Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=verdana size=1>Amien Sunaryadi</font><br />Detektif Pemalu dari Rawalumbu

Gandrung membongkar pelbagai skandal, ia terlibat pengungkapan kasus korupsi kelas kakap. Di puncak prestasinya, Amien Sunaryadi malah terpental dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA ini terjadi pada Ramadan, tahun Masehi 1983. Ketika itu pemimpin Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) sedang gundah: soal ujian bocor ke sejumlah mahasiswa. Tak jelas siapa pelaku pembocoran itu. Lalu, diutuslah seorang asisten dosen melakukan investigasi.

Sang asisten lalu merancang investigasi berjenjang. Ditelusurinya lapisan terbawah sekolah itu: dari mulai pesuruh sekolah sampai dosen senior. Dari tukang sapu sampai mahasiswa.

Teknik investigasinya tak istimewa: saban sahur hingga menjelang imsak, asisten dosen itu mewawancarai pelbagai orang di warung makan. Berhari-hari, informasi sedikit demi sedikit dikumpulkan.

Dari berbagai cerita, akhirnya diketahui bahwa jual-beli soal dilakukan sebuah jaringan yang rapi. Motornya sejumlah mahasiswa senior. Berbekal sejumlah fakta dan kesaksian, si asisten itu menemui mahasiswa senior itu.

Dari mereka diperoleh kabar bahwa kejahatan itu diotaki oleh tiga mahasiswa senior. Sejumlah pegawai kampus juga terlibat karena menjual soal kepada mahasiswa. Terhadap mereka yang bersalah, petinggi kampus menjatuhkan sanksi. Sang asisten jadi pahlawan.

Dosen muda itu adalah Amien Sunaryadi—pria berambut tipis, sedikit pemalu, yang 24 tahun kemudian menyala namanya di dunia pemberantasan korupsi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (2003–2007) itu adalah salah satu juru kunci di balik terungkapnya sejumlah kasus korupsi raksasa di Indonesia. Ia, misalnya, adalah otak penyergapan anggota Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W. Kusumah, saat berusaha menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Ia pula aktor di balik pengungkapan korupsi Direktur Badan Urusan Logistik, Widjanarko Puspoyo (lihat ”Intel di Kamar 607”).

l l l

LAHIR di Malang 47 tahun silam, Amien semula ingin bekerja di kantor audit Pemerintah Daerah Papua.

Persiapan sudah dilakukan: dari cek kesehatan sampai membeli celana jins di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Tapi petinggi kampus merayunya duduk di kursi asisten dosen. Ia manut: cita-cita berkarier di ujung timur Indonesia itu ia lepas.

Tapi di STAN Amien tak betah. Ia orang lapangan yang tak bisa diam di ruang kuliah. Pada penghujung 1982, dia memilih pindah ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di sana ia bekerja di bagian pengawasan.

Untuk mengasah kemampuan auditingnya, pada 1993 dia terbang ke Atlanta, Amerika Serikat, mengambil program master bidang akuntansi di Georgia State University. Di sana ia juga ikut sejumlah kursus audit. Setelah itu dia mengikuti pelatihan antikorupsi di Australia. Dari sekolahnya itu, Amien paham bahwa korupsi kerap kali bisa dibongkar lewat utak-atik angka akuntansi.

Di BPKP Amien pernah naik pitam ketika kantornya menggelar pelatihan antikorupsi. Silabus dan pembicara dipasok dari Lembaga Administrasi Negara (LAN). Amien dan kawan-kawan cuma dipercaya jadi panitia ecek-ecek. Amien merasa diremehkan. Ia mengajukan pengunduran diri dari kursi eselon IV. Meja dan komputer diserahkan ke orang lain. Kepada atasannya ia mendamprat. Di sini, katanya, ”Aku cuma jadi pegawai tengik.”

Ia dibujuk membatalkan pengunduran diri itu. Ia, lagi-lagi, menurut. Setelah itu kariernya justru menanjak. Jabatan terakhir yang disandangnya adalah Kepala Sub Kelancaran Pembangunan, Direktorat Pengawasan Khusus.

Delapan belas tahun bekerja di kantor pemerintah itu, Amien kemudian menjajal kemampuan di perusahaan internasional. Oktober 2000, dia menerima tawaran PricewaterhouseCoopers (PWC), sebuah perusahaan audit internasional. Alasan kepindahan itu sederhana. ”Gaji di sana sepuluh kali lipat dari BPKP,” kata Amien.

Di PWC Amien belajar teknik penggeledahan dan komputer forensik. Dua metode ini, kata Amien, sangat efektif bagi pengungkapan kasus korupsi.

Suatu ketika Amien dipercaya mengaudit sebuah perusahaan asing. Petinggi perusahaan itu curiga ada orang dalam yang menjual informasi kepada perusahaan pesaing.

Tengah malam, bersama si petinggi perusahaan, dia menjelajah komputer karyawan yang dicurigai. Hasilnya mengejutkan. Seorang kepala unit ternyata mengirim sejumlah berkas ke perusahaan pesaing. Yang menarik, dari pelacakan komputer itu, diketahui si karyawan punya pacar gelap.

Amien ”menyedot” semua isi komputer si tersangka. Setelah selesai, semua dirapikan seperti sedia kala. Esok paginya, oknum itu datang ke kantor tanpa curiga.

Jelang siang, Amien langsung mewawancarai karyawan itu. Tentu, ia keras membantah. Amien meminta membuka semua berkas surat elektronik di komputer. ”Nah, itu apa?” kata Amien sembari menunjuk layar komputer.

Gelagapan, karyawan itu membantah. Dia bahkan mengancam akan melaporkan kasus ini ke Departemen Tenaga Kerja. Amien cuma senyum-senyum. ”Kalau Anda meneruskan perang ini, musuh Anda akan bertambah dua,” kata Amien.

Karyawan tak mengerti. Amien lalu membeberkan e-mail si karyawan dengan pacar gelapnya. Kepada simpanannya itu ia mengaku masih bujang. ”Jadi, musuh Anda bertambah dua sekarang: istrimu di rumah dan selingkuhanmu karena kamu mengaku masih jomblo.” Kepala unit itu pun menyerah.

l l l

AMIEN SUNARYADI sedang berlibur di Malang, Jawa Timur, ketika bos besarnya di PWC meneleponnya pada penghujung 2003. Ia terkejut karena selama bekerja di perusahaan itu, baru kali ini si bos menelepon.

Pimpinannya itu menyuruh Amien mendaftar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi Amien enggan. ”Kalau mendaftar di KPK, aku bisa melarat lagi,” pikirannya sambil menggaruk kening. Tapi keluarganya mendukung. Amien lalu mendaftar ke komisi itu.

Sebetulnya, meski bekerja di perusahaan raksasa internasional, hidup Amien jauh dari mewah. Bertahun-tahun ia tinggal di Rawalumbu Utara, di sebuah perumahan kecil di pinggiran Bekasi, Jawa Barat. Rumah itu dibeli tahun 1989 seharga Rp 8 juta. Dari hasil tabungan selama 12 tahun, dia membeli rumah di sebelahnya seharga Rp 75 juta tahun 2001.Dua rumah itu kini bersambung.

Kegiatan olahraganya juga sederhana. Di lantai dua rumah, dia menyiapkan sansak. Bak petinju, Amien kuat memukul sansak itu selama satu jam. Olahraga lainnya adalah naik turun tangga. Satu jam naik turun, Amien sudah mandi keringat.

Apabila hujan lebat, ruang tamu rumah itu kebanjiran. Itu sebabnya, saat bekerja di PWC dia menabung untuk merenovasi rumah.

Tinggal di rumah di pelosok Bekasi itu membuat sejumlah anggota DPR termehek-mehek mencari rumah Amien. Ketika itu DPR tengah mengecek kediaman Amien saat ia diseleksi untuk menjadi anggota KPK 2003–2007.

Di KPK, Amien dikenal kerap membawa terobosan baru dalam pemberantasan korupsi. Dialah yang, misalnya, menerapkan praktek penggeledahan dan uji forensik komputer. Gagasan Amien kadang ditolak koleganya di komisi itu.

Saat menyelidiki kasus korupsi di KPU, misalnya, Amien mengusulkan agar semua rumah petinggi komisi itu digeledah. Tapi, kata Amien, ” Para petinggi KPK lain menolak dengan alasan mereka bukan tersangka.” Amien sempat marah, Pengledahan, kata Amien,”Diharuskan dalam KUHP.”

Meski punya banyak ide dan integritasnya terjaga, Amien terjegal dalam seleksi pimpinan KPK 2007–2011. Tentang ini anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Lukman Hakim Saifuddin, punya penjelasan. Katanya, ”Amien berada pada momentum yang tidak tepat. Amien muncul pada saat anggota DPR sangat khawatir dengan kewenangan KPK yang kelewat besar."


Biodata

Lahir:

  • Malang, Jawa Timur, 23 Januari 1960
Pekerjaan:
  • Wakil Ketua/Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (Hingga Desember 2007)
Karier:
  • 1982-2000: Pejabat di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
  • Agustus 1999-September 2003: Anggota Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
  • Oktober 2000-Juni 2003: Manager pada unit Dispute Analysis and Investigations PT PricewaterhouseCoopers FAS
  • Juli 2003—Desember 2003: Senior Manager pada unit Dispute Analysis and Investigations PT PricewaterhouseCoopers FAS
  • September 2003-Januari 2004: Ketua Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
  • Desember 2003-Desember 2007: Wakil Ketua/Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pendidikan:
  • 1988: Akuntan (Ak), Program Diploma IV Spesialisasi Akuntansi dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta.
  • 1993: Master of Professional Accountancy (MPA), di School of Accountancy, College of Business Administration, Georgia State University, Atlanta
  • 1998: The Corruption and Anti-Corruption Training oleh National Center for Development Studies (NCDS) di Australian National University di Canberra, Australia.

Komentar

Lukman Hakim Saifuddin Anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Persatuan Pembangunan

”Amien tidak gampang dipengaruhi. Penanganan perkara KPK banyak dipengaruhi ’kreativitasnya’, misalnya dalam penggunaan metode penjebakan. (Tentang kegagalannya menjadi anggota KPK periode kedua) ia berada pada momentum yang tidak tepat. Ia muncul pada saat anggota DPR sangat khawatir dengan kewenangan KPK yang kelewat besar.”

M. Fajrul Faalakh Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK

”Panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak menerima banyak berita miring tentang Amien. Kalaupun ada, itu soal pengadaan alat penyadap KPK yang diduga menabrak prosedur administratif. Tapi soal itu sudah dia klarifikasi. Alasan Amien, itu terjadi karena kondisi darurat dan demi menyelamatkan uang KPK yang sudah telanjur mengucur.”


Kasus KPU (2005)

Mengungkap kasus korupsi pengadaan kotak suara di Komisi Pemilihan Umum. Mereka yang masuk bui karena kasus ini adalah anggota KPU Mulyana W. Kusumah (divonis 2 tahun 7 bulan), Kepala Biro Logistik KPU Richard Manusun Purba, dan Direktur Utama PT Survindo Indah Prestasi, Sihol P. Manulang (divonis 4 tahun). Kasus korupsi ini mengakibatkan kerugian negara Rp 15,7 miliar. Amien Sunaryadilah yang merancang penggerebekan ­ketika Mulyana mencoba menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Khairiansyah Salman.

Kasus Bulog (2007)

Menelusuri dan mengumpulkan bukti-bukti kasus korupsi dalam impor sapi dan beras Bulog. Total kerugian negara akibat kasus tersebut Rp 88,4 miliar, dengan tersangka utama Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo. Widjanarko juga dikenai dakwaan menerima gratifikasi US$ 1,5 juta. Perbedaan paham di Komisi Pemberantasan Korupsi membuat Amien ”melempar” kasus ini ke kejaksaan. Meski demikian, orang-orang KPK-lah yang ”bergerak”, termasuk dengan menggerebek kediaman Widjanarko, dan di kamar mandi menemukan uang tunai dalam ember.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus