Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa remajanya, inilah dua kegiatan harian Boediono: membuka toko batik keluarganya di pagi hari, dan menutupnya di malam hari. Diam-diam, kegiatan anak muda itu mencuri perhatian gadis tetangganya, Herawati. Herti, begitu dia biasa disebut, menaruh simpati karena amat jarang dia melihat lelaki muda mau melakukan pekerjaan seperti itu.
Herti adalah putri keluarga Imam Suwignyo dan Hendi Karjilah. Imam pernah menjabat Kepala Pekerjaan Umum Kabupaten Blitar dan Hendi menjadi guru menjahit di Sekolah Kejuruan Pertama di kota itu. Rumah gadis ini dan Boediono berjarak sekitar 500 meter.
Saat bersekolah di SMU Negeri 1 Blitar, kedua remaja ini kerap bersepeda bareng. Boediono lebih senior dua tingkat di sekolah. Kemahiran bermain voli membuat Herawati populer di sekolah menengah itu. Dan Boediono beruntung bisa memikat si bintang voli.
Menurut Herti, dia menyukai kesederhanaan suaminya. ”Orangnya juga ulet,” kenang Herti saat bertutur kepada Tempo. Persahabatan keduanya berlanjut meski selepas SMU Boediono melanjutkan studi ke Yogyakarta. Setahun kemudian, pada 1962, Boediono mendapat beasiswa Colombo Plan ke Universitas Western Australia.
Keduanya rutin berkirim surat. Dalam salah satu layangannya, Boediono menyatakan cinta. Beberapa lama setelah peristiwa Gerakan 30 September pada 1965, Boediono cuti dua bulan dari kampus dan pulang kampung. ”Saya putuskan untuk tukar cincin,” kata Boediono, 66 tahun, kepada Tempo dalam suatu wawancara di Yogyakarta.
Pada tahun yang sama, Herti memutuskan stop kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. Situasi negara yang tak stabil merembet pada ketidakpastian kegiatan kampus. Ia memilih kembali ke Blitar dan bekerja di Bank Rakyat Indonesia setempat.
Tahun-tahun lewat, dan dua sejoli itu tetap kompak. Kembali ke Tanah Air pada 1969, Boediono meminta kedua orang tuanya melamar Herawati. Dia telah menyelesaikan kuliah di Universitas Western Australia dan tengah menyusun tesis master ekonomi di Universitas Monash, Australia.
Setelah menikah, Herti memutuskan total menjadi ibu rumah tangga. ”Itu mauku sendiri,” katanya. Dia menegaskan pantang mencampuri pekerjaan suaminya. Boediono yang pendiam pun tak pernah bercerita soal urusan kantor. Herti hanya memberikan saran ini kepada suaminya dalam soal kerja: ”Jangan menyakiti orang lain.”
Tatkala Susilo Bambang Yudhoyono meminta Boediono menjadi calon wakil presidennya, bekas Gubernur Bank Indonesia ini meminta saran istrinya. ”Saya bilang, di mana pun mengabdi itu sama saja, yang penting kerjanya benar,” kata Herti. Boediono, menurut Herti, perlu waktu merenung tiga hari—termasuk lewat salat malam—sebelum menjawab tawaran tersebut.
Pasangan ini dikaruniai dua anak, Ratriana Ekarini, 39 tahun, dan Dios Kurniawan, 34 tahun. Ratri menuturkan ibunya gemar berbicara dan membuat suasana ramai, kebalikan dari sang Bapak. ”Ibu memberi warna dalam keluarga, sementara Bapak yang tenang cenderung membosankan,” kata Ratri.
Ratri dan Dios mengatakan kedua orang tuanya tak pernah bersuara keras kepada anak-anak mereka. Namun, dalam disiplin, tak ada toleransi dan kompromi. Ratri pernah mendapat hukuman tidur di kursi teras karena pulang lewat jam malam saat di SMU.
Herti sangat rinci mencatat keuangan keluarga dalam buku khusus. ”Setiap kertas bon dikumpulkan, ditempelkan menjadi satu, hingga tebal sekali,” kata Ratri. Anak-anak tak dibiasakan dengan uang. ”Bila ada keperluan, Ibu baru mengeluarkan dana,” kata Dios. Herti dikenal tidak suka berdandan atau tampil glamor. ”Ibu malah jadi aneh kalau tampil begitu,” Dios berkomentar.
Ibu dua anak yang telah dewasa ini tetap energetik. Dia gemar bermain tenis. Bila sedang di rumah, Herti rajin membersihkan rumah dan merawat tumbuhan. ”Ibu tak suka memasak,” tutur Ratri. Keahlian terbaik sang Ibu dalam hal memasak: nasi goreng. Ratri ingat ketika mereka masih kanak-kanak—saat uang masih sulit dan semua serba terbatas—ibunya selalu menyajikan nasi goreng, tanpa telur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo