Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belajar dari Jantung Liberalisme

Boediono belajar ekonomi moneter dan finansial di Amerika. Balik ke Indonesia, ia menggagas Ekonomi Pancasila.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim gugur di Philadelphia menyambut Boediono dan putrinya, Ratriana Ekarini, pada 1990. Itulah kedatangan pertama Boediono ke kota yang terletak di Negara Bagian Pennsylvania di kawasan pantai timur Amerika tersebut setelah meraih gelar doktor ekonomi dari Wharton School, University of Pennsylvania, pada 1979. Kala itu, Boediono sudah menjadi Deputi Ketua Bidang Fiskal dan Moneter Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Boediono, yang juga Komisaris Bank Exim—sebelum dilebur jadi Bank Mandiri—mampir ke Philadelphia dari perjalanannya ke London untuk meresmikan kantor cabang bank itu di sana. Ratri—saat itu mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada—ingin menapak tilas kehidupannya selama di kota itu. Empat tahun Boediono bersama keluarganya tinggal di sana.

Pasangan bapak-anak ini disambut dua dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada yang sedang mengejar gelar master di universitas yang sama, yakni Anggito Abimanyu dan Tony Prasetiantono. ”Mereka yang jadi guide-nya,” kata Ratri. Perempuan yang kini berusia 39 tahun ini juga sempat mengunjungi sekolahnya di masa kanak-kanak, Bradgey School.

Selama dua hari, Boediono lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Ia mendatangi tempat-tempat yang dulu menjadi favoritnya. Salah satunya perpustakaan. Bapak dua anak ini juga mengunjungi beberapa mantan dosennya yang masih mengajar di salah satu sekolah bisnis tertua dan terkemuka di dunia itu.

Mereka juga mengunjungi bekas apartemennya. Dari kampus, mereka naik bus dua kali untuk sampai ke sana. Persis sama dengan 12 tahun sebelumnya. Apartemen itu terletak di pinggiran Philadelphia. Boediono tinggal di lantai dua, dengan luas sekitar 75 meter persegi. Ada ruang tamu, ruang makan, dan dua kamar tidur. Ruang tamu itu sekaligus menjadi ruang belajar.

Kehidupan Boediono selama di Philadelphia hanya berkutat antara apartemen itu dan kampus. Ia menghabiskan siang sampai sore di kampus, sebagian besar di perpustakaan. Sepulang dari kampus, Ratri mengenang, bapaknya kerap langsung ke ruang tamu untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Ia hanya sesekali nonton berita di televisi. ”Ia juga sering tertidur di sofa tamu ketika belajar,” ujar Ratri.

Sabtu dan Minggu, kadang Boediono mengajak keluarganya jalan-jalan. ”Itu pun tidak jauh dari apartemen, karena biaya untuk itu enggak ada,” kata Ratri. Ia juga sering memasak nasi goreng untuk keluarganya. Istri Boediono, Herawati, memang tidak terlalu pintar memasak. Sehari-hari, mereka membeli masakan cepat saji dari luar. ”Kalau bosan, baru Bapak membuat nasi goreng,” ujar Ratri.

Kehidupan mereka selama di Amerika, kata Ratri, pas-pasan. Saat itu, Boediono hanya mengandalkan beasiswa dari Rockefeller Foundation. Universitas Gadjah Mada, tempat Boediono mengajar, tak memberikan dana tambahan sepeser pun. Padahal ia membawa istri dan dua anaknya yang masih kecil. Ratri ketika itu baru lima tahun, sedangkan adiknya, Dios Kurniawan, belum setahun.

”Orang tahunya Bapak kuliah di kampus elite, hidupnya senang,” katanya. Wharton School memang tersohor ke penjuru dunia sebagai kampus bisnis paling top. Miliuner Donald Trump adalah salah seorang yang pernah kuliah di kampus yang didirikan pada 1881 ini. Trump lulus sebagai sarjana ekonomi pada 1968. Meski bagian dari University of Pennsylvania, kampus ini memiliki manajemen terpisah.

Karena keterbatasan itulah Boediono tenggelam dalam kegiatan belajar dan buku. Koleganya, Budiono Sri Handoko, menceritakan, Boediono tidak terlibat organisasi kampus atau kesibukan lain di luar kuliah. Sesekali Boediono memang main ke Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Amerika. Waktunya habis untuk belajar. ”Karena biayanya terbatas, harus cepat,” kata Budiono.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada yang berangkat bersama Boediono pada Juni 1975 itu—ia belajar ekonomi di Boston University—mengatakan dosen yang mendapat beasiswa ke luar negeri memang harus mau hidup prihatin. Boediono akhirnya tak tega melihat istrinya hidup susah di negeri orang. Sebelum lulus, ia memulangkan keluarganya ke Blitar. ”Bapak begitu sedih saat berpisah di bandara,” kata Ratri.

Di Wharton, Boediono mengambil konsentrasi ekonomi moneter dan finansial. Tak aneh, kata Budiono, buku-buku yang dibacanya mazhabnya dari Amerika. Sebab, kata dia, mazhab ilmu itu memang lahirnya di sana. ”Saya baca disertasinya, semuanya angka-angka,” ujarnya. Tony Prasetiantono, yang kemudian menjadi asisten Boediono, menambahkan, gurunya memang senang mengupas soal finansial dan moneter.

Selama menjadi asisten Boediono, Tony mengaku tahu banyak pemikiran pria yang menjadi salah satu dari 125 alumnus Wharton paling berpengaruh itu. Suatu kali, Boediono pernah mengutarakan ketertarikannya kepada ekonomi pedesaan yang berbasis pada pengetahuan tradisional atau berbasis lokal. ”Tidak ada bau Amerika-amerikanya,” kata Chief Economist BNI ini.

Boediono juga terlibat dalam perumusan konsep Ekonomi Pancasila bersama Mudrajad Kuncoro—kini guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada—di bawah arahan Profesor Mubyarto. Itu sebabnya Tony tak percaya Boediono menganut neoliberalisme. Neolib, kata Tony, adalah paham yang memberikan kebebasan penuh kepada pasar, misalnya melalui privatisasi dan liberalisasi. ”Saya sangat yakin beliau tidak pernah melakukan itu,” katanya.

Boediono juga membantah tudingan itu. ”Saya ini dari universitas ndeso, masak cocok sebagai neolib?” katanya saat pamit ke almamaternya pada akhir Mei lalu. Ketimbang berdebat soal isme-isme dalam ekonomi, ujarnya, saat-saat seperti ini lebih baik dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, dan harga kebutuhan pokok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus