Sofyan. "Bahkan fasilitas yang ada pun tak terawat dengan baik."

Lino tak sungkan menunjukkan beberapa kekeliruan Kementerian BUMN dalam mengukur sukses-tidaknya direksi Pelindo. Ketika Said Didu mengatakan Pelindo II memberi keuntungan mendekati Rp 1 triliun pada 2008, Lino justru menyalahkannya.

Jika kriteria sukses direksi Pelindo adalah besaran profit, Lino menambahkan, semua pemimpin perusahaan akan berfokus pada tujuan jangka pendek untuk menangguk untung sebesar-besarnya. Mereka akan cenderung menunda investasi. Akibatnya, kondisi semua pelabuhan jelek, dengan profesionalitas pengelola yang rendah.

Kapal-kapal kerap harus antre berhari-hari sebelum bisa bersandar dan melakukan bongkar-muat di dermaga. Biaya transportasi pun bengkak. "Kapal-kapal di Indonesia lebih lama bersandar daripada berlayar. Itu dosa besar bagi semua orang yang ada di situ," Lino menjelaskan. "Kapal itu seperti taksi. Kalau tidak berlayar, ia tak mendapat uang. Dan konyolnya, untuk bersandar di pelabuhan, mereka harus bayar."

Kepada Sofyan, Lino mengatakan cara kerja seperti itu keliru besar. Ia lantas mengajukan syarat. Kalau nantinya jadi diangkat, dia minta konsepnya diubah. "Yang menyangkut keuangan itu hanya 20 persen. Selebihnya adalah pelayanan. Karena pengelolaan pelabuhan itu monopoli, kalau hanya bikin profit, itu bukan sesuatu yang sulit."

Sofyan mengaku langsung terpukau pada paparan Lino. Tapi ia tak mau gegabah. "Saya bilang kepadanya, saya bukan orang yang paham benar soal pelabuhan. Lalu saya tantang dia untuk mempresentasikan gagasan itu di hadapan para pemangku kepentingan lainnya," ujar Sofyan beberapa waktu lalu.

Seminggu kemudian, Lino diundang berbicara di forum yang lebih besar. Hadir di sana Menteri Perhubungan Jusman Sjafii Djamal, para direktur jenderal dan pejabat lain, juga para petinggi Kementerian BUMN dan pimpinan PT Pelindo II. "Di situ saya salahkan semua orang," Lino bercerita sambil tertawa.

Kali ini pokok soalnya tentang proyek Pelabuhan Bojonegara di Banten. Tanpa basa-basi, Lino mengatakan proyek itu merupakan kesalahan besar pemerintah dalam merancang pelabuhan niaga. Alasannya, Bojonegara dibangun sebagai antisipasi jika kapasitas Tanjung Priok penuh. Padahal, kata dia, 70 persen barang di Tanjung Priok itu berasal dari sebelah timur Jakarta, yakni kawasan industri di Bekasi, Cikampek, Karawang, dan sebagian lagi dari Bandung. Sedangkan Bojonegara berada 120 kilometer di sebelah barat Jakarta. "Semestinya dibikin sarana agar lebih murah, bukan sebaliknya," Lino berargumen. "Kalau Bapak minta saya jadi dirut di Pelindo, saya ingin membatalkan proyek ini."

Walau sempat bersitegang, Jusman mengatakan bisa menerima orang pilihan Sofyan Djalil itu. Singkat cerita, R.J. Lino resmi diangkat sebagai Direktur Utama PT Pelindo II pada 11 Mei 2009. Di hari-hari pertama memimpin, ia langsung memanggil kontraktor yang sudah memenangi salah satu paket proyek senilai Rp 350 miliar, yang kebetulan juga salah satu perusahaan milik negara. "Saya bilang, Guys, proyek ini harus saya batalkan. Kalau mau klaim, silakan," katanya. "Mereka sepakat batal tanpa ada klaim apa-apa."

Tak semua orang senang dengan kembalinya Lino ke Pelindo II, yang pada Februari lalu mengubah logo dan namanya menjadi Indonesia Port Corporation (IPC). Banyak dari mereka yang terkejut dan tak nyaman dengan sistem baru yang diterapkan. Apalagi pemimpin baru ini datang dengan pandangan miring terhadap kualitas sumber daya manusia yang sudah begitu lama tak berkembang.

Sebagian dari mereka kemudian melancarkan beragam protes. Mereka menuding Lino mengacak-acak sistem karier yang sudah baku di perusahaan. Ada pula yang memasang spanduk protes di berbagai sudut pelabuhan. "Semua saya hadapi dan saya biarkan mereka bebas memasang spanduk protes," Lino menjawab ringan.

Ia prihatin karena banyak orang muda yang dulu ia rekrut ternyata tak bisa maju. Hampir tiap hari Lino mendatangi tiap lantai kantornya. "Saya pandang mata mereka, dan saya segera tahu, tak ada jiwa di dalamnya. Terlalu lama organisasi tidak mengeksplorasi kemampuan mereka secara maksimal."

Itu sebabnya Lino memutuskan mengirim orang-orang muda yang potensial itu bersekolah lagi di universitas ternama di berbagai negara. "Sudah seratusan karyawan saya kirim dalam tiga tahun terakhir."

Ia sadar pembangunan infrastruktur keras, seperti dermaga baru, tak bisa cepat dilakukan. Karena itu, dia memilih mengembangkan apa yang disebutnya "soft infrastructure", dengan cara memperbaiki efektivitas dan efisiensi sistem serta metode kerja.

Dalam bulan pertama kerja, saban hari dia menyaksikan kemacetan luar biasa dan antrean panjang truk kontainer yang hendak keluar-masuk pelabuhan. "Semua orang yang saya tanya menjawab sama: 'Pak, kalau tol sudah dibangun, selesai semua urusannya'."

Tapi, setelah ia amati, ternyata kemacetan itu terjadi lantaran Bea-Cukai hanya membuka satu dari enam pintu yang ada. "Mereka hanya bekerja dua shift, masing-masing 12 jam. Kalau ganti shift, pintu itu bisa tutup satu jam. Saat makan siang dan waktu salat, mereka juga tutup. Konyol banget."

Dia makin sebal saat melihat jendela pos-pos itu sengaja ditutupi koran untuk menyembunyikan beragam transaksi dan pungutan liar. "Saya langsung telepon Dirjen Bea-Cukai Anwar Supriadi. Kebetulan saya kenal dia dulu waktu masih di Departemen Perhubungan. Saya minta dibereskan, dan dia bilang akan segera kirim orang."

Namun, sepekan ditunggu, orang kiriman itu tak juga datang. Lino kembali mengirim pesan, yang dibalas dengan tanggapan serupa. Sebulan berlalu, tak ada perkembangan yang terjadi. "Saya yakin Pak Anwar sudah bilang ke bawahannya, tapi yang disuruh tak datang. Akhirnya, saya kirim SMS panjang berisi protes ke Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dan ternyata manjur. Hanya setengah jam setelah pesan dikirim, Direktur Jenderal Bea-Cukai dan dua direktur menghubunginya. "Mereka tanya apa yang bisa dibantu, he-he-he…."

Begitu pintu-pintu itu dibuka, antrean terurai. "Bayangkan, kemacetan pelabuhan yang sudah 10 tahun terjadi, dan orang percaya itu hanya bisa diselesaikan dengan jalan tol, ternyata bisa dibereskan dengan cara sangat sederhana," ujarnya. "Itulah yang saya lakukan tiga tahun ini."

Perbaikan di sisi yang soft itu terbukti mampu menggenjot produktivitas IPC. Rata-rata peningkatan kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok sembilan tahun sebelumnya hanya berkisar 5 persen, sedangkan di bawah Lino kenaikannya tercatat melompat sampai 25 persen. "Sekarang sudah 7 juta TEU (twenty-foot equivalent unit) dan tiap tahun naik 1 juta. Tak ada lagi kapal antre berhari-hari," katanya.

Banyak konsumen mengakui perbaikan itu. "Kapal sudah jarang telat," ujar Diana Dewi dari Suri Nusantara, importir daging sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pengolahan Daging Skala Usaha Kecil-Menengah dan Rumah Tangga. "Lebih efisien dan biaya untuk agensi yang mengurus barang di pelabuhan lebih murah."

Hal serupa dirasakan Bob Budi Budiman, pemilik Bob Forwarding, perusahaan jasa kepabeanan. Ia lebih menyoroti sistem komputerisasi Pelindo yang terintegrasi dengan Kantor Bea dan Cukai. "Ini lebih memudahkan kami," ujarnya. "Sekarang tidak perlu lagi menunggu karena arus barang lancar," kata Edward, karyawan PT Causa Prima Ashar, importir daging sapi beku.

Pelindo sedang membangun dermaga tambahan di Kalibaru, yang akan disusul dengan proyek Cilamaya di Karawang. Lino yakin, pada 2020, kapasitas Tanjung Priok sudah mencapai 22-24 juta TEU. "Bandingkan dengan kapasitas Rotterdam hari ini, 11 juta TEU, dan Hamburg, sekitar 9 juta TEU. Priok itu potensinya besar. Enggak main-main."


Traffic Kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok (persentase)

2008

  • Profit: 35%

    2010

  • Profit: 71%

    2010

  • Profit: 82%

    Pendapatan Perusahaan

    2009201020112012
    Profit9451,2569,1471,974
    Aset7,0417,7361,478-

    Richard Joost Lino, Ambon, 7 Mei 1953, Pendidikan: Master of Business Administration, Institute for Education and Development of Management Jakarta (1989), Project Management Course, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia, Amerika Serikat (1981), International Course on Sediment Transport in Estuarine and Coastal Engineering, Coastal Research Centre, Poona, India (1979), Diploma in Hydraulic Engineering, The International Institute for Hydroulic and Enviromental Engineering, Delft, Belanda (1978), Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (1976), Karier: Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) (2009-sekarang), Project Director AKR Naning, Cina (2005-2008), Senior Port Planner PT Dwipantara Transconsult, Jakarta (1992-2005), Senior Advisor PT Terminal Batubara Indah (1990-1992), Head of Civil Engineering Subdirectorate Pelindo II (1988-1990), Head of Planning Subdiroctare Pelindo II (1984-1988), Head of Planning and Development Department Technical Division Pelabuhan Tanjung Priok (1983-1984).
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus